Matahari sungguh-sungguh menghangatkan penulis di musim dingin pada tanggal 21 Juni 2013 lalu atau bulan ketujuh dalam kalender Inca di Cusco, Peru, 1165 km dari Lima, ibukota Peru. Jam Sembilan pagi, peserta karnaval yang berlangsung Sembilan hari ini sudah bersiap di jalan.
Beberapa ibu-ibu masih berdandan. Polisi bersiap dengan pagar-pagar pembatas di Plaza de Armas.
Pada jaman kerajaan Inca, Inti Raymi adalah pesta terpenting dengan tarian dan mengorbankan binatang dalam jumlah besar.
Upacara ini diselenggarakan untuk menyembah dewa matahari pada hari tersingkat di musim dingin, agar matahari yang sedang berada paling jauh dari Bumi kembali dan melimpahkan panen. Penghormatan juga dilakukan kepada Raja Inca, sebagai putra pertama matahari.
Diadakan terakhir kalinya tahun 1535. Pesta ini dilarang tahun 1572 oleh wakil raja Francisco de Toledo karena dianggap bertentangan dengan iman Katolik. Tradisi ini kemudian di mulai lagi pada tahun 1944 dengan mengacu pada kronik yang ditulis oleh Garcilaso de la Vega dan hanya dengan aspek spiritual saja.
Sejak saat itu acara ini menjadi arena pertemuan komunitas Quechuas dan Aymara, serta Amerika latin pada umumnya untuk menegaskan kembali identitas budaya mereka setiap tahunnya. Pesta yang populer diantara penduduk pegunungan Andes ini merupakan kesempatan berefleksi bagi mereka setiap tahun untuk menemukan akar tradisi.
Kini, acara ini berbentuk seperti karnaval. Kelompok pengisi adalah warga sendiri ; dari siswa SD sampai SMA, pegawai pemda, kelompok petani sampai ibu-ibu sukarelawan pemadam kebakaran. Mereka mengantri di jalan masuk plaza, dan kemudian mulai memainkankan musik dan berjalan sambil menari menuju tengah plaza, di depan gereja Sagrada Familia.
Tarian ini selain untuk bersyukur atas hasil bumi juga dilakukan untuk mengusir roh jahat. Pakaian tradisional didominasi oleh berbagai variasi warna hitam dan merah. Perempuan-perempuan memakai rok sepanjang lutut yang lebar dan akan berputar ketika menari, baju dengan warna senada atau putih, rambut berkepang dua dan topi.
Lelaki memakai ponco rajutan atau dihias dengan manik-manik yang meriah. Beberapa kelompok laki-laki memakai topeng dan baju berumbai-rumbai dari rajutan dan membawa boneka bayi untuk menggambarkan roh-roh jahat.
Acara ini berlangsung dari sekitar jam 10 pagi sampai jam enam sore, jadi bisa dibayangkan jumlah kelompok yang ikut dalam karnaval. Pada malam hari warga masih saling mengobrol dan makan bersama di sekitar plaza. Hari berikutnya giliran ‘ogoh-ogoh’ versi cusco atau patung-patung raksasa mengantri untuk mengikuti karnaval.
Selayaknya sebuah festival populer, pedagang makanan kaki lima bertebaran di setiap sudut, penulis mencoba mencicipi makanan yang dijual. Penonton lokal yang kebanyakan berasal dari desa-desa di provinsi Cusco tentu saja tidak makan di restoran mahal tempat para turis. Penulis mengikuti mereka membeli nasi yang dicampur dengan spagheti, diberi sayur kentang dengan rasa semacam semur dan diatasnya telur mata sapi yang masih panas.
Ibu-ibu membawa camilan kulit goreng atau biasa kita sebut krecek, dicampur dengan jagung kering. Ada pula donat yang berasal dari ubi manis, buah-buahan seperti nanas dan jeruk yang berlimpah, sate domba dengan irisan besar dan satu buah kentang ikut dibakar diujung tusukan ditemani sambal berwarna hijau dan tak lupa tebu yang telah dipotong-potong. Lidah dan mata terasa dimanjakan di seluruh sudut alun-alun ini.
Jika Anda ingin kesana, pemerintah Peru membebaskan visa untuk warga Indonesia. Ketika tiba di bandara, penulis hanya mengisi formulir tanpa membayar dan petugas imigrasi dengan senyum mengetukkan cap selamat datangnya.
Perjalanan Lima ke Cusco memang cukup jauh, anda yang ingin cepat bisa naik pesawat, sementara Anda yang ingin menikmati jalanan diantara pegunungan Andes yang spektakuler dengan beberapa puncaknya yang diselimuti salju, perjalanan bis layak dicoba.
Dikirim oleh Gracia Asri, Jakarta
Anda memiliki cerita atau foto menarik? Silakan kirim ke email: [email protected].