Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim baru-baru ini menjadi topik pembicaraan yang hangat di seluruh media sosial. Bagaimana tidak, menteri termuda dalam Kabinet Indonesia maju tersebut membuat kebijakan yang menuai perhatian publik di awal tahun 2020 dengan menggandeng Netflix untuk mengembangkan industri film tanah air. Tak tanggung-tanggung, Netflix bahkan mengucurkan investasi sebesar 1 juta dolar AS atau sekitar Rp14 Miliar.
Kerja sama strategis ini akan dilakukan selama satu tahun kedepan. Kemitraan ini adalah langkah pertama dari program kebudayaan inovatif yang bertujuan menampilkan kehebatan sumber daya manusia Indonesia, dan diharapkan mampu mendorong perkembangan perfilman Indonesia baik dari segi konten maupun tata kelola industri. Hal ini juga menjadi kesempatan emas bagi perfilman Indonesia untuk menampilkan konten lokal secara lebih luas melalui jaringan Netflix yang sudah beroperasi di 190 Negara.
Nadiem menjelaskan kemitraan ini akan berfokus pada pengembangan kemampuan kreatif (creative writing) dan pelatihan pascaproduksi. Selain itu nantinya akan dilaksanakan pelatihan di bidang keamaan (online safety) dan tata kelola kreatif menghadapi pertumbuhan industri yang dinamis.
Adapun beberapa program Netflix, diantaranya :
- Workshop proses pembuatan film dari penulisan sampai tayang bersama tim Netflix di Jakarta dan Hollywood
- Kompetensi film pendek
- Online Safety Training Program
- Agile Governance Workshop bersama World Economic Forum
Namun ternyata langkah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dalam menjalin kerja sama dengan Netflix untuk mengembangkan industri perfilman Indonesia dikritik oleh Direktur Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi.
Ia menilai langkah Nadiem menggandeng Netflix seperti tak berkoordinasi dengan Menkominfo, Menkeu, atau Menparekraf yang “mengejar” Netflix memenuhi kewajiban sebelum berbisnis di Indonesia.
Heru mengatakan sebelum bekerja sama, Kemdikbud harus melihat dulu kejelasan badan hukum Netflix di Indonesia. Berdasarkan PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik disebutkan perusahaan seperti Netflix harus memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Ia juga berharap Kemdikbud beserta industri perfilman di Indonesia bisa mandiri dan membuat platform sendiri, sama seperti Nadiem membangun Gojek.
Seperti yang kita ketahui, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) mempunyai pandangan yang berbeda terhadap Netflix. Menkominfo memang belum secara tegas melarang aktivitas Netflix di Indonesia, namun juga tidak menyalahkan kebijakan Telkom memblokir layanan Netflix.
Alih-alih memberikan win-win solution, pernyataan Menkominfo Johnny G. Plate baru-baru ini justru memantik kebijakan yang bisa melemahkan daya saing film Indonesia. Johnny mengimbau agar Netflix di Indonesia menggunakan hasil kreativitas di dalam negeri. Ia bahkan meminta tayangan original Netflix untuk sementara tidak ditayangkan di Indonesia.
“Kalau bisa gunakan dulu hasil kreativitas anak Indonesia sendiri dulu. Tolong gunakan juga hasil dari kreativitas di dalam negeri untuk mencipakan kreativitas dalam negeri dan menggunakan nilai-nilai dalam negeri serta mendorong pasar (film) dalam negeri,” jelasnya.
Pernyataan ini kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan netizen. Menurut netizen, hal ini justru menunjukkan ketidakpercayaan terhadap kualitas film-film Indonesia yang mampu bersaing di kancah internasional dan tidak mampu mendorong persaingan sehat dari film lokal. Menurut warganet, Netflix sejatinya juga telah menayangkan beberapa film buatan Indonesia sejak tahun 2018 meskipun jumlahnya tak sebanyak film dari luar.
Menkominfo menyatakan pihaknya telah melakukan pertemuan dengan Netflix untuk menyampaikan regulasi yang berlaku di Indonesia. Salah satunya adalah mengenai konten-konten yang berbau pornografi atau konten negatif lainnya. Namun diakui bahwa Kemkominfo belum melakukan teguran kepada Netflix karena anggapan Netflix belum digunakan secara masif di Indonesia.
Sebelumnya, Sudaryatmo, Pengurus Harian YLKI mendesak Kemkominfo untuk memblokir konten-konten yang bermuatan pornografi, SARA, dan melanggar norma kesusilaan yang ada di Netflix. Menurutnya, kementerian di bawah pimpinan Johny G. Plate itu memiliki wewenang untuk melakukan pemblokiran Netflix tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat. Kemkominfo juga wajib melakukan monitoring terhadap konten-konten dalam Netflix.
Tak hanya Sudaryatmo, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov Sagala, menyatakan bahwa platform Netflix memiliki ancaman terhadap kebudayaan bangsa Indonesia. Netflix dianggap memiliki banyak konten yang tidak sesuai dengan karakter bangsa terutama mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Sementara itu di sisi lain, polemik Netflix muncul karena masih dihantui oleh pajak. Netflix sedang disoroti karena belum membayar pajak dari bisnis di tanah air. Selama ini Ditjen Pajak merasa kesulitan menarik pajak dari Netflix karena terbatasnya aturan. Netflix sebagai perusahaan teknologi over the top (OTT) seharusnya membayar pajak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pelanggan layanan jasa. Netflix dianggap memanfaatkan celah dari belum adanya regulasi yang jelas mengenai bisnis OTT. Selama ini bagi Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN) hanya dapat dikenakan pajak di Indonesia apabila memiliki badan usaha tetap di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sedang mengusulkan aturan omnibus law perpajakan yang mengubah sistem wideworld menjadi teritori, di mana salah satunya pemerintah bisa menarik pajak digital terhadap perusahaan yang tidak memiliki kantor tapi berbisnis di Indonesia. Aturan ini akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aturan ini nantinya tidak hanya akan berlaku untuk Netflix, tetapi juga platform streaming lainnya seperti Spotify.
Banyak pihak berpendapat bahwa langkah yang diambil Nadiem Makarim “melenceng” dari regulasi yang seharusnya dipenuhi oleh Netflix. Lantas apakah langkah Nadiem Makarim dalam menggaet Netflix sudah tepat ? Apakah langkah tersebut layak disebut sebagai strategi ataukah hanya sensasi ?
Heru berpendapat, model kerjasama yang ditawarkan Netflix ke Kemdikbud lebih kepada 'gimmick marketing' karena nilai 1 juta dolar Amerika itu dalam ditawarkan dalam bentuk komitmen menggelar sejumlah pelatihan bagi kreator film.
"Padahal, memiliki platform sendiri buatan anak bangsa selangkah lebih maju dibanding menggunakan platform OTT dari luar. Meskipun kita tidak membuat, ada kewajiban BUT," tegasnya.
Selain itu, kata Heru, Netflix juga harus merekrut sekian orang Indonesia sebagai karyawan. Dan tentunya, ada kewajiban memberi ruang bagi film, video atau karya kreatif orang Indonesia.
Memang bukan kali ini Nadiem Makarim menuai perhatian masyarakat. Kebijakannya menghapuskan Ujian Nasional juga banyak mendapat kritik. Kini strateginya menggandeng Netflix pun menuai sorotan. Ditambah lagi dengan perbedaan pandangan dengan Memkominfo yang membuat polemik Netflix menjadi semakin panas. Maka tak berlebihan jika beberapa pihak menyebut langkah yang diambil Nadiem Makarim hanyalah sensasi belaka.
Menyikapi polemik Netflix dari sudut pandang Kemdikbud dan Kemkominfo sepertinya hanyalah perbedaan pandangan dari dua generasi yang berbeda. Nadiem Makarim yang akrab disapa “Mas Menteri” berasal dari generasi milenial yang cenderung lebih mudah menerima perubahan dan lebih kreatif dalam menciptakan terobosan baru demi mendukung perubahan yang lebih baik. Nadiem yang merupakan pelaku industri kreatif tentunya sudah tidak asing dengan platform seperti Netflix. Namun akan lebih baik jika semua kementerian/lembaga dalam negeri melakukan koordinasi sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan yang nantinya akan berdampak luas bagi masyarakat Indonesia.
Oleh: Annisa Kurnia Sari / Mahasiswa D-IV Politeknik Keuangan Negara STAN