Permasalahan pornografi merupakan salah satu persoalan bangsa yang sedari dulu hingga kini masih menjadi PR serius. Sebab dampak negatif dari pornografi adalah terbentuknya berbagai tindakan bengis, mulai dari pornoaksi, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan tindakan keliru lainnya.
Seperti belakangan ini begitu banyaknya kasus pencabulan anak, menyetubuhi anaknya sendiri, menghamili cucunya sendiri, penderita HIV/AIDS karena hubungan seks bebas, perselingkuhan, dan berbagai kasus lainnya. Sadar atau tidak sadar, pornografi menjadi salah satu faktor pembentuknya.
Pada era digital ini, tidak bisa dipungkiri bahwa peredaran pornografi di Indonesia bisa dikatakan semakin banyak. Berbanding lurus dengan perkembangan teknologi yang ada, bahkan sangat pesat melampaui seiring dengan jumlah pertumbuhan penduduk (bonus demografi).
Sehingga bahasan ini menjadi penting untuk kita, mengingat peredaran informasi (termasuk konten negatif berbau pornografi) sangat cepat dan banyak dalam jaringan internet. Selain itu, kondisi penduduk Indonesia pada hari ini tengah mengalami penetrasi internet dan sangat tergantung dengan yang namanya internet (dunia virtual).
Benar bahwa produk hukum yang mengatur persoalan pornografi sudah ketat dalam memberikan sanksi, dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hingga Undang-undang (UU). Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum positif yang di terapkan Indonesia malah berbanding terbalik dengan peminat pornografi.
Peraturan yang ada bukannya malah mengurangi peminat pornografi, akan tetapi semakin meningkat. Artinya, hukum yang sudah dibentuk kurang relevan dengan zaman dan tentunya belum mampu mengaktifkan kesadaran sosial agar menghindarinya.
Memaknai Pornografi dan Problematika Penanggulangannya
Secara sederhana, yang dimaksud dengan pornografi terdiri dari beberapa bentuk, mulai dari gambar, sketsa, ilustrasi, tulisan, suara, animasi, bunyi, gambar bergerak, kartun, percakapan, pertunjukkan umum dalam bentuk pesan suara yang melanggar norma kesusilaan dan mengandung kecabulan.
Apabila merunut dari surat edaran Jaksa Agung pada tanggal 22 Februari 1952 yang memberikan kriteria pornografi atau tidaknya peredaran sebuah produk digital, antara lain ketelanjangan, kegiatan seksual, rangsangan seksual, sadisme (termasuk horror dan mesichisme), komik dan majalah dewasa. Dan generasi kita yang meminati pornografi semakin banyak sejalan semakin banyaknya pornografi yang beredar.
Merujuk dari data aduan yang dihimpun oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Republik Indonesia 2019 yang terdiri dari 18 kategori, termasuk didalamnya pornografi. Bahkan persoalan pornografi paling banyak menjadi aduan dan menjadikan persoalan tersebut pada posisi pertama dengan jumlah aduan 1.009.558 dari total aduan 18 kategori dengan jumlah 1.161.590.
Bukankah data tersebut sudah menjadi gambaran bagi kita bagaimana maraknya peredaran pornografi di negeri ini?
Tidak hanya itu, penulis juga menelusuri peredaran pornografi yang mungkin 'belum terjangkau oleh KOMINFO' di media sosial, seperti halnya di Facebook, Instagram, dan Group WhatsApp. Sebab sampai hari ini, penelitian yang penulis lakukan dengan meneliti tiga media sosial tersebut didalamnya terdapat peredaran pornografi yang dibentuk dengan sadar.
Dan penulis menilai bahwa para peminat pornografi yang memasuki ketiga media sosial di atas begitu aktif, saling bertransaksi hal-hal yang sarat akan pornografi, mulai dari video, foto, stiker, dan tidak sungkan sesama diantaranya untuk mengajak berbuat demikian, mulai dari video call hingga perbuatan seks.
Kebijakan pemerintah dalam hal penanggulangan pornografi bisa dikatakan cukup ketat dalam hal sanksi dan isi redaksi daripada regulasi yang ada, mulai dari KUHP pasal 281-283, UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun lagi-lagi, produk hukum kita di atas belum juga berfungsi sebagaimana mestinya dalam memberantas peredaran pornografi. Atas dasar ketidaksanggupan dan kondisi zaman yang sudah tida relevan dalam penindaklanjutannya, kita butuh pendekatan lain untuk mengendalikannya.
Lebih tepantnya adalah kebijakan yang lebih edukatif pada masyarakat, sanksi administratif, dan melakukan pengendalian sistem elektronik terkait hal-hal yang berbau pornografi, ketimbang mengutamakan sanksi pidana sebagaimana selama ini diterapkan.
Penulis pun meyakini pemerintah menyadari kondisi ini, sehingga ada inisiatif dari pemerintah dalam membentuk Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektonik, yang salah satu tujuannya adalah mengendalikan peredaran pornografi.
Kehadiran PP No. 71 Tahun 2019
Sejak 10 Oktober 2019 di berlakukannya PP No. 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Aturan ini sebagai penindaklanjut berbagai aturan di atas memuat persoalan pornografi dengan kebijakan cyber squad sebagai pengawasan terhadap konten negatif dan segera memblokirnya sebelum pemerintah menemukannnya.
Sebab, apabila pemerintah menemukan lebih dulu, maka Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) akan dikenakan denda sekitar Rp100 juta per konten.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah ini mengatur pendekatan terkait kriteria dan pembatasan PSE lingkup privat dan lingkup publik. Dalam lingkup publik, meliputi instansi pemerintahan maupun lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah.
Dan dalam lingkup privat dibawah pengawasan kementerian yang berdasar pada aturan perundangan, mulai dari situs, portal, dan aplikasi dalam jaringan dibawah internet RI. Termasuk didalamnya layanan komunikasi SMS, video, surat elektronik, dan suara berplatform media sosial, jejaring, dan digital.
Penyelenggara Sistem Elektronik yang melingkupi privat bebas melakukan aktivitasnya dengan catatan bahwa harus memastikan pengawasan yang efektif dari pemerintah dan akses terbuka dalam penegakan regulasi.
Begitu juga dalam lingkupan pelayanan publik harus melakukan tata kelola dan proses sistem elektronik serta penyimpanan data elektronik di dalam negeri dengan pengecualian terbatas.
Sebagai bentuk komitmen dan pengetatan regulasi dengan keadaan, pemerintah memberikan rentang waktu sampai tahun 2020 agar memenuhi kewajiban sesuai PP N0. 71 Tahun 2019, kewajiban melakukan pendaftaran untuk kedua jenis PSE ini.
Apabila terjadi pelanggaran telah disediakan sanksi administratif atasnya, baik itu teguran tertulis, pemblokiran layanan, denda, hingga pemutusan akses dan dikeluarkan dari daftar PSE.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pornografi memiliki dampak negatif yang membahayakan pada semua aspek, terutama generasi muda penerus bangsa. Mulai dari kesehatan fisik, kesehatan mental, psikologis, penurunan daya kreativitas dan produktivitas, porno aksi, pencabulan, prostitusi, perselingkuhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya.
Karenanya, tidak berlebihan kita katakan simpul-simpul pembangunan yang telah didesain selama ini akan sia-sia jika para generasinya mengalami kemorosotan dari semua aspek.
Sehingga pemerintah dalam menanggapinya benar-benar serius dan penanganan peredaran pornografi dilakukan dengan berbagai pendekatan. Apabila masih berpatokan pada pendekatan hukum positif yang selama ini digencarkan rasanya masih kurang efektif dalam mengendalikan pornografi dan membangun kesadaran masyarakat akan dampak negatifnya. Baik itu KUHP pasal 281-283, UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Langkah pemerintah dalam melakukan pengendalian pornografi melalui PP No. 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik sudah tepat. Dimana dengan regulasi tersebut, lebih mengedepankan upaya preventif dan langkah taktis melalui cyber squad terhadap peredaran informasi di dunia maya. Tidak hanya itu, mengingat selama ini sudah banyak yang terbiasa dengan pornografi, maka kita bersama dengan pemerintah harus melakukan edukasi seks.
Pengirim: Al Mukhollis Siagian / Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara UNP 2017
E-mail: [email protected]