Ghosting Bukan Selalu Soal Cinta: Saat Teman Jadi Avoidant

Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Ghosting Bukan Selalu Soal Cinta: Saat Teman Jadi Avoidant
Ilustrasi korban ghosting (Freepik/Rawpixel.com)

Kalau biasanya ghosting  identik sama urusan cinta atau gebetan, ternyata fenomena ini juga sering terjadi di lingkaran pertemanan. Teman bisa tiba-tiba menghilang dari chat, grup WhatsApp, atau Dm Instagram tanpa alasan uang jelas, dan kadang hal ini bikin bingung, kesel, atau bahkan sedih. 

Di era Gen Z, komunikasi digital udah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Chat, feeds, dan notifikasi selalu hadir tiap saat. Ironisnya, kemudahan ini kadang bikin orang merasa overwhelmed. Beberapa memilih untuk “menghilang” sementara waktu demi menjaga kesehatan mental, atau karena nggak tahu cara menyampaikan perasaaan jujur: misal “Aku lagi pengen sendiri.”

Fenomena ghosting dalam pertemanan sering salah dimengerti. Banyak yang mengira teman yang tiba-tiba menjauh berarti nggak peduli, padahal bisa jadi mereka hanya butuh ruang untuk recharge, atau sedang menghadapi masalah pribadi. Dengan kata lain, ghosting teman bukan berarti pertermanan rusak, tapi lebih ke bentuk coping mechanism yang kadang sulit untuk  dijelaskan.

Mengenal Avoidant 

Sebelum membahas ghosting dalam pertemanan, penting memahami konsep avoidant. Dalam psikologi, avoidant attachment biasanya dipelajari dari pola hubungan sejak kecil: bagaimana seseorang mengelola kedekatan emosional. Namun, ada juga konsep Avoidant Personality Disorder (APD) yang dijelaskan oleh National Library of Medicine sebagai:

“A pervasive pattern of social anxiety, extreme sensitivity to rejection, and feelings of inadequacy, but with a strong underlying desire for companionship.”

Artinya, orang dengan APD cenderung merasa takut ditolak atau kurang percaya diri dalam hubungan sosial, tapi mereka tetap ingin memiliki koneksi dan persahabatan. Bedanya, APD adalah kondisi klinis yang lebih ekstrem, sedangkan avoidant attachment bisa muncul dalam spektrum normal dan mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan teman.

Ghosting Teman dalam Konteks Avoidant Attachment

Hubungan pertemanan juga bersifat dinamis. Ada fase dekat banget, ada fase menjauh, dan itu wajar. Ghosting kadang bikin orang belajar sabar, belajar menghargai jarak, dan memahami kapasitas sosial tiap individu. Tidak semua orang nyaman untuk selalu responsif di chat atau aktif di grup. Jadi ketika teman tiba-tiba menghilang, bukan berarti persahabatan berakhir, tapi bisa jadi mereka hanya butuh jeda.

Selain itu, memberi heads-up saat ingin menjauh bisa membantu menjaga hubungan. Pesan singkat seperti “Aku lagi butuh waktu sendiri, nanti ngobrol lagi ya” bisa mengurangi salah paham dan tetap menjaga ikatan persahabatan. Hal sederhana ini menunjukkan bahwa komunikasi dan empati lebih penting daripada sekadar selalu hadir di chat.

Fenomena avoidant ini juga membuka perspektif baru soal komunikasi generasi digital. Persahabatan bukan sekadar jumlah chat atau respons cepat, tapi kualitas perhatian, pengertian, dan kemampuan menghargai batasan satu sama lain. Ghosting teman bukan tabu, tapi bagian dari dinamika sosial yang realistis di era digital.

Dalam dunia pertemanan ala Gen Z, ghosting bukan akhir dari segalanya, tapi kesempatan untuk belajar menghargai ruang dan waktu masing-masing.

Ghosting teman memang bikin bingung dan kadang sakit hati. Tapi jarak atau diam bisa jadi cara seseorang mengatur diri. Pertemanan tetap bisa bertahan jika ada pengertian.

Intinya, ketika teman tiba-tiba menghilang atau memberi jarak, penting untuk melihatnya dari sisi empati, bukan asumsi negatif. Begitu juga sebaliknya, menjaga transparansi dan memberi sinyal kalau butuh waktu sendiri bisa membuat persahabatan tetap sehat dan awet.

Kesabaran sering jadi kunci menghadapi ritme hubungan yang berbeda-beda.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak