Pandemi COVID-19 menjadi pusat perhatian saat ini, baik bagi perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah, maupun bagi pemberitaan media di Indonesia.
Mengingat fakta semenjak diumumkan pertama kali pada awal Maret 2020, mengenai keberadaan virus corona di Indonesia, pandemi COVID-19 menjadi virus menakutkan bagi bangsa ini, serta melumpuhkan berbagai aktivitas masyarakat, khususnya pendidikan dan ekonomi.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghardik kaum oportunis, tetapi hanya sekedar merefleksikan bagaimana eksistensi dari “Pancasila” sebagai ideologi bangsa, di tengah mewabahnya virus tersebut. Faktanya sebagai bangsa, kita perlu memiliki kekuatan moral dalam menyikapi peristiwa apa pun, dalam konteks Indonesia yang sedang dilanda pandemi COVID-19.
Apakah masih terdapat rasa kemanusiaan pada bangsa ini, atau mati demi melindungi kepentingan pribadi?
Menyikapi COVID-19
Mewabahnya COVID-19 di berbagai belahan dunia, memang menjadi teguran bagi umat manusia, khususnya dalam mempersiapkan ketahanan yang memadai pada bidang kesehatan, termasuk bangsa Indonesia, yang sedang diuji dalam menyikapi dan melawan virus tersebut. Data terbaru menunjukan, bahwa sebanyak 4.557 masyarakat Indonesia dinyatakan positif, 380 sembuh serta 399 meninggal (suara.com, 14/4/2020).
Bagaimana dengan masyarakat yang berstatus positif tetapi “tidak terdata”, ketakutan tersebut masih menjadi misteri, serta yang bisa kita lakukan hanya berdoa kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Lalu mengoptimalkan layanan khusus yang dibuat oleh pemerintah berupa aduan COVID-19, di daerah masing-masing, dalam ikhtiar menyelamatkan nyawa kita sendiri, maupun orang lain, sebagai saudara setanah air.
Proses penyebaran COVID-19 yang cepat, mengakibatkan ribuan orang Indonesia terpapar, sehingga pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan sebagai upaya menyelamatkan nyawa masyarakatnya, seperti membentuk Gugus Tugas Penanganan COVID-19, memberlakukan proses pembelajaran di rumah, terbaru Kemenkes menyetujui status DKI Jakarta, serta Bodebek (Bogor, Depok, Bekasi), menjadi daerah yang memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Cara masyarakat dalam menyikapi COVID-19 begitu beragam, sehingga merepresentasikan sudah sejauh mana bangsa ini dewasa, serta menunjukan bagaimana eksistensi ideologi Pancasila apakah masih “terpatri” pada nurani setiap manusia Indonesia. Faktanya banyak masyarakat yang mengutamakan keselamatannya, karena merupakan sebuah kelaziman, tetapi tidak sedikit juga oknum yang mengutamakan keselamatannya, dengan menghilangkan sifat kemanusiaannya.
Menolak dikuburkannya jenazah yang “terpapar virus COVID-19” merupakan fenomena sosial yang begitu menyakitkan, serta menjadi catatan kelam bagi keberlangsungan hidup bangsa ini. Jenazah tersebut dianggap aib, penuh dengan dosa, sehingga keberadaannya ditolak oleh oknum masyarakat, lebih memprihatinkan apabila jenazah tersebut pernah berprofesi sebagai tenaga medis atau pernah mengajukan diri untuk menjadi relawan dalam melawan pandemi COVID-19.
Lantas apa bedanya kita dengan penjajah yang tidak menghargai nyawa pribumi (manusia Indonesia asli), apabila realita sosial tersebut telah terdeskripsikan. Rasional kita bersikap untuk menjaga keselamatan diri sendiri, tetapi tidak harus menghilangkan sifat kemanusiaan, perlu kita merefleksikan bagaimana “sakitnya” apabila kita yang mendapatkan perlakukan tidak adil tersebut.
Bangsa ini berdiri melalui semangat kolektifitas, begitu beragamnya gangguan yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa sejak awal kemerdekaan, mampu diatasi dengan berbagai pendekatan dan strategi kebijakan yang baik.
Dalam merusak persatuan dan kesatuan bangsa, konflik horizontal antar sesama saudara sebangsa dan setanah air, terbukti lebih efektif dari pada konflik yang dihasilkan dari perang internasional maupun agresi militer.
Bagaimana kekuatan serta komitmen bangsa untuk menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai peristiwa sosial maupun tantangan zaman, begitu berarti untuk bangsa ini agar tetap eksis bahkan menjadi pemenang.
Menolak jenazah yang terindikasi COVID-19 merupakan falasi berpikir, serta merusak kesatuan dan persatuan bangsa, kita perlu menjaga perasaan keluarga terkait, karena pada hakikatnya kita adalah saudara sebangsa dan setanah air, tidak terkotak-kotakan oleh preferensi sosial dan politik, bahkan oleh hubungan darah sekali pun.
Menolak jenazah individu yang terpapar oleh pandemi COVID-19 merupakan perbuatan yang keji, tidak manusiawi, serta merepresentasikan bangsa yang tidak beradab.
Menjadi catatan bersama akibat terjadinya peristiwa sosial yang sangat memalukan tersebut, terlebih bagi pemerintah, khususnya aparat keamanan, yang perlu mengatasi kejadian tersebut, agar tidak terulang kembali, karena berpotensi untuk merusak moralitas dan solidaritas bangsa.
Rusaknya moralitas dan solidaritas bangsa, mengakibatkan bangsa ini hilang identitas atau jati dirinya, sebagai bangsa yang memiliki keadaban yang tinggi. Tentu nilai-nilai ideal tidak hanya dijargonkan tetapi diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Realita sosial tersebut menjadi indikator kuat sudah sejauh mana “ikatan emosional” kita sebagai sebuah bangsa, sehingga apabila peristiwa memalukan tersebut tetap terjadi, maka perlu kita refleksikan, di manakah letak “keadilan”.
Memaknai Ideologi Pancasila
Sebagai ideologi yang menjadi representasi dari nilai-nilai Ketuhanan serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, tentu ideologi Pancasila menjadi kaidah untuk hidup dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Terdapat perilaku yang telah mendarah daging sehingga menjadi watak warga negara, serta terdapat juga nilai dan perilaku ideal yang perlu dihabituasikan, sebagai ikhtiar dalam membentuk warga negara yang Pancasilais.
Ditinjau dengan menggunakan perspektif mana pun, fenomena menolak jenazah yang terpapar COVID-19 tidak berdasar sama sekali, serta merupakan kecatatan dalam berperilaku.
Sebagai masyarakat yang memiliki keimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kita perlu memuliakan sesama manusia, termasuk memberikan pemakaman yang layak bagi individu yang terpapar COVID-19 dengan pelaksanaan proses pemakaman yang mengikuti syariat agama, serta mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan (khusus untuk COVID-19), baik oleh WHO (organisasi kesehatan internasional) maupun oleh lembaga kesehatan setempat yang representatif.
Memaknai ideologi Pancasila tidak bisa dilakukan dengan menggemakan jargon, atau melalui proses sosialisasi teoretik semata, tetapi makna ideologi Pancasila akan terasa hikmatnya, apabila diaplikasikan melalui keterlibatan kita dalam proses mewujudkan keadilan serta kesejahteraan umum, bahkan melalui komitmen kita untuk menjunjung tinggi Pancasila dalam kondisi apa pun.
Dalam konteks Indonesia yang sedang dilanda pandemi COVID-19, sudah sejauh mana kah peran diri kita sendiri dalam mengutamakan kepentingan umum. Minimalnya kita mengikuti anjuran pemerintah untuk tidak berkumpul serta melakukan tindakan yang bisa merugikan orang lain.
Plato pernah memberikan definisi mengenai negara ideal yang dipimpin oleh seorang “raja filsuf” (raja yang bijak), tetapi tidak pernah terealisasikan sampai saat ini, karena prosesnya yang begitu rumit, serta susahnya untuk mencapai kesepakatan.
Refleksi yang bisa diambil, tidak perlu kita menjadi individu yang berkuasa untuk memberikan dampak positif bagi orang lain, cukuplah berkontribusi sesuai dengan kapasitas kita sendiri.
Ditinjau dalam konteks pandemi COVID-19 saat ini, kita perlu menjadi individu yang bijaksana, seperti tidak memberikan stigma negatif pada jenazah yang terpapar COVID-19, bahkan aktif dalam mengedukasi masyarakat umum, melalui media yang memadai, agar pandemi COVID-19 ini bisa teratasi. Semoga Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa, selalu menyayangi bangsa ini, agar moralitas dan solidaritasnya tetap terjaga.
Oleh: Agil Nanggala / Mahasiswa S2 PKn SPs UPI