Perihal meninggalkan dan ditinggalkan dalam suatu hubungan sudah menjadi perdebatan yang cukup lama. Sebagian orang merasa menjadi pihak yang ditinggalkan adalah hal paling menyakitkan. Namun, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Terkadang kita sering lupa bahwa sudut pandang manusia terbatas, ditambah lagi dengan ego yang seringkali tidak kita sadari.
Mungkin memang ditinggalkan sangat menyakitkan, tetapi apakah kita tahu alasan seseorang meninggalkan hubungan asmara begitu saja? Bukan selalu sudah tidak ada cinta, tetapi karena keadaan yang memaksa seseorang untuk pergi. Ada yang pamit sebelum pergi. Ada juga yang langsung hilang tanpa penjelasan.
Manusia adalah makhluk yang selalu ingin thu. Jika rasa keingintahuan itu tidak terjawab, tentu kita akan terpacu untuk selalu mencari jawabannya. Suatu hubungan yang baik memang tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Bisa saja yang kita anggap baik, belum cukup bagi orang lain. Bisa juga kita lupa bagaimana baik yang sebenarnya bila sudah terlalu lama terselimuti oleh hubungan toxic.
Memang sulit dimengerti ada hal yang beracun selain apa yang kita konsumsi. Namun, memang tidak semuanya dapat dimengerti oleh akal. Pasalnya, bila sudah menyangkut hubungan asmara yang melibatkan perasaan, terkadang akal pun tidak cukup bekerja sendiri.
Apa itu Toxic Relationship?
Menurut Health Scope Magazine, suatu hubungan yang berdampak buruk bagi kesehatan mental dan/atau fisik seseorang dapat dikatakan hubungan yang toxic atau beracun. Hubungan ini tidak terbatas hanya untuk sepasang kekasih, tetapi juga dalam pertemanan, hubungan yang tidak pasti, bahkan keluarga.
Bentuk racun dalam suatu hubungan dapat beragam, dari kekerasan fisik dan/atau mental baik yang disadari maupun tidak. Bahayanya, banyak dari kita tidak sadar telah melakukan atau menerima kekerasan mental. Mengingat mental seseorang bukanlah suatu yang tak kasat mata seperti penyakit tubuh lainnya, maka perlu perhatian dan penanganan yang serius serta mendalam.
Apakah cinta sejatinya toxic?
Banyak yang tidak menyadari bahwa mereka berada di hubungan yang toxic dengan alasan berkorban karena cinta. Perlu dipahami lagi, cinta yang tulus tidak mengenal pengorbanan. Bila sudah merasa berkorban atau terbebani untuk suatu hubungan, itu bukan cinta. Cinta yang tulus tidak mengenal pengorbanan karena semua yang dilakukan atas nama cinta didasari oleh keikhlasan dari hati.
Cinta sifatnya membawa suka cita dalam diri, bukan malah menjadi sedih. Bila dengan cinta tersebut malah membuat diri kita terus merasa kurang, sedih, bahkan sampai terpuruk, langkah yang paling bijak adalah untuk introspeksi hubungan. Introspeksi hubungan berarti individu yang terlibat harus saling melihat ke dalam diri, apakah sudah melakukan yang baik kepada satu sama lain atau belum. Memang introspeksi hubungan tidak dapat berjalan dengan baik dan berhasil bila tidak ada andil dari kedua belah pihak dengan kesadaran serta keinginan untuk menyembuhkan.
Seperti apa hubungan toxic?
Seseorang yang dapat dikatakan toxic dalam suatu hubungan ketika ia selalu ingin memegang kendali penuh dan paling disegani. Mendominasi pihak lainnya merupakan opsi utama dan tanpa disadari pihak satunya hanya akan terbuka secara pasif. Metode yang digunakan seseorang dalam mengontrol individu lain dalam hubungan yang beracun dapat beragam dan tidak selalu disadari.
Ada beberapa tindakan yang dapat menunjukkan hubungan toxic. Bila sudah pernah mengalami perlakuan-perlakuan seperti terlalu dikontrol, sulit menjadi diri sendiri, tidak mendapat dukungan, selalu dicurigai dan dikekang, sering dibohongi, serta yang terparah adalah menerima kekerasan fisik, maka dapat dipastikan hubungan tersebut bukanlah tidak sehat. Tanda-tanda hubungan yang beracun juga dapat tampak pada:
1. Deprecator-Belittler
Individu yang akan terus meremehkan pasangan. Salah satunya dengan menyiratkan bahwa segala aspirasi, ide, argumen, dan pemikiran pasangannya adalah hal yang tidak bermutu. Biasanya orang dengan tipe ini tidak akan segan untuk menjatuhkan harga diri pasangan di depan umum. Tindakan ini bertujuan untuk memberitahu pasangannya bahwa tidak ada orang lain yang sebaik mereka. Tujuannya untuk membuat harga diri serendah mungkin agar tidak menantang kendali mutlak terhadap hubungan asmara.
2. Temperamental
Ketika berdebat atau tidak setuju dengan pasangan, mereka yang temperamental akan menjadi sangat marah, kehilangan kesabaran, dan setelahnya tidak akan berinteraksi secara berarti. Hal ini bisa berjalan selama berhari-hari. "Mengendalikan dengan intimidasi" adalah perilaku klasik dari pasangan yang beracun. Kewaspadaan dan ketidakmampuan untuk mengetahui apa yang akan memicu ledakan kemarahan ini berdampak pada kesehatan emosional dan fisik "korban".
Pelaku cenderung jarang menunjukkan sisi dirinya kepada dunia luar. Jadi, orang lain mungkin tidak akan percaya bila mereka temperamental karena dianggap sebagai orang yang menyenangkan dan santai yang disukai hampir semua orang. Pasangan yang temperamental hampir selalu menyalahkan pasangannya. Segala kesalahan itu akan dilimpahkan kepada pasangannya dan disampaikan secara berteriak histeris. Pengingkaran tanggung jawab atas perilaku disfungsional mereka adalah tipikal dari pasangan toxic.
3. Pemicu Rasa Bersalah
Kontrol dalam hubungan asmara dilakukan dengan mendorong rasa bersalah pada "korban". Penginduksi rasa bersalah mengontrol dengan mendorong pasangan untuk merasa bersalah setiap kali melakukan sesuatu yang tidak disukai. Tak jarang mereka akan meminta orang lain untuk menyampaikan kekecewaan tersebut kepada Anda.
Pemicu rasa bersalah tidak hanya mengendalikan dengan mendorong rasa bersalah, tetapi juga dengan "menghapus" rasa bersalah. Sementara, jika pasangan akhirnya melakukan apa yang dia ingin Anda lakukan. Untuk individu yang rentan rasa bersalah, upaya yang dapat menghilangkan rasa bersalah akan dilakukan dan berpotensi hampir membuat ketagihan, sehingga penginduksi rasa bersalah memiliki alat kontrol yang sangat kuat yang mereka miliki.
Seringkali, pasangan atau orang penting lainnya akan menyamarkan kendali mereka yang menimbulkan rasa bersalah dengan berlagak mendukung keputusan sebagaimana Anda buat. Perasaan bersalah dirancang untuk mengendalikan perilaku sehingga pasangan, orang tua, atau teman Anda yang beracun mendapatkan apa yang diinginkan.
4. Deflector
Ketika mencoba memberi tahu orang penting bahwa Anda tidak bahagia, terluka, atau marah tentang sesuatu yang mereka lakukan dan entah bagaimana Anda malah mengurus ketidakbahagiaan, sakit hati, maupun kemarahan mereka. Mereka membuat Anda menghibur dirinya daripada menghibur diri sendiri. Mereka membuat Anda merasa buruk dengan diri sendiri karena dianggap sangat egois.
Dampaknya adalah kekhawatiran awal, sakit hati, atau iritasi yang dirasakan diri sendiri hilang digantikan oleh penuh penyesalan akibat harus menjaga perasaan pasangan. Deflektor menganggap informasi yang Anda bawa ke perhatiannya bertentangan langsung dengan persepsi diri mereka. Ini membuat mereka merasa sangat tidak nyaman sehingga secara tidak sengaja meyakinkan bahwa Andalah yang mungkin terlalu sensitif. Bukan meminta maaf, yang ada malah tiba-tiba kritik diubah dengan pujian.
5. Terlalu Bergantung
Individu yang terlalu bergantung sangat pasif sehingga Anda harus membuat keputusan untuk mereka. Metode pengendali beracun ini menuntut Anda untuk membuat hampir setiap keputusan untuk mereka. Ini membuat Anda bertanggung jawab atas hasil keputusan itu sehingga jika membuat keputusan "salah", mereka dapat bersikap pasif agresif pasangan Anda seperti cemberut atau tidak berbicara karenanya.
Kepasifan bisa menjadi alat kontrol yang sangat kuat. Berada dalam hubungan dengan pasangan pengontrol pasif berisiko mengalami kecemasan dan/atau kelelahan yang terus-menerus, karena mengkhawatirkan efek keputusan Anda pada pasangan dan energi terkuras karena harus membuat hampir setiap keputusan.
6. Tidak dapat diandalkan
Individu ini sering menyamarkan perilaku pengendalian racunnya dengan "kemandiriannya". Moto mereka adalah tidak ada yang dapat mengatur mereka. Dalam hubungan ini, "beracun" berarti mereka mengendalikan Anda, sehingga hampir tidak mungkin membuat komitmen atau rencana. Anda akan sering mendapati diri Anda meminta kepastian dari mereka.
7. Pengguna
Hubungan dengan individu seperti ini sifatnya satu arah dan fakta bahwa pasangan tidak akan pernah melakukan cukup untuk mereka. Pengguna adalah penguras energi besar dan akan meninggalkan Anda jika mereka menemukan orang lain yang akan berbuat lebih banyak untuk mereka. Sebenarnya, pengguna yang benar-benar mahir kadang-kadang akan melakukan beberapa hal kecil untuk Anda, biasanya sesuatu yang tidak merepotkan atau membebani mereka terlalu banyak.
Berhati-hatilah: mereka tidak memberi Anda hadiah, mereka memberi Anda kewajiban. Jika Anda pernah menolak keras melakukan sesuatu untuk mereka, atau melakukan sesuatu dengan cara mereka, mereka akan segera menahan apapun yang telah mereka lakukan di atas kepala Anda dan bekerja keras untuk menimbulkan rasa bersalah.
8. Posesif / Paranoid
Di awal hubungan Anda akan menghargai "kecemburuan" mereka karena belum terlalu mengendalikan. Orang-orang yang posesif akan menjadi semakin curiga dan mengendalikan seiring berjalannya waktu. Upaya Anda untuk meyakinkan posesif beracun tentang kesetiaan dan komitmen Anda kepada mereka akan sia-sia. Bertahan dalam hubungan dengan individu seperti ini hanya akan menghentikan Anda untuk menjalani kehidupan sendiri.
Mengapa bisa terjadi?
Tolak ukur toksisitas individu memang tidak dapat disamaratakan, tetapi perlu disadari bahwa dalam hubungan yang beracun, bertindak atau melakukan kekerasan mental maupun fisik sudah dapat diibaratkan sebagai norma yang kerap terjadi untuk penyelesaian atau luapan kekesalan terhadap suatu masalah.
Bedanya di sini adalah tingkat keparahan perilaku dan intensitas terjadinya. Rendahnya harga diri seseorang membuat dirinya rentan melakukan kekerasan karena tidak percaya bahwa dirinya layak dan pantas untuk dicintai, sehingga tidak peduli seberapa besar upaya yang telah dilakukan tetap saja tidak pernah merasa puas.
Idealnya setiap individu dalam suatu hubungan akan saling menyayangi, mengasihi, dan memberikan rasa aman. Lain halnya pada toxic relationship, salah satu pihak biasanya akan secara sadar maupun tidak, mendominasi pihak lainnya, memanipulasi pasangan (gaslighting) sebagai tindakan untuk mengontrolnya. Salah satu caranya adalah dengan melakukan silent treatment atau diam saat marah.
Penyelesaian toxic relationship
Bertahan dalam suatu hubungan yang beracun dengan berharap bahwa kita dapat mengubah pasangan adalah suatu hal yang merusak diri. Kita tidak dapat mengubah orang lain, tidak terkecuali pasangan. Dalam menyikapi hubungan toxic harus membutuhkan tenang dan tegas. Korban hubungan toxic harus memiliki kesadaran terlebih dahulu bahwa dirinya berharga dan layak untuk diperlakukan dengan sopan, kasih sayang, dan rasa hormat. Bila tidak, maka itu sudah menjadi alasan kuat dan jelas untuk tidak melanjutkan hubungan tersebut.
Semua hubungan memanglah tidak sempurna, tetapi memang bila sudah melibatkan tindakan kekerasan yang beracun bagi diri kita tentu membutuhkan intervensi segera. Meskipun hubungan ini masih dapat diusahakan untuk diperbaiki, penting bagi diri sendiri untuk mengetahui sudah seberapa rusak hubungan tersebut.
Berdasarkan studi, menunjukkan bahwa wanita yang dipukuli dalam proses meninggalkan hubungan akan susah menghadapi pasangan. Hal ini menyebabkan mereka cenderung melakukan coping mechanism daripada melakukan pemrosesan ambivalensi. Meninggalkan hubungan yang kasar bukanlah masalah penyelesaian yang sederhana, tetapi proses pengambilan keputusan serta perubahan yang kompleks dan berkelanjutan dalam semua aspek kehidupan sehari-hari seperti relokasi, krisis keuangan, tindakan hukum, maupun gangguan berbagai pola pribadi, sosial, ataupun koneksi.
Tentu perubahan ini tidak jarang disertai keraguan tentang perlunya, kelayakan, dan keinginan untuk membuat begitu banyak perubahan, dan disertai perjuangan untuk memutus keterikatan emosional yang berkelanjutan dengan si pelaku atau aspek lain dari kehidupan yang mereka tinggalkan. Dalam hubungannya dengan literatur yang lebih luas tentang perempuan korban kekerasan, menunjukkan bahwa ada kesamaan antara proses meninggalkan hubungan yang kasar dan proses perubahan diperiksa sehubungan dengan risiko kesehatan lainnya, yang dapat menginformasikan intervensi di bidang kekerasan dalam rumah tangga.
Ketika pertama kali menghadapi pasangan toxic, Anda dapat berharap bahwa dia akan memperbaiki perilaku dan pengendalian diri mereka. Akan tetapi, bila pasangan Anda menolak untuk berubah, pertimbangkan untuk berpisah dari hubungan selama 30 hari. Setelah itu harus berbicara dengan mereka lagi, ulangi permintaan Anda, dan sampaikan bahwa Anda tidak akan bertahan dalam hubungan jika mereka melanjutkan perilaku beracun mereka.
Sekali lagi menolak untuk berubah, Anda harus mengakhiri hubungan. Jika mereka berjanji untuk berubah tetapi kambuh, ulangi siklus sekali lagi Anda dapat mencoba untuk secara serius bertahan dalam hubungan beracun hanya jika Anda siap untuk meninggalkannya.
Sama halnya dengan menghadapi pasangan yang toxic, bila kasusnya adalah berhadapan dengan orang tua yang toxic, Anda dapat melakukan hal serupa. Jika orang tua menolak untuk mengubah perilaku mereka yang biasanya akan dikendalikan oleh induksi rasa bersalah yang toksik, Anda harus sangat membatasi kontak dengan mereka. Beberapa dari kita mungkin tidak dapat benar-benar meninggalkan orang tua lanjut usia yang berpotensi membutuhkan bantuan kita, tetapi cukup dengan mempertahankan beberapa kontak dengan mereka dan Anda harus mengendalikan hubungan tersebut.
Mencari bantuan profesional sebagai mediator untuk menyembuhkan segala luka dan trauma akibat hubungan toxicadalah hal yang paling bijak dan benar untuk dilakukan. Mungkin kemandirian untuk menyelesaikan hubungan yang toxic memang dibutuhkan, tetapi untuk menghindari campur tangan ego dari kedua belah pihak untuk membenarkan dan menyalahkan tindakan satu sama lain, seorang mediator profesional patut dilibatkan sebagai pihak netral yang tidak memberatkan salah satu pihak.
Bila setelah menempuh upaya dengan bantuan profesional pun tidak membuat hubungan toxic lekas pulih, maka dapat pengecualian tingkat toksisitas tersebut sudah serius dan pilihan terbaik adalah untuk memisahkan kedua belah pihak. Meskipun dalam kasus hubungan toxic pihak penerima perlakuan beracun bisa dikatakan sebagai “korban”, tetapi ia masih memiliki kuasa atas dirinya sendiri untuk menunjukkan keterlibatannya dalam hubungan.
Bertahan dalam suatu hubungan yang toxic dapat menurunkan harga diri seseorang dan imbasnya dapat merambat ke serangan gangguan mental seperti kecemasan, stres, dan depresi. Beban mental yang ditanggung ini bukan tidak mungkin juga dapat mengganggu kesehatan fisik seperti gangguan psikosomatik.
Referensi
Berenson, K. R., & Martin, A. J. (2000). The Process of Leaving an Abusive Relationship: The Role of Risk Assessments and Decision-Certainty. Journal of Family Violence 15(2), 109-122.
Cory, T. L., & Platt, C. (2021). What is a Toxic Relationship? – 8 Types of Toxic Relationships and Their Signs. Retrieved November 22, 2021, from healthscopemag.
Mouradian, V. E. (n.d.). Abuse in Intimate Relationships: Defining the Multiple Dimensions and Terms. Retrieved November 22, 2021, from mainweb-v.musc.,
Nareza, M. (2020, June 16). Toxic Relationship: Arti, Ciri-Ciri, dan Cara Mengatasinya. Retrieved November 21, 2021, from alodokter.