Seperti yang kita ketahui bahwa virus corona saat ini telah menjadi sebuah pandemi yang tak kunjung mereda. Ratusan negara di dunia termasuk Indonesia, merasakan dampak yang signifikan terutama dalam bidang perekonomian Negara. Sudah berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus ini tetapi sepertinya belum menemukan titik terangnya. Sebagian lapisan masyarakatpun dirasa kurang mendukung dengan kebijakan yang ada.
Pemerintah DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan, juga turut mengambil peran dalam memutus tali penyebaran virus COVID-19 di Indonesia. Dalam hal ini beliau telah menerapkan kebijakan bagi seluruh warga DKI Jakarta untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terhitung sejak hari Jumat (10/4) lalu. Penerapan PSBB di Jakarta ini mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan atau Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 dalam penanganan COVID-19.
Melansir dari detik.com, salah satu isi dari peraturan Gubernur dalam melaksanaan PSBB berkaitan dengan pembatasan jam operasional pasar tradisional dan modern. Pada kebijakan tersebut tertera bahwa pasar tradisional atau pasar rakyat hanya boleh beroperasi pada pukul 03.00-15.00 WIB, dan untuk pedagang eceran serta minimarket hanya boleh beroperasi pada pukul 08.00-20.00 WIB. Sedangkan untuk pengusaha ritel, grosir, hypermarket, supermarket, dan toko swalayan hanya boleh beroperasi pada pukul 10.00-2100 WIB.
Satu pekan setelah diberlakukannya kebijakan PSBB dirasa belum mendapatkan hasil yang cukup maksimal. Karena dalam penerapannya, masih ada sebagian dari lapisan masyarakat yang merasa dirugikan dan enggan menaati peraturan baru tersebut. Para pedagang kecil misalnya, mereka merasa keberatan karena kehadirannya serasa terlupakan.
Semenjak diberlakukannya peraturan pembatasan jam operasional berdagang membuat para pedagang merasakan perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupannya. Mereka yang sehari-hari hanya menggantungkan hidup dari hasil berdagang harus merasakan nasib yang merana.
Bagaimana tidak, efek yang ditimbulkan dari adanya social distancing sudah mempengaruhi besaran pemasukan bagi para pedagang. Ditambah lagi dengan pemberlakuan pembatasan jam operasional untuk berdagang semakin membuat pemasukan menurun drastis. Omset yang semula hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mulai menurun dari angka yang seharusnya. Alih-alih mengeluarkan kebijakan untuk membatasi infeksi tetapi justru malah menimbulkan masalah baru dan bukan menjadi solusi. Memang ditengah pandemi ini pemerintah telah menjanjikan bantuan untuk mensejahterakan rakyatnya, tetapi mengapa sampai saat ini belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Apakah pembagiannya yang tidak merata, atau hanya dalih pemerintah saja?
Ibu Titin, salah satu pedagang angkringan yang merasakan turunnya omset akibat dari pembatasan jam berdagang ikut memberi komentar (16/4).
“Sehari-harinya warung ramai kalau malam, apalagi malam Minggu, tetapi sekarag ini malah dibatasi jamnya tidak boleh berdagang lebih dari jam 8 malam, jadi ya sepi,” eluh ibu Titin sambil menceritakan warungnya yang memang baru dibuka pukul 16.00 WIB.
Ketika ditanyai soal omset, tanpa ragu beliau menjawab dengan tegas mengenai turunnya omset yang didapatkan semenjak diberlakukannya peraturan PSBB bagi pedagang tersebut.
“Sebelum peraturan ini diterapkan, Saya sehari bisa dapat 500 ribu, Mas.”
“Tetapi semenjak diberlakukannya peraturan ini, Saya bisa dapat 300 ribu sudah Alhamdulillah, karena pembeli jadi jarang, dan rentang waktu saya berjualanpun sebentar,” ujarnya.
“Saya sehari-hari cuma berdagang, jadi terpaksa Saya ikuti peraturan yang ada. Karena kalau tidak taat warung saya bisa ditegaskan oleh satpol-PP hehe, jadi ya sambil berdoa saja,” ungkapnya kala itu.
Ditengah maraknya kasus penyebaran virus COVID-19, ternyata masih banyak hal yang tingkat urgensi-nya dianggap lebih dari penyebaran virus ini. Ibu Titin dan suami sebagai contohnya, mereka memberanikan diri untuk beraktifitas seperti biasa dan tetap memilih untuk berdagang demi bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kasus yang serupa tentunya dialami juga oleh para pedagang kecil lainnya yang terpaksa harus menaati peraturan baru yang diterapkan guna bisa aman.
Dengan melihat proses penetapan PSBB dalam suatu daerah maka dikhawatirkan PSBB hanya akan menjadi sebuah kebijakan, tanpa adanya pelaksanaan secara seragam yang mencakup seluruh wilayah. Jika hal ini terjadi, maka menyebabkan dampak yang sangat fatal. Pemerintah akan dinilai lamban dalam menangani kasus COVID-19 sehingga imbasnya rakyat kecil yang merasakan.
Selain itu, instrumen hukum yang diterbitkan seiring diterapkannya PSBB ini masih belum menjadi titik terang dari segala tanda tanya yang tercipta dari masyarakat. Kebijakan lain terkait pelaksaan operasional PSBB oleh berbagai kalangan dan hak-hak masyarakat selama PSBB belum tercantum dalam instrumen hukum tersebut.
Realisasi kebijakan terkait bantuan sosial bagi masyarakat juga belum berjalan mulus sebagaimana mestinya. Pelaksanaannya yang tidak seragam menjadi topik evaluasi bersama. Sehingga kita perlu andil bersama dalam menuntun, mengontrol, serta memantau proses pelaksanaan kebijakan yang ada. Sebab, sebaik-baiknya regulasi merupakan regulasi yang terealisasi.
Oleh: Muhammad Dzikri Khofi / Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta