Pelecehan seksual merupakan salah satu kasus kejahatan yang masih sering terjadi di Indonesia. Pelecehan seksual sendiri merupakan suatu tindakan yang bersifat seksual dan hanya diinginkan oleh satu pihak, atau tidak diinginkan oleh sasaran, sehingga mengakibatkan reaksi negatif oleh sasaran, karena dianggap merendahkan harga diri dan membuat mereka merasa tidak nyaman.
Tindakan seksual dapat berupa fisik, seperti meraba, menyentuh bagian sensitif seseorang, atau bahkan menyerang atau memperkosa. Selain itu, tindakan seksual juga dapat berupa non fisik, seperti memberikan panggilan atau siulan yang bersifat menggoda, memberikan isyarat seksual, memberikan gurauan yang mengandung unsur seksual, memberikan sesuatu pesan atau rekaman yang dapat dianggap merendahkan orang lain dan masih banyak lagi.
Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Bukan hanya di jalan, di tempat umum atau di lingkungan kerja, pelecehan seksual pun kerap terjadi di dalam rumah sendiri. Menurut Marina Amirruddin, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, lebih dari 60 persen kasus kekerasan seksual terjadi di dalam rumah, dengan pelaku ayah, paman, atau suami sendiri.
Menurut tirto.id, di Indonesia sendiri jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2011-2015 meningkat. Pada 2011, jumlah kekerasan terhadap perempuan tercatat 119.107 kasus dan meningkat hingga mencapai 321.752 kasus pada 2015. Pada 2016, jumlahnya turun menjadi 259.150 kasus.
Kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri patut untuk lebih diperhatikan, karena dapat bedampak buruk terhadap para korban seperti :
• Depresi
Depresi merupakan salah satu efek jangka pendek. Jika tidak ditangani dengan cepat, maka korban akan terus menyalahkan dirinya sendiri dan merasa tak berguna, sehingga berakhir dengan bunuh diri.
• Rape Trauma Syndrome
Rape Trauma Syndrome juga merupakan efek samping jangka pendek dari kasus kekerasan oleh keluarga. Dalam kasus ini, korban akan mengalami gangguan fisik, emosional, kognitif, perilaku dan karakteristik personal yang akan mengakibatkan korban merasa pusing, kedinginan, insomnia, mual dan muntah. Selain itu, korban juga bisa mudah kaget, sering terkejut, dan mengalami peningkatan kecemasan.
• Disosiasi
Gangguan ini sering disebut sebagai "kepribadian terpecah atau kepribadian ganda", yang masing-masing kepribadian memiliki trait dan ingatan yang terdefinisikan secara baik menempati tubuh satu orang. Mereka bisa sadar atau tidak sadar akan keberadaan satu dan yang lainnya.
• Gangguan Makan
Beberapa orang ada yang menggunakan makanan sebagai bahan pelampiasan menghadapi trauma, untuk mengimbangi perasaan emosi yang membuat dirinya frustasi.Tindakan ini sebenarnya hanya rasa suka sementara, tetapi memiliki dampak yang dapat merusak tubuh dalam jangka panjang.
• Hypoactive sexual desire disorder
Hypoactive sexual desire disorder (IDD/HSDD) adalah kondisi medis yang menandakan hasrat seksual rendah. Kondisi ini juga umum disebut apatisme seksual atau keengganan seksual.
• Dyspareunia
Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan seksual. Dyspareunia disebabkan oleh beragam kondisi, salah satunya termasuk trauma dari riwayat kekerasan seksual. Adanya riwayat kekerasan seksual pada wanita yang memiliki dyspareunia dikaitkan dengan peningkatan stres psikologis dan disfungsi seksual, namun tidak ditemukan kaitan antara dyspareunia dengan riwayat kekerasan fisik.
• Diabetes Type 2
Orang dewasa yang mengalami segala bentuk pelecehan seksual saat masih kanak-kanak berada pada risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi medis serius, seperti penyakit jantung dan diabetes.Dalam sebuah penelitian terbitan The American Journal of Preventive Medicine, peneliti menyelidiki hubungan antara pelecehan seksual yang dialami oleh remaja dan diabetes tipe 2.
Temuan melaporkan 34 persen dari 67,853 partisipan wanita yang melaporkan mengidap diabetes tipe 2 pernah mengalami kekerasan seksual. Sayangnya, masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui adanya kasus pelecehan seksual yang terjadi di dalam lingkup keluarga.
Menurut data berdasarkan survei yang dilakukan oleh penulis, dari 84 orang terdapat 22 orang yang masih belum mengeahui tentang adanya pelecehan seksual di dalam keluarga, dan terdapat 5 orang yang masih asing terhadap kasus ini.
Selain itu, dari 84 orang terdapat 12 orang yang memilih bungkam jika mengalaminya dan 5 di antaranya ragu-ragu atau melihat situasi terlebih dahulu. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan, masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui tentang kasus pelecehan seksual yang terjadi di dalam keluarga, yang dapat mengakibatkan korban ragu untuk bercerita atau mengungkapkan apa yang dia alami.
Ada beberapa faktor yang membuat para korban memilih bungkam dan menyimpan pengalaman tak enaknya sendiri, yaitu:
• Diancam oleh pelaku
Banyak korban yang diancam keselamatannya jika melaporkan hal tersebut, sehingga membuat mereka takut untuk berbicara atau melaporkan kebenarannya.
• Malu dan takut akan pandangan orang lain
Indonesia terkenal dengan sifat mereka yang sangat judgemental, sehingga para korban takut untuk mengungkapkan hal tersebut. Mereka takut akan dianggap rendah oleh orang lain dan menjadi bahan perbincangan orang lain.
• Tidak dipercaya oleh orang terdekatnya
Banyak juga korban yang berpikir, kalau mereka tidak akan dipercaya oleh orang terdekatnya.
• Masih trauma
Mengalami kasus seperti ini akan menyisakan trauma yang cukup dalam bagi para korban dan mengurangi tingat kepercayaan korban kepada seseorang, sehingga korban akan berpikir bahwa diam jauh lebih baik daripada harus mengungkapkannya. Padahal memilih bungkam bukanlah hal yang seharusnya dilakukan, karena pelaku akan terus melakukan hal keji tersebut.
Mereka akan berpikir, jika korban diam, maka dia bisa menerima diperlakukan seperti itu. Korban seharusnya jangan takut melapor kepada pihak yang berwajib, karena hal tersebut tentu saja melanggar hukum dan memiliki landasan landasan hukum.
Berikut landasan hukumnya;
• Korban akan dijerat dengan KUHP
Pada dasarnya, pemerkosaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandungnya telah diatur dalam Pasal 294 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Selain itu, pelaku juga bisa dijerat dengan Pasal 287 KUHP tentang pemerkosaan terhadap anak yang belum berumur 15 tahun:
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294. Jadi, orang tua yang memperkosa anaknya dapat dijerat dengan Pasal 294 KUHP atau Pasal 287 KUHP.
• Korban akan dijerat dengan UU Perlindungan Anak
Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah olehUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”), maka pelaku pemerkosa anak (termasuk anak kandungnya) dapat dijerat dengan Pasal 81 ayat (1) jo. Pasal 76D UU 35/2014:
Pasal 76D UU 35/2014
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 81 ayat (1) UU 35/2014.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Selain pihak berwajib, masyarakat atau teman-teman korbanpun harus lebih peduli dan memperhatian korban pelecehan seksual, agar mereka lebih bisa meluapkan segala keluh kesah yang selama ini dipendamnya dan meringankan beban.
Berikut merupakan hal-hal yang bisa dilakukan jika ada seseorang bercerita tentang pelecehan yang dia alami:
• Mengamankan korban untuk sementara ke suatu tempat yang lebih tenang, agar korban tidak terus kepikiran dan tertekan mentalnya.
• Membawanya ke dokter atau psikolog untuk terapi, agar mentalnya cepat ditangani oleh orang yang sudah profesional.
• Melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib agar si pelaku mendapatkan balasan dan hukuman yang setimpal.
• Meminta bantuan kepada suatu individu atau organisasi untuk memberikan bimbingan konselling untuk korban dari pelecehan seksual.
Selain itu juga terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan jika mengalami kasus pelecehan seksual, seperti;
• Jangan takut dan ragu untuk melawan sang pelaku, karena jika Anda diam saja, pelaku akan berpikir kalau Anda menerima perlakuan tersebut.
• Beri tahu seseorang atas peristiwa yang menimpa Anda, jangan menyimpannya untuk diri sendiri. Dengan berdiam diri, masalah Anda tidak akan terselesaikan. Sangat mungkin Anda bukan satu-satunya korban yang dilecehkan. Berbicara dapat membantu Anda dalam menemukan dukungan dan melindungi orang lain agar tidak menjadi korban selanjutnya.
• Mencari tahu siapa yang bertanggung jawab untuk menangani pelecehan di daerah atau wilayah Anda. Hampir semua organisasi memiliki kebijakan untuk kasus pelecehan seksual.
• Jika Anda mengalami tekanan psikologis yang parah, Anda mungkin dapat berkonsultasi pada psikolog atau terapis yang profesional akan kesehatan mental dan mengerti masalah yang disebabkan oleh pelecehan seksual.
Kasus pelecehan seksual merupakan kasus yang harus diperhatikan, karena tidak ada satupun orang yang pantas diperlakukan seperti itu. Jika kalian pernah atau sedang mengalami hal tersebut, jangan takut untuk melawan, jangan takut terhadap ancaman mereka,jangan ragu untuk bercerita kepada orang-orang terdekat atau bahkan melaporkan hal tersebut kepada petugas yang berwajib.
Kalian harus tenang, tidak sendiri, akan ada banyak orang yang melindungi dan menjaga, dan berhenti menyalahkan diri sendiri, karena kalian tidak patut untuk disalahkan.
Pengirim: Syafira Yumna Khairiyah