Pancasila sebagai Ideologi dan Kekeliruan Rocky Gerung

Tri Apriyani
Pancasila sebagai Ideologi dan Kekeliruan Rocky Gerung
Rocky Gerung. (Suara.com/Novian)

Beberapa hari belakangan ini jagad publik mengalami keriuhan tentang polemik yang di lontarkan oleh Rocky Gerung (RG) di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) pada selasa malam (3/12) mengenai Presiden Joko Widodo yang tidak memahami Pancasila, bahkan RG dengan tegas menyatakan bahwa Pancasila tidak memenuhi unsur sebagai ideologi negara tercinta ini. Walaupun sebenarnya tema pembahasan ILC disaat itu bukan tentang Pancasila, melainkan mengenai maju mundurnya ijin ormas Front Pembela Islam (FPI).

Atas dasar hal tersebut, penulis tertarik untuk membahas keriuhan publik mengenai Pancasila. Tepatnya, bukan pernyataan RG tentang Pak Jokowi yang tidak paham Pancasila, sebab bisa jadi itu memang benar jika dilihat dari kebijakannya selaku Presiden negara selama ini yang harus memancarkan nilai-nilai ideologi NKRI sebagai nafas pada setiap kebijakannya.

Untuk membuktikan hal tersebut tentu Pak Presiden harus melakukan diskursus terbuka dengan RG mengingat hal tersebut merupakan kritikan paling fundamental terhadap kepala negara sepanjang sejarah kita. Mengingat kritikan itu disaksikan secara terbuka oleh publik.

Namun, yang menjadi menarik bagi penulis adalah kesalahan fatal RG menyatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi. Di mana rasionalisasi RG di dalam sila-sila Pancasila memperoleh pertentangan satu sama lain dan membawakan contoh bahwa di dunia ini hanya ada dua negara yang ngotot untuk berideologi, yaitu komunisme dan fasisme. Olehnya, sebagai sesama warga Negara yang gotong-royong, semestinya kita saling mengingatkan atas kesalahan.

Pancasila Ideologi NKRI dan Kesalahan Fatal Rocky Gerung

Merujuk dari penelusuran sejarah kita yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang kemudian dibukukan dengan judul Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI (2017). Dalam penelusuran sejarah tersebut, MPR RI atas dasar kesepakatan dan akal sehat menyatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara melalui titik temu sintesis dan gerakan untuk negara Indonesia oleh para Founding Father (civic nationalism).

Begitu juga dalam buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2012) mengemukakan bahwa Pancasila sebagai ideologi kita maknai sebagai sistem kehidupan nasional yang meliputi aspek etika, moral, ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan bangsa yang berlandaskan pada dasar negara. Di mana dalam hal ini Pancasila juga menjadi dasar negara yang mengatur penyelenggaraan Negara dan seluruh warga Negara Indonesia.

Atas dasar kesepakatan dan akal sehat, penulis rasa itu sudah membuktikan lebih dari cukup untuk memperbaiki kekeliruan RG yang menyatakan bahwa “Pancasila bukan Ideologi”. Sebab kita memiliki lembaga perwakilan yang membentuk regulasi dan kebijakan atas dasar kesepakatan dan akal sehat, yaitu MPR RI yang anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah membentuk dokumen bahwa Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara dalam bentuk buku yang kemudian warga negara menerimanya tanpa terkecuali. Bukankah RG juga dalam pembicaraanya di media setelah dari ILC selalu menekankan pembelaannya pada aspek atas dasar kesepakatan?

Selanjutnya, atas dasar kesepakatan dan mekanisme pula RG menyatakan bahwa Pancasila yang sila-silanya telah dimaktubkan dalam pembukaan UUD 1945 bisa diubah sebagaimana Undang-undang Dasar 1945 bisa diamandemen. Jelas itu adalah keliru dan kesalahan fatal kedua RG. Perlu kita ketahui bahwa UUD 1945 memiliki tiga bagian; pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan/ketentuan.

Adapun yang dimaksudkan dalam UUD 1945 bisa diubah adalah batang tubuh kecuali bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembukaan bukanlah bagian dari batang tubuh yang di mana dalam pembukaan tersebut ada kelima sila dari Pancasila.

Ketentuan dari pembukaan maupun batang tubuh yang dikecualikan tersebut dibuat atas dasar kesepakatan untuk mempertegas komitmen bangsa Indonesia terhadap pembukaan UUD 1945 dan bentuk negara (NKRI) sekaligus menghormati putusan para Founding Father kita.

Tidak hanya itu, kekeliruan RG juga jelas ketika beliau membawakan contoh negara berideologi di dunia hanyalah komunisme dan fasisme. Sebab kedua ideologi tersebut membentuk negaranya yang sesuai dengan ideologi dalam mengatur penyelenggaraan negara dan warga negaranya.

Lalu pertanyaannya? Bukankah Pancasila sebagai ideologi juga mengamanatkan demikian, lihat kembali pengertian Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara di atas yang dibuat oleh MPR RI. Bahkan ideologi yang telah dicetuskan oleh para Founding Father kita ini jauh lebih baik daripada dua ideologi yang dikemukakan RG tersebut.

Sebab Pancasila menjadi ideologi terbuka sebagai philosofische grondslag (dasar falsafah) dan weltanschauung (pandangan komprehensif) yang koheren dan sistematik. Sehingga atas keterbukaan Pancasila, RG dan kita semua bisa melakukan pembahasan secara bebas tentang penerapan nilai-nilainya yang bisa mengkondisikan bangsa dengan perubahan global dan relevansinya. Lagi-lagi ini adalah kesalahan fatal yang dilakukan oleh RG.

Lebih dari itu, penulis mengutip pernyataan dari RG di ILC kemarin menyoal Pancasila yang katanya tidak memenuhi syarat sebagai ideologi, “Pancasila sebagai ideologi gagal karena bertentangan sila-silanya dan saya pernah tulis risalah panjang lebar di majalah prisma dengan riset akademik yang kuat untuk menerangkan bahwa Pancasila bukan ideologi dalam artian akademis dalam discourse ideology.

Bahkan RG di CNN yang melakukan diskursus terbuka mengenai Pancasila dengan beberapa politisi seperti Budiman Sudjatmiko, menyatakan bahwa ideologi merupakan keyakinan orang, bukan keyakinan negara apalagi keyakinan seorang presiden.

Nah, sekarang kita kembalikkan kerangka berpikir dari RG tersebut dari kilas sejarah pembentukan NKRI dan Pancasila. Melalui garis panjang perlawanan terhadap imperialism dan kolonialisme, orang-orang di Indonesia (sebelumnya berbentuk kerajaan dan terdiri dari daerah-daerah) menaruh spirit yang sama (pemikiran, rasa tertindas, dan pergerakan) untuk melakukan perlawanan hingga menuai kemerdekaan (dibentuklah NKRI) atas kesepakatan.

Berdasar pada kesepakatan pula, para pelopor perjuangan kemerdekaan kita melakukan diskursus pembentukan sebuah asas kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara (NKRI) yang kemudian terrumuskanlah Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, civic nationalism, dan way of life melalui tiga kali sidang di BPUPKI; sidang pertama 1 Juni 1945, sidang kedua 22 Juni 1945, dan sidang ketiga 18 Agustus 1945.

Maka letak Pancasila sebagai ideologi negara kita adalah ideologi yang sudah berakar pada jiwa dan raga warga negara kemudian membentuk satu negara atas dasar kesepakatan. Bukankah itu masuk akal dan sehat untuk kita terima sebagai ideologi negara yang terbentuk dari warga negaranya?

Sementara itu, RG yang menyatakan Pancasila gagal menjadi ideologi karena menurutnya sila-sila Pancasila menuai pertentangan. Jelas sekali itu hanya penerjemahan sepihak oleh RG. Lalu untuk mengulas bagaimana sila-sila di dalamnya yang sebenarnya bukanlah sebuah paradoks maupun bertentangan seperti pernyataan RG.

Namun tidak cukup dalam tulisan singkat ini untuk menjabarkannya. Oleh sebabnya, penulis sederhanakan melalui kutipan dari pidato Soekarno sewaktu sidang di BPUPKI. “…sebagaimana tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong.”

Bukankah sudah jelas untuk kita, bahwa Pancasila merupakan Ideologi NKRI, Negara yang terbangun dan membangun atas dasar gotong-royong warga negaranya. Bukankah Pancasila telah memenuhi unsur sebagai Ideologi negara sebagaimana pernyataan RG di CNN bahwa sebuah ideologi harus komprehensif hingga pada persoalan etis sekalipun.

Kemudian daripada itu, penulis selaku Pemrakarsa dan Presiden pertama Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik melalui diskursus tertulis ini menyampaikan pesan kepada kita semua, termasuk pak Presiden Jokowi, Rocky Gerung, pemangku kepentingan negara, dan juga publik agar senantiasa menjiwai nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan tujuan daripada Negara kita tercinta ini.

Sebab satu hal yang juga penulis tangkap dan harus kita petik dari pernyataan RG tidak lain sebagai bentuk kekecewaan terhadap para aparatur pemangku kepentingan negara yang sering salah gunakan akan Pancasila, “kerap dijadikan alat untuk memukul kelompok warga negara daripada negara kita.”

Padahal semestinya kita gotong royong membangun peradaban negara dan saling merangkul melalui principle Pancasilais. Dan terakhir, tulisan ini bukan untuk dipolitisasi. Jangan!

Pengirim: Al Mukhollis Siagian
E-mail: [email protected] 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak