Kehidupan Generasi Z tak akan pernah habis untuk dibahas. Generasi yang lahir dari tahun 1997 hingga 2012 ini seolah telah menduduki tahta sebagai "penguasa" media sosial dengan menciptakan beragam tren yang terus menjamur di dunia maya. Bahkan, Gen Z seringkali disebut sebagai "Sang Penggerak Inovasi" di masa sekarang.
Hidup beriringan dengan perkembangan teknologi digital tentu menjadi latar belakang utama dari kepintaran Gen Z dalam menerima berbagai informasi dan pengetahuan baru di media sosial, salah satunya pengetahuan akan kesadaran kesehatan mental yang saat ini tengah digaungkan oleh banyak orang.
Topik kesehatan mental yang dulunya selalu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan sering diabaikan oleh banyak orang, kini menjelma menjadi aspek yang sangat penting yang perlu diperhatikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.
Meski menjadi langkah apik dari Gen Z untuk merobohkan stereotip yang selama ini dianut oleh banyak lapisan masyarakat, kesadaran kesehatan mental ini justru bisa menjadi bumerang bila tidak disikapi dengan baik, terutama akan bahaya self-diagnose yang bisa mengikuti kapan saja.
Gen Z dan Kehidupan di Media Sosial
Gen Z dan media sosial merupakan dua entitas yang saling melekat. Media sosial hadir sebagai penyedia informasi, hiburan, menguatkan hubungan, hingga ajang mengekpresikan diri (McQuail, 2010). Informasi yang dibagikan di media sosial selalu berlangsung cepat dan meluas. Ini yang menjadi salah satu hal yang mendasari para Gen Z untuk "melek" akan isu kesehatan mental yang terus dipublikasikan banyak orang di media sosial.
Kenapa Mudah Self-diagnose?
Salah satu hal yang bisa disoroti akan kecenderungan Gen Z melakukan self-diagnose yaitu tidak adanya sekat antara pembatasan diri dengan akses informasi yang mudah dan cepat. Informasi kesehatan makin mudah ditemukan di internet. Dari informasi-informasi yang beredar tersebut, pengguna media juga mulai paham akan hal-hal yang selama ini luput dari perhatian. Namun, penerimaan informasi itu tidak diimbangi dengan pembatasan diri yang justru bisa memicu rasa sok tahu, seperti self-diagnose.
Ancaman dari Self-diagnose
Perilaku self-diagnose bisa menjadi ancaman berbahaya yang patut diwaspadai. Sebab, sama seperti penyakit fisik pada umumnya, tahap menuju diagnosis penyakit tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan hanya bisa ditetapkan oleh para ahli profesional.
Selain menyebabkan pada kesalahan pengobatan, self-diagnose juga bisa menimbulkan cyberchondria. Cyberchondria sendiri dimaknai sebagai kecemasan yang terjadi pada seseorang setelah mencari informasi kesehatan di internet. Akibat kondisi tersebut, penderita dapat mengalami kepanikan ekstrem atau bahkan memperparah penyakit yang diderita.
Langkah Melindungi Diri Sendiri
Senjata paling utama dalam melindungi diri dari perilaku self-diagnose adalah bentuk kesadaran dalam menyikapi seluruh informasi yang diterima. Perlu adanya filter atau penyeleksian yang kokoh sebelum memercayai atau mengambil suatu tindakan atas informasi tersebut. Kesadaran ini dapat dimulai dari mencari tahu sumber informasi atau mencari validitas dari isi informasi yang dibagikan. Pada umumnya, publik terutama Gen Z perlu lebih bersikap kritis akan informasi yang beragam.
Langkah lain dalam melindungi diri dari bahaya self-diagnose adalah keterbukaan diri pada para ahli profesional. Jangan pernah ragu untuk mendatangi psikolog, psikiater, atau terapis bila membutuhkan bantuan dalam mencari tahu keadaan diri, terutama sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan mental.
Kesadaran akan kesehatan mental menjadi salah satu inovasi terbaik dalam mengubah tatanan kehidupan masyarakat menuju masyarakat modern. Kehadiran media sosial juga sejatinya merupakan perkembangan teknologi yang sangat mempermudah seluruh aktivitas di kehidupan. Namun, masyarakat terutama Gen Z perlu mengimbangi dua hal tersebut agar tidak terjerumus dengan bahaya self-diagnose yang bisa muncul tanpa disadari.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.