Komunikasi yang nggak baik itu sangat berpotensi menimbulkan konflik, ketidaksepamahan, ketidaksepakatan, misskomunikasi, dan lain sebagainya yang nggak diinginkan. Bukan hanya komunikasi antar teman, komunikasi yang baik juga sangat dibutuhkan ke dalam segala hal, mahasiswa-dosen, presiden-rakyat, guru-siswa, orangtua-anak, antar pemimpin negara, dan lain seterusnya.
Berbagai konflik yang terjadi di dunia ini, semuanya karena komunikasi yang buruk antar komunikator. Mulai dari konflik di Palestina, penjajahan Belanda, konflik ras di Amerika, bahkan konflik antar etnis. Termasuk hal-hal sepele pertikaian anak SD itu pemicunya adalah komunikasi yang nggak baik.
Nah, untuk menghindari itu semua, untuk menghindari komunikasi yang buruk, untuk mengindari sebuah interaksi yang nggak sehat, beberapa pemikir dari Institute for Social Research atau dalam bahasa Jermannya Institut für Sozialforschung, Goethe University Frankfurt, telah merumuskan seubah formula komunikasi yang rasional, yang baik, yang seharusnya diterapkan oleh masyarakat.
Lembaga itu biasa disebut sebagai Mazhab Frankfurt, Jerman, yang melahirkan salah satunya yakni intelektual generasi kedua, Jurgen Habermas. Filsuf kritis ini merumuskan sebuah gagasan bagaimana komunikasi itu seharusnya berjalan. Berikut beberapa proporsi yang ditawarkannya.
1. Refleksi Diri
Ternyata komunikasi yang baik ala Habermas itu bukan hanya persoalan seberapa banyak Anda berkoar, seberapa banyak Anda bisa mengucapkan omongan, atau seberapa baik public speaking Anda. Jauh sebelum itu, kalau menurut Habermas kita harus merefleksikan diri terlebih dahulu, mengoreksi, intropeksi, mengevaluasi, menyusun, memilah, menggerogoti segala hal tentang diri kita, khususnya tentang apa yang hendak disampaikan.
Misalnya kalau mau komunikasi dengan dosen, kita perlu mengoreksi diri tentang sampai manakah upaya yang dilakukan untuk lulus kuliah? Bahan apa yang telah disiapkan untuk ke depan? Seberapa siapkan knowledge pada diri untuk berdiskusi bersama dosen? Berapa referensi yang telah disiapkan untuk pengerjaan tugas akhir? Dan, berbagai refleksi diri lainnya yang mungkin perlu disadari oleh setiap mahasiswa. Melalui berbagai pertanyaan tersebut akan dapat memunculkan perilaku kritis terhadap diri sendiri.
Kenapa kok kita harus refleksi diri sebelum ngebacot? Ya, tentu saja untuk menghindari diri dari perilaku nyinyir, merengut, komentar yang tak berfaedah dan lain sebagainya pada lawan bicara kita. Justru sebaliknya, melalui refleksi diri maka kita akan selalu berfikir yang berorientasi pada pengembangan kualitas pada diri. Pasalnya, di dalam refleksi diri antara pengetahuan dan kepentingan dapat menyatu
2. Kesetaraan antar Komunikator
Ketika refleksi diri sudah dilakukan, selanjutnya adalah antar komunikator harus memposisikan diri sebagai dua insan yang setara. Meskipun kenyataannya statusnya berbeda, namun si yang statusnya tinggi harus bisa agak merendah menyesuaikan status lawan bicaranya. Sehingga pada intinya adalah tidak boleh ada dominasi dalam sebuah komunikasi.
Selama ini kita berkomunikasi pasti ada individu yang dominan, antara dosen-mahasiswa, antara guru-siswa, antara Indonesia dan Amerika, antara Presiden-rakyatnya dan lain seterusnya. Ketika ada pihak yang mendominasi, maka dapat dipastikan komunikasi ini akan berjalan satu arah, atau sekurang-kurangnya yang dominan yang akan banyak bicaranya, bahkan memiliki pengaruh yang lebih.
Bagi Habermas, masyarakat yang komunikatif adalah masyarakat yang ketika berkomunikasi terbebas dari dominasi, atau yang disebutnya sebagai ‘komunikasi tanpa penguasaan’. Dengan kata lain, komunikasi harus berjalan secara setara, gotong royong, musyawarah, bahu membahu, tanpa ada dominasi di dalamnya.
3. Kebebasan Berpendapat
Komunikasi yang dominatif hanya akan menghasilkan ketidakbebasan berpendapat. Di satu sisi ada pihak yang ngomongnya buanyak, di satu sisi hanya ngomong seadanya, itupun selalu dibantah sana sini. Kalau begitu caranya, lantas buat apa komunikasi dilakukan?
Komunikasi itu seharusnya menjamin kebebasan berpendapat antar komunikan. Layaknya sebuah demokrasi, ia tak boleh dikekang, dikurung, didominasi oleh lawan komunikatornya. Pendapat harus tersampaikan secara penuh dan bebas.
4. Pengakuan antar Komunikator
Terakhir, yang menjadi tambahan adalah dalam komunikasi itu harus saling memberi pengakuan satu sama lain. Ide ini sebenarnya nggak dari Habermas, melainkan dari muridnya, Axel Honneth. Ia mengatakan sekaligus mengkritik gurunya bahwa komunikasi itu nggak cukup hanya setara antar lawan bicara, melainkan juga mereka harus sama-sama diakui. Honneth menyebutkan sebagai politik rekognisi.
Sederhananya bisa dilihat dalam kasus ketika berlangsung komunikasi antara dosen dan mahasiswa. Misalnya dosennya sudah nggak dominan, sudah enjoy, gaul ala anak muda, bisa dianjak bercanda, rileks, friendly, dan udah enak banget lah intinya bahkan nggak keliatan sebagai dosen, udah seperti teman biasa.
Namun, kalau si dosen ini nggak mengakui salah satu mahasiswanya, maka si mahasiswa yang nggak diakui ini mau berkoar bagaimanapun nggak bakal digubris sama si dosen. Sudah sebaik apapun public speakingnya, sudah sepintar apapun mahasiswanya, kalau nggak diakui, maka ia akan dianggap tiada, akan dianggap kosong begitu saja.
Inilah yang terjadi mengapa konflik ras di Amerika nggak kunjung selesai, mengapa konflik etnis di Indonesia nggak kunjung usai, karena meskipun mereka sudah dianggap setara, tapi kehadiran mereka nggak dianggap, nggak diakui, sehingga mereka mau koar-koar bagaimanapun ya percuma.
Setelah membaca ini, ternyata komunikasi yang baik itu bukan persoalan tentang seberapa baik public speaking seseorang, melainkan ada kondisi-kondisi sosial yang harus diperhatikan agar komunikasi berjalan dengan baik.