Isu kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapat perhatian luas di masyarakat, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Media sosial, kampanye kesehatan jiwa, hingga ruang diskusi publik mulai membuka kesadaran bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Namun, di balik meningkatnya kesadaran tersebut, masih banyak faktor pemicu gangguan kesehatan mental yang kerap dianggap sepele. Salah satunya adalah toxic relationship, yakni hubungan yang tidak sehat dan sarat dengan perilaku yang merugikan secara emosional, psikologis, bahkan fisik.
Menurut Glass (1995), toxic relationship adalah hubungan yang ditandai dengan kurangnya dukungan, adanya dominasi, konflik, dan perilaku yang saling merugikan. Hubungan yang seharusnya menjadi tempat bertumbuh justru berubah menjadi sumber luka dan tekanan batin.
Ancaman Tersembunyi di Balik Hubungan "Biasa"
Toxic relationship sering kali tidak disadari oleh pelakunya maupun korbannya. Banyak individu yang bertahan dalam hubungan beracun karena alasan cinta, takut kesepian, ketergantungan emosional, atau tekanan lingkungan. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa hubungan beracun dapat menurunkan kesehatan mental secara signifikan, memicu stres kronis, kecemasan, trauma psikologis, hingga depresi.
Studi dalam jurnal Penelitian Bisnis dan Manajemen yang ditulis oleh Kanda dan Kivania (2024) menegaskan bahwa toxic relationship dapat terjadi tidak hanya dalam relasi romantis, tetapi juga dalam keluarga dan pertemanan, dengan dampak buruk terhadap kondisi psikis dan fisik korban.
Secara umum, toxic relationship ditandai dengan adanya ketimpangan kekuasaan, dominasi satu pihak, minimnya rasa saling menghargai, serta perilaku manipulatif. Bentuknya dapat berupa kekerasan verbal, pembatasan aktivitas, posesivitas berlebihan, kebohongan, hingga kekerasan fisik dan seksual. Kondisi ini membuat korban merasa tidak aman, tidak berharga, dan kehilangan jati diri.
Dampak Nyata pada Kesehatan Mental dan Fisik
Data empiris dalam penelitian Kanda dan Kivania (2024) memperkuat fakta bahwa toxic relationship merupakan ancaman nyata bagi kesehatan mental. Penelitian yang melibatkan mahasiswa menunjukkan bahwa individu yang berada dalam hubungan beracun mengalami gangguan kecemasan, stres berkepanjangan, trauma emosional, hingga gangguan konsentrasi yang berdampak pada prestasi akademik.
Fenomena serupa juga ditemukan dalam penelitian mengenai remaja di Kota Makassar yang dimuat dalam Window of Public Health Journal oleh Saskia et al. (2023).
Penelitian tersebut mengungkap bahwa toxic relationship pada remaja berdampak langsung pada kesehatan fisik seperti insomnia, obesitas, dan gangguan asam lambung, serta pada kesehatan mental berupa stres, kecemasan, dan rasa takut berkepanjangan.
Siklus Berulang dan Normalisasi yang Berbahaya
Individu yang lama terpapar hubungan beracun cenderung menginternalisasi pola komunikasi yang penuh manipulasi dan dominasi. Ketika kondisi ini tidak disadari dan tidak dipulihkan, korban berpotensi membawa pola relasi yang sama ke dalam hubungan berikutnya.
Hal ini menunjukkan bahwa toxic relationship tidak hanya merusak satu hubungan, tetapi juga dapat menciptakan siklus yang berulang.
Yang lebih memprihatinkan, toxic relationship sering dinormalisasi dalam budaya masyarakat. Sikap posesif dianggap sebagai tanda cinta, kecemburuan berlebihan dimaknai sebagai bentuk perhatian, dan kekerasan verbal kerap ditoleransi. Normalisasi ini membuat korban sulit menyadari bahwa dirinya sedang mengalami kekerasan psikologis.
Dalam konteks kesehatan mental, toxic relationship menjadi faktor risiko yang serius. Individu yang terus-menerus berada dalam tekanan emosional akan mengalami kelelahan mental (mental exhaustion), gangguan regulasi emosi, serta peningkatan risiko depresi.
Oleh karena itu, toxic relationship tidak boleh dipandang sebagai urusan pribadi semata, melainkan sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Langkah Menuju Hubungan yang Sehat
Melihat dampak yang begitu luas, diperlukan upaya nyata untuk meminimalkan pengaruh toxic relationship terhadap kesehatan mental.
Peningkatan Literasi Kesehatan Mental: Masyarakat perlu diedukasi untuk mengenali ciri-ciri hubungan beracun sejak dini.
Penguatan Keberanian Individu: Menetapkan batasan (boundaries) dalam hubungan sangat diperlukan. Keluar dari hubungan beracun adalah langkah penting untuk memulihkan kondisi psikologis.
Dukungan Lingkungan Sosial: Keluarga, teman, dan institusi pendidikan perlu menciptakan ruang aman bagi individu untuk berbagi tanpa stigma. Konseling psikologis juga harus lebih mudah diakses.
Pada akhirnya, toxic relationship adalah persoalan serius yang berdampak langsung pada kesehatan mental individu dan kualitas kehidupan sosial. Kesadaran, edukasi, dan keberanian untuk memilih hubungan yang sehat merupakan kunci utama untuk melindungi kesehatan mental.
Hubungan yang baik seharusnya menjadi sumber dukungan dan pertumbuhan, bukan ruang penderitaan yang merampas kebahagiaan dan harga diri seseorang.