Selain wanita yang mendapat standardisasi, nyatanya ... pria juga mengalami hal serupa, loh! Sama dengan kasus toxic femininity, para pria mendapat penghakiman dari pandangan banyak orang yang perilakunya disebut sebagai toxic masculinity.
Dikutip dari berbagai sumber di dalam kasus toxic masculinity, kejantanan seorang pria dilihat dari seberapa kuatnya mereka juga seberapa berkuasanya mereka di kelompok atau tempat tertentu. Kalau menunjukkan sisi kelemahan serta menurunkan ego dan gengsi, maka pria tersebut dianggap bukan pria sejati.
Berikut adalah kalimat standardisasi dari toxic masculinity!
BACA JUGA: 5 Tahapan dalam Budgeting Keuangan untuk Mencapai Tujuan Finansial
1. Buat Apa Skincare-an? Nggak Kotor, Nggak Laki!
Pria yang tangannya kotor karena oli di bengkel lebih disegani daripada pria yang bersih, resik, dan terlihat rapi karena menjaga penampilan.
Apalagi pria yang pakai skincare. Mereka disebut sebagai pria tak macho karena melakukan kebiasaan yang dianggap hanya wanita yang boleh melakukannya.
Padahal tak ada salahnya menjaga kebersihan dan penampilan diri sendiri. Walaupun suka berkegiatan di luar ruangan yang membuat tubuh kotor, kebersihan tetap nomor satu.
2. Pria Kok Nangis? Cemen Banget!
Menangis adalah salah satu tanda bahwa hati seseorang masih berfungsi. Wanita yang menangis, pasti banyak yang melindungi. Tapi kalau pria? Sudah tentu lain cerita.
Banyak yang mengejek pria saat mereka menangis dan tak mampu membendung kesedihannya. Seolah pria harus memendam semua dan jatuh harga diri bila mengungkapkan bagaimana isi hatinya.
Pria juga manusia. Meski memang mereka cenderung menyembunyikan perasaannya, tapi bukan berarti hati mereka tak bisa terenyuh. Jangan menganggap remeh perasaan seorang pria!
BACA JUGA: 5 Perawatan yang Perlu Dilakukan usai Eyelash Extension, Dijamin Awet!
3. Pria adalah Raja!
Orang yang beranggapan begini, pasti mereka mengagung-agungkan pria dan menganggap lemah wanita. Lalu timbullah budaya patriarki yang mengharuskan wanita melayani, serta berada di bawah kekuasaan pria.
Sosok pemimpin memang lebih pantas diperankan oleh pria berkat pemikiran serta logikanya dibandingkan dengan wanita yang sedikit mengandalkan perasaannya.
Namun, bukan berarti pria bisa seenaknya mengendalikan apa yang ada di dalam genggamannya. Hanya mengandalkan logika namun tak ada kebijaksanaan, maka percuma saja.
Anehnya lagi, pria yang lembut pada pasangannya akan mendapat julukan ‘suami takut istri’. Seakan pria harus sangar, menakutkan, dan harus membuat para wanita tunduk.
Jika memang pria adalah raja, bukankah ia harus melindungi ratu atau rakyatnya?
Itulah beberapa kalimat toxic masculinity. Jika dibiarkan, tentunya akan mengganggu mental karena menyebabkan stres dan kecemasan akibat tidak leluasa untuk mengungkapkan isi hati karena stigma masyarakat terkait standardisasi pria sejati. Jangan lupa, pria juga manusia yang punya hati dan juga perasaan!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS