Menikmati masa tua dengan bahagia tanpa bekerja adalah harapan semua orang. Mengapa? Karena kondisi fisik yang sudah mulai melemah, otot-otot mulai kaku, penglihatan mulai rabun, telinga mulai tuli dan pikiran mulai pikun.
Namun, impian bahagia tersebut ternyata belum menghampiri Ngateni (80), seorang mbah (nenek) asal Desa Centini, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan. Pasalnya, di usianya yang tua, ia masih harus hidup memprihatinkan.
Ngateni sudah tinggal sebatang kara selama puluhan tahun dan menggantungkan hidupnya dari hasil berjualan tape ketan buatannya. Nenek Ngateni sebenarnya mempunyai empat orang anak. Tiga di antaranya telah meninggal dunia, dan satu anaknya merantau ke luar Jawa namun sudah tidak pernah pulang ke rumah ataupun mengirimkan uang untuknya.
Setiap harinya, Ngateni harus membuat tape, yang ia jual dengan cara dititipkan kepada pedagang warung yang ia kenal. Cara tersebut menurut Ngateni paling mudah ia lakukan, mengingat kondisi fisiknya yang sudah renta. Ia mengaku tidak bisa menjual barang dagangannya sendiri, lantaran kondisi kesehatan yang sudah tak kuat lagi berjalan terlalu jauh.
"Saya titipkan nak, wes ora kuat mlaku (sudah tidak kuat berjalan)," kata Ngateni, ketika dihampiri wartawan Memorandum, Selasa (29/10).
Tidak banyak penghasilan yang didapatkan Ngateni dari hasil penjualan tape ketan yang ia buat. Setiap hari memperoleh uang sebesar Rp 15 ribu, jika dagangannya habis ia sudah sangat bersyukur. Sudah memperoleh penghasilan minim, Ngateni juga harus membagi-bagi penghasilannya kepada pedagang yang sudah membantu menjualkan tape buatannya sebesar Rp 5 ribu. Begitu terus setiap harinya.
Sementara, uang sisa yang masih ada sebesar Rp 10 ribu, lantas digunakan Ngateni untuk membeli beras, lauk-pauk dan modal pembuatan tape ketan.
"Cuma dapat 15 ribu nak, wong pasarnya sudah beberapa bulan ini sepi," tutur Ngateni dengan suara kas orang yang sudah tua.
Tidak hanya penghasilan untuk makan yang memprihatinkan, Ngateni juga tinggal di sebuah rumah berukuran 4x5 meter yang mulai reyot dan tidak layak huni. Tapi karena sudah sebatang kara, mau tidak mau ia harus mendiami rumah tersebut berpuluh tahun, meskipun ia sadar sewaktu-waktu rumah miliknya bisa saja roboh diterjang angin.
Bahkan ketika musim penghujan tiba, atap rumah Ngateni sering bocor, sementara ketika kemarau terpancar teriknya panas matahari. Tidak hanya itu, tiang penyangga rumahnya juga sudah terlihat doyong, dan dinding rumah banyak yang bolong.
"Kalau hujan bocor nak, dan mbah e tidak bisa memperbaiki karena sudah tua," jelasnya dengan mata berkunang- kunang.
Dengan kondisi tersebut, ternyata sampai kini belum ada bantuan dari pemerintah yang didapatkan oleh Ngateni. Namun ia tetap kuat dan tegar untuk terus berjuang seorang diri, dengan kondisi tubuh yang sudah sakit-sakitan termakan usia lanjutnya.
Bahkan bantuan bagi masyarakat miskin dan lansia yang kerap digembar-gemborkan pemerintah pun tak pernah didapat Ngateni. Hal ini dikarenakan dirinya tak punya identitas lengkap sebagai penduduk Lamongan.
Itu terjadi lantaran Ngateni dulunya adalah penduduk Tuban, yang kemudian pulang ke Lamongan mengikuti suaminya. Ngateni pun tidak bisa pindah sebagai warga Lamongan, karena tidak bisa mengurusnya, lantaran faktor usia yang sudah lanjut, selain juga terkendala biaya.
"Gak ngerti nak, piye carane nguruse. Terus ya gak duwe duwek (Tidak tahu nak, bagaimana cara ngurusnya. Terus ya tidak punya uang)," ujarnya memelas.
Kepala Dinas Sosial Lamongan, Moh Kamil pun mengaku tidak bisa berbuat banyak, dengan menyebut bahwa pemberian bantuan bagi masyarakat miskin juga ada aturannya. Dan Mbah Ngateni memang selama ini tidak pernah mendapatkan bantuan. "Karena tidak menjadi penduduk Lamongan, secara administrasi," ungkap Kamil.