Opini: Kabinet Ramping Apa Bisa Efektif?

Siswanto | Siswanto
Opini: Kabinet Ramping Apa Bisa Efektif?
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla di dampingi ketua Bapilu PDIP Puan Maharani memberikan keterangan terkait pertemuan Jokowi dengan Presiden SBY di Bali esok hari, di Jakarta, Selasa (26/8). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]

Presiden terpilih Joko Widodo menyiapkan kabinet yang ramping untuk menjalankan pemerintahannya. Sampai saat ini memang masih banyak opsi, mulai dari 20 menteri, 24 menteri, bahkan sampai 30 dan 34 menteri.

Rakyat menanti dengan harap cemas, berharap opsi manapun yang dipilih semoga bisa efektif dan kalau bisa tidak membebani APBN karena masih banyak program intervensi yang berkaitan langsung dengan rakyat belum berhasil karena alasan pendanaan yang kurang.

Padahal, janji-janji kampanye Jokowi-JK banyak yang memerlukan tambahan dana dibandingkan dengan program-program pemerintah yang akan digantikan. Ambil contoh masalah peningkatan produksi pangan, pendidikan, kesehatan bahkan untuk meningkatkan infra struktur dan transportasi laut yang direncanakan Jokowi yang biayanya relatif sangat besar.

Sebenarnya biaya kementerian tidak seberapa dibandingkan besarnya nilai APBN, bahkan dibandingkan biaya personil (PNS dan ABRI). Biaya personil ini sebenarnya bisa menjadi bom waktu terutama sistem remunerasi yang telah diterapkan di Kementerian Keuangan, merembet ke semua kementerian dan sertifikasi guru dan dosen institusi pendidikan negeri dan swasta. Ini suatu hal yang cukup mengerikan tetapi banyak masyarakat bahkan pejabat tidak tau atau pura-pura tidak tahu. Misalnya, sistem remunerasi di Kementerian Keuangan yang sudah berjalan sekitar 5 tahun.

Kalau rata-rata kenaikan take home pay PNS Rp3 juta/bulan atau Rp36 juta/tahun bisa dibayangkan tambahan dana yang dibutuhkan. Sistem ini harus konsisten dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu. Jika tidak, akan terjadi ketidakadilan yang sampai saat ini kalau diasumsikan telah berjalan selama 5 tahun, berarti nilai ketidak adilan rata-rata sudah mencapai 5xRp36 juta= Rp180 juta.

Demikian juga tentang tunjangan sertifikasi, mungkin saat ini belum mencapai 25 % guru dan dosen di Indonesia yang telah tersertifikasi dan menikmati tunjangannya. Dengan demikian kalau bicara soal penghematan, mengurangi jumlah PNS akan lebih strategis tetapi sudah sangat terlambat karena tidak bisa sekaligus agar tidak kaget dan berdampak negatif. Kalau tidak ada penambahan baru (sangat selektif, kalau ada), yang paling aman adalah dengan tidak mengangkat lagi PNS baru untuk mengganti PNS yang pensiun.

Dengan cara ini, dalam waktu 8-10 tahun kalau konsisten jumlah yang rasional (kurang lebih 1/3 dari jumlah sekarang) bisa tercapai. Kalau swasta atau BUMN biasa dilakukan dengan goden shake hand (pensiun dini dengan mendapat sejumlah uang). Pertanyaannya, apakah dengan jumlah 1/3 dari jumlah PNS sekarang fungsi pemerintahan efektif? Jawabnya bisa karena selama ini setiap PNS rata-rata hanya bekerja 1/3 waktu kerjanya, selebihnya nganggur.

Lagi pula saat ini kebanyakan pekerjaan telah berbasis komputer dan web, sebagian pekerjaan malah sudah di outsourcing seperti kebersihan, keamanan dsb. Apalagi kalau sebagian hasil saving diberikan untuk tambahan bagi yang eksis. Sudah tentu untuk guru, dosen, keperawatan, penyuluh mungkin tidak banya berubah tetapi perlu dihitung lebih cermat lagi keperluannya.

Yang aneh adalah sikap dan tindakan pemerintah yang selalu menerima PNS baru. Dan pada saat otonomi daerah diberlakukan lebih dari 10 tahun lalu, kementerian-kementerian bukan mengurangi jumlah PNS karena beban pekerjaan beralih ke daerah, malah berlomba-lomba meningkatkan jumlahnya.

Efektifitas pemerintahan sangat ditentukan mutu kepemimpinan baik Presiden, Wakil Presiden, Menko, menteri, dan pejabat di bawahnya, karena yang banyak bekerja sebenarnya adalah pegawai sebagai pelaksana serta institusi dan masyarakat pelaku kegiatan produktifnya. Ambil contoh bidang pertanian, tingkat provinsi, ibarat tidak ada kementerian, dinas tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, apakah beras, jagung, sawit, hasil ternak, ikan, dsb masih eksis? Jawabnya masih tetap eksis karena yang menghasilkan komodoti itu adalah petani, peternak dan nelayan.

Makanya harus jelas benar apa fungsi dan peranan pemerintah, jangan sampai bukan “membantu rakyat” tetapi malah menjadi “membebani rakyat.” Untuk merampingkan kabinet, sebenarnya dapat menggabungkan beberapa kementerian yang sejenis dan erat kaitannya, misalnya kementerian pertanian dan kementerian kehutanan.

Manfaatnya di samping mengurangi jumlah menteri juga memudahkan koordinasi dan mengurangi overlap. Sebagai konsekuensinya jumlah eselon 1 ditambah karena rentang kendali pada manajemen modern yang didukung pemimpin full-time (tidak rangkap jabatan) dan pekerja keras bisa mencapai 10-12. Maka itu, pada perusahaan besar yang maju, struktur organisasi semakin flat, untuk efisiensi biaya perusahaan.

Begitu pula kementerian perindustrian/perdagangan bisa digabung dengan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif, karena pariwisata modern berbasis industri dan ekonomi kreatif substansinya banyak berkaitan dengan industri dan perdagangan.

Jabatan wakil menteri semestinya tidak perlu ada karena sekjen dan dirjenlah yang sebenarnya membantu menteri mengkoordinasi pejabat di bawahnya. Kalau menteri berhalangan (keluar kota atau hal lain) dapat diatur secara permanen siapa yang menjadi Pjs-nya. Menteripun sebenarnya sudah banyak dibantu oleh Balitbang dan Badan lain sesuai kebutuhannya.

Perlu dikaji apakah semua kementerian perlu Balitbang karena ada LIPI, BPPT dan PTN/PTS yang sangat kekurangan dana penelitian. Menko diperlukan asal berfungsi dengan baik. Jangan sampai terjadi menteri-menteri di bawah Menko bisa mengeluarkan pernyataan yang berbeda, misalnya pada pemerintahan sekarang, masalah impor beras, gula, daging atau garam, Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian/Perdagangan sikapnya berbeda.

Sering terjadi suatu strategi nasional, taktik dan kebijakan/program operasionalnya berada pada berbagai kementerian, seperti “pengurangan subsidi BBM” dan “ketahanan pangan.”

Dalam hal ini diperlukan seorang Menko yang analisisnya tajam, memiliki integritas, pekerja keras dan berpendirian teguh. Dimasa lalu banyak sekali kita tontonan “ketidakberdayaan” atau “ketidakpedulian” seorang Menko.

Kita mestinya banyak memiliki calon Menko dengan kriteria seperti diatas, salah satu contoh adalah Dahlan Iskan, Menteri BUMN yang sekarang. Apa benar ya?

Dikirim oleh Darwin Kadarisman, Jawa Timur

Anda punya cerita atau foto menarik? Silakan kirim ke email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak