Mendung Itu Lebih dari Cuaca: Terlena Sementara dan Menemukan Tenang

Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Mendung Itu Lebih dari Cuaca: Terlena Sementara dan Menemukan Tenang
Potret langit mendung.(Pixabay/TheOtherKev)

Langit kelabu yang menggantung rendah memang buat suasana menjadi syahdu. Rasanya seperti ada bisikan alam yang berkata, “sudah, rebahan saja dulu sebentar.” Di titik itulah kita sering kalah: cuaca begini membuat banyak orang terlena.

Mendung itu punya semacam sihir. Begitu rutinitas menunggu, tubuh seolah memberi seribu alasan untuk menunda. Selimut mendadak terasa lebih berat, sofa lebih hangat, dan motivasi berangkat lebih tipis. 

Godaan Rebahan dan Lesunya Tubuh

Mendung selalu membawa suasana yang sama: teduh, tenang, sekaligus sedikit melankolis. Justru di situlah keunikannya di mana mendung mampu mengubah ritme waktu tanpa mengenal jam. Entah saat sedang sibuk atau santai, langit kelabu selalu punya cara membuat kita berhenti sejenak dan merasakan keteduhan.

Meskipun begitu, bagi pekerja atau mahasiswa yang terbiasa dikejar jadwal atau deadline tugas, suasana mendung bisa menjadi ujian kesabaran. Aktivitas yang seharusnya lancar justru tertunda dengan dramatis karena ritme tubuh yang ikut melambat.

Fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah. Menurut penelitian Harvard Medical School, cahaya alami yang terang membantu tubuh memproduksi hormon serotonin yang membuat kita lebih waspada dan bersemangat.

Sebaliknya, cahaya redup seperti saat mendung cenderung meningkatkan hormon melatonin, yang bikin rasa kantuk lebih kuat. Jadi kalau hari ini kita merasa malas gerak, bukan sepenuhnya salah kita sih, ada faktor biologis yang ikut bermain.

Mendung dan Ruang Refleksi

Namun, di balik rasa kantuk itu, mendung juga seolah menghadirkan ruang refleksi. Cobalah perhatikan suasana jalanan: lalu lintas lebih pelan, orang-orang berjalan sambil menggenggam payung, dan warung makan mulai dipenuhi pelanggan yang mencari kehangatan dari sepiring bubur atau semangkuk soto dengan segelas teh panas.

Dalam suasana ini, ada kesempatan untuk melambat sejenak sesuatu yang jarang kita dapatkan di tengah ritme hidup serba cepat.

Sayangnya, sebagian orang justru melewatkan momen itu. Mereka tergesa-gesa, melewati hari hanya dengan kopi instan atau bahkan tanpa mengisi perut sama sekali.

Padahal, memberi tubuh asupan bergizi bukan sekadar soal energi, tapi juga menjaga konsentrasi dan produktivitas sepanjang hari. 

Kalau cuaca mendung membuat langkah terasa berat, bayangkan bagaimana rasanya kalau perut kosong ikut menambah beban? Di sinilah pilihan ada di tangan masing-masing. Mau ikut hanyut dalam alunan awan kelabu, atau memanfaatkannya sebagai alasan untuk memberi tubuh “bahan bakar” yang layak? 

Bayangkan nikmatnya menyeruput kopi hitam di angkringan sore hari sambil bercengkerama, atau menikmati bubur ayam dengan bawang goreng yang renyah di teras rumah sambil mendengar rintik hujan. Momen sederhana yang justru membuat hari lebih hangat, meski langit sedang dingin.

Pilihan Kita: Terlena atau Bangkit

Mendung memang sering banget dituding membawa lesu, tapi ia juga mengajarkan sesuatu: ada keindahan dalam tempo yang kecil. Kalau matahari membuat kita berlari, maka mendung memberi kesempatan untuk berjalan santai. Mungkin itu sebabnya banyak orang merasa “terlena.” Bukan semata malas, melainkan tubuh dan pikiran kita sedang menikmati jeda yang jarang ada.

Jadi, mendung tidak harus jadi alasan untuk menyerah pada kasur atau lupa makan. Justru, ini bisa menjadi undangan untuk memperlambat ritme, memberi ruang bagi diri sendiri, dan menyalakan semangat dengan cara yang sederhana. Karena pada akhirnya, yang membuat kita benar-benar terlena bukanlah mendungnya, melainkan pilihan kita untuk menikmatinya.

Mendung memang syahdu, tapi dibalik keteduhannya selalu ada godaan untuk terlena. Tinggal kita yang memilih: mau hanyut atau hayuk bangkit. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak