Pemberitaan beberapa minggu terakhir dipenuhi dengan kabar terkait skandal Harleygate yang dialami oleh salah satu maskapai penerbangan di Indonesia. Isu skala nasional ini membuat masyarakat menaruh keingintahuan dan perhatian yang lebih dengan dunia penerbangan yang dalam benak masyarakat Indonesia sarat dengan ‘eksklusifitas’ dan berbagai hal tidak umum lainnya.
Bisnis penerbangan merupakan industri yang unik. Selain dikenal berbiaya tinggi, bisnis penerbangan juga memiliki karakteristik yang kompleks karena akan selalu bersinggungan dengan bidang-bidang lain yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman seperti perkembangan teknologi terbaru hingga perubahan pola perilaku konsumen.
Di balik itu semua, bisnis penerbangan masih cukup menjanjikan bagi para pelakunya. Menurut data dari The World Bank dan International Civil Aviation Organization (ICAO) yang dipublikasikan pada lamannya, jumlah penumpang transportasi udara selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya dalam sepuluh tahun terakhir dan tercatat pada tahun 2018 total jumlah penumpang transportasi di seluruh dunia mencapai angka 4.232.644.720 penumpang.
Sedangkan untuk Kawasan Asia-Pasifik, total jumlah penumpang selama tahun 2018 tercatat sebesar 1.363.172.030 penumpang atau sekitar 32,2 persen dari total penumpang dunia di tahun yang sama. Namun sayangnya angka penumpang yang fantastis ini tidak menjamin bahwa bisnis penerbangan bebas dari masalah. Kembali lagi dengan karakteristiknya yang kompleks, salah satu tantangan terbesar yang kerap dihadapi oleh bisnis penerbangan adalah krisis keuangan, seperti yang sedang dialami oleh Malaysia Airlines.
Malaysia Airlines yang merupakan maskapai national flag carrier atau dikenal dengan maskapai nasional Malaysia yang mulai terbang pada tahun 1947. Selama beroperasi, maskapai ini sempat beberapa kali mengalami kesulitan keuangan seperti yang dialami ketika krisis moneter Asia di kisaran tahun 1996-1997.
Krisis keuangan yang melanda Asia kala itu turut mempengaruhi kinerja keuangan Malaysia Airlines yang mencatatkan kerugian di dalam laporan keuangannya hingga sebesar 260 juta Ringgit Malaysia dan kerugian pun masih terus dialami hingga beberapa tahun ke depan.
Puncaknya pada tahun 2011, perusahaan ini mencatatkan kerugian tertingginya dalam sejarah operasionalnya yaitu sebesar 2,52 milyar Ringgit Malaysia yang pada saat itu diklaim disebabkan oleh kenaikan harga avtur (yang merupakan komponen biaya terbesar dalam operasional pesawat) dan mismanajemen yang terjadi.
Musibah yang menimpa 2 armada pesawatnya yang melayani penerbangan nomor MH 370 dan MH 17 yang berturut-turut terjadi di tahun 2014 juga menyebabkan rangkaian kerugian yang dialami Malaysia Airlines terus berlanjut. Anjloknya penjualan, market share, serta harga saham perusahaan juga tak terelakan lagi untuk terjadi.
Terpuruknya keuangan Malaysia Airlines dalam kurun waktu 22 tahun terakhir ini sebenarnya juga telah banyak diprediksi. Di balik kepentingan politik yang terjadi di lingkup BUMN Malaysia pada saat itu, manajemen perusahaan telah melakukan langkah-langkah strategis yang diharapkan bisa memperbaiki kinerja keuangan perusahaan.
Ketika krisis moneter Asia terjadi, perusahaan melakukan efisiensi dengan menghentikan penerbangan rute-rute yang kurang menguntungkan dan memfokuskan pada rute-rute domestik daripada rute long-haul yang tidak menghasilkan. Reorganisasi besar-besaran juga dilakukan pada kisaran tahun 2015 yang salah satunya menghasilkan keputusan yang kontroversial pada saat itu yaitu PHK ribuan karyawan.
Pada tahun yang sama, maskapai nasional ini akhirnya mulai diprivatisasi dengan diambil alih oleh Khazanah Nasional Berhad, sebuah sovereign wealth fund yang dimiliki oleh pemerintah Malaysia. Suntikan dana juga terus dilakukan untuk Malaysia Airlines untuk mengupayakan recovery plan yang dicanangkan selesai dalam 3 tahun sejalan dengan restrukturisasi perusahaan.
Memasuki tahun 2019, kondisi keuangan Malaysia Airlines masih belum baik. Rencana-rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah Malaysia untuk maskapai nasional mereka ini mulai terdengar, mulai dari opsi refinancing, opsi menjual seluruhnya ke pihak swasta, hingga opsi paling ekstrem untuk menutup perusahaan nasional ini.
Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Mohamad, baru-baru ini memberikan pernyataan dalam sebuah artikel di majalah internal Malaysia Airlines edisi September 2019 yang menyatakan bahwa publik Malaysia masih bisa memiliki sebuah maskapai nasional tetapi maskapai nasional tersebut tidak lagi harus dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah karena era national airline untuk setiap negara sudah selesai.
Pernyataan ini makin menguatkan asumsi bahwa nasib Malaysia Airlines akan segera diputuskan dalam waktu dekat, akankah warga Malaysia masih akan memiliki maskapai nasional kebanggan yang membawa identitas negara kemanapun mereka terbang?
Bak dongeng nenek moyang, kisah jatuh bangun Malaysia Airline ini menarik untuk kita petik pelajarannya, mengingat Indonesia juga memiliki sebuah maskapai nasional yang sejak lama menjadi identitas bangsa dan membawa nama Indonesia di industri penerbangan dunia, Garuda Indonesia.
Jika boleh berkaca, kondisi keuangan Garuda Indonesia saat ini juga tidak terlalu bagus dan sering mencatat kerugian dalam laporan keuangannya. Bahkan dalam beberapa waktu yang lalu, publik sempat terhenyak dengan sanksi yang dijatuhkan kepada manajemen atas pelaporan laporan keuangan tahun 2018.
Belum lagi, hebohnya Harleygate serta adanya isu-isu miring terkait dengan kehidupan pribadi direksi yang disangkutpautkan dengan kinerja Garuda Indonesia setahun terakhir. Kita, warga Indonesia dan tentunya para pemilik saham Garuda Indonesia, menaruh harapan besar kepada jajaran manajemen perusahaan untuk dapat mengantisipasi kemungkinan terburuk dan selalu menghasilkan keputusan untuk kinerja terbaik serta keberlangsungan maskapai nasional bangsa Indonesia.
Hal yang terpenting menurut saya, sikap pemerintah yang layaknya orang tua memanjakan anaknya harus disudahi. Meskipun dianggap sebagai maskapai nasional, perusahaan tetap harus bertanggung jawab atas hasil dari kebijakan yang diterapkannya sendiri dan pemerintah tidak harus terus pasang badan dan ‘menyuapi’ perusahaan dengan suntikan dana jika perusahaan tidak menghasilkan kinerja yang baik.
Dan pertanyaan lain yang muncul, apakah era maskapai nasional juga akan berakhir di Indonesia? Semoga tidak.