suara hijau

Belajar dari Laut dan Masyarakat Pesisir: Bertahan, Beradaptasi, dan Menjaga Batas

M. Reza Sulaiman | Choirunnisa Nuraini
Belajar dari Laut dan Masyarakat Pesisir: Bertahan, Beradaptasi, dan Menjaga Batas
Gambaran Hidup Nelayan (Pexels/Mace Pacardo)

Kehidupan pesisir sering kali dipandang sederhana, bahkan tertinggal. Rumah kayu, perahu kecil, dan rutinitas melaut kerap dianggap sebagai simbol keterbatasan. Namun, jika kita mau berhenti sejenak dan mengamati lebih dekat, pesisir justru menyimpan pelajaran hidup yang tidak diajarkan di ruang kelas mana pun.

Di antara pasang surut laut, angin yang tak bisa ditebak, dan tanah yang terus diuji abrasi, masyarakat pesisir belajar tentang kesabaran, kebersamaan, dan tanggung jawab terhadap alam.

Bagi masyarakat pesisir, laut bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan ruang hidup yang membentuk karakter. Nelayan memahami bahwa tidak semua hari menghasilkan tangkapan melimpah.

Ada hari ketika mereka pulang dengan jaring kosong dan hari lain ketika laut memberi lebih dari yang diharapkan. Dari situ, tumbuh pemahaman tentang menerima, tidak serakah, dan menghargai proses. Nilai ini semakin langka di tengah budaya modern yang serba instan dan menuntut hasil cepat.

Pelajaran Hidup dari Ketangguhan Pesisir

Pelajaran penting lain dari pesisir adalah makna solidaritas. Ketika satu perahu rusak, yang lain ikut membantu. Saat badai datang, tidak ada rumah yang dibiarkan sendirian menghadapi ancaman. Kehidupan pesisir mengajarkan bahwa bertahan hidup bukan tentang siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling peduli.

Nilai gotong royong ini menjadi fondasi sosial yang menjaga komunitas tetap berdiri meskipun diterpa krisis lingkungan dan ekonomi.

Namun, pesisir juga memberi pelajaran pahit tentang konsekuensi dari kesalahan manusia. Hilangnya mangrove, pencemaran laut, dan pembangunan tanpa kendali menjadi bukti bahwa alam selalu mencatat setiap keputusan kita. Masyarakat pesisir adalah saksi pertama dari dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

Mereka tidak hanya membaca data, tetapi mengalaminya langsung melalui rob, abrasi, dan berkurangnya hasil tangkapan.

Dari sini, kita belajar bahwa pembangunan tanpa keberlanjutan bukanlah kemajuan, melainkan utang bagi generasi berikutnya.

Di tengah keterbatasan itu, muncul kesadaran kolektif untuk menjaga alam. Banyak komunitas pesisir mulai menanam mangrove, membersihkan pantai, dan mengajarkan anak-anak untuk mencintai laut sejak dini. Mereka paham bahwa melindungi alam bukan pilihan idealistis, melainkan kebutuhan untuk bertahan hidup.

Makna Kerendahan Hati dari Laut

Kehidupan pesisir juga mengajarkan tentang kerendahan hati. Di hadapan laut, manusia sadar bahwa ia bukanlah seorang penguasa, melainkan bagian kecil dari sebuah sistem yang besar.

Kesadaran ini menumbuhkan rasa hormat terhadap alam dan mengikis ego, sebuah nilai yang semakin relevan di era modern ketika manusia kerap merasa berhak mengeksploitasi segalanya demi kenyamanan sesaat.

Pada akhirnya, pesisir adalah ruang belajar terbuka. Ia mengajarkan makna hidup yang bukan sekadar tentang menaklukkan alam, tetapi berdamai dengannya; bahwa kebahagiaan tidak selalu lahir dari kelimpahan materi, melainkan dari hubungan yang sehat antara manusia, sesama, dan lingkungan.

Jika kita mau belajar dari kehidupan pesisir, mungkin kita akan menemukan kembali nilai-nilai dasar yang selama ini terlupakan: kesabaran, kepedulian, dan tanggung jawab bersama.

Pesisir tidak meminta banyak. Ia hanya menuntut satu hal: agar manusia berhenti merusak dan mulai belajar. Karena di setiap ombak yang datang dan pergi, selalu ada pelajaran tentang bagaimana seharusnya kita hidup.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak