Melihat New Normal dalam Perspektif Politik

Tri Apriyani | Farras Fadhilsyah
Melihat New Normal dalam Perspektif Politik
Ilustrasi New Normal

Saat virus corona atau Covid-19 hadir dalam kehidupan manusia memiliki dampak yang sangat luas. Tercatat hingga 29 Mei 2020 jumlah kasus positif di Indonesia mencapai 24, 538, dengan memakan korban meninggal dunia mencapai 1,496 kasus. Dan 6,240 telah dinyatakan sembuh.

Aktivitas masyarakat juga mengalami kesulitan akibat diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Mobilisasi yang dipersulit pemerintah berdampak kepada ekonomi khususnya ekonomi UMKM yang sangat terpukul dengan adanya virus corona ini.

Sejak diberlakukan PSBB secara angka trend kenaikan korban corona terus bertambah dan kondisi ekonomi semakin terpuruk. Korea Selatan yang bisa dinyatakan sukses dalam penerapan penanggulangan virus corona ini ketika karantina dilonggarkan mencatat adanya lonjakan baru sejumlah kasus penularan virus corona usai karantina dilonggarkan.

Terlebih lagi WHO juga telah menyatakan bahwa virus corona untuk saat ini tidak bisa hilang dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Tentunya ini membuat beberepa negara berpikir ulang mengenai strategi penanggulangan virus corona.

Lockdown ataupun karantina dan semacam perarturan pemerintah yang menyerupai itu tidak bisa terus dilakukan secara jangka panjang sampai vaksin ditemukan, apalagi penemuan vaksin hingga saat ini juga masih menjadi pembahasan panjang bagi para ahli.

New Normal

Inilah mengapa Pemerintah pusat memperkenalkan metode baru yaitu New Normal. Sepertinya pemerintah melihat sulit mencari jalan lain sampai ditemukannya vaksin dan pemerintah melihat ada ancaman baru selain krisis kesehatan yang bisa berbuntut panjang ke krisis ekonomi sampai-sampai ke krisis politik dan ini adalah sebuah ancaman yang serius.

Jika kita lihat terbitnya PSBB juga dikarenakan pemerintah memperhatikan betul dari aspek ekonomi karena mungkin pemerintah sadar sebenarnya ekonomi kita saat ini tidak sedang baik-baik saja, apalagi ditambah dengan virus corona.

Dalam sejarah Indonesia krisis ekonomi sering kali memiliki buntut yaitu krisis politik atau jatuhnya pemerintahan, ini terjadi di tahun 1960-an dan 1998.

Jika metode PSBB terus dilakukan tanpa ada inovasi lain bukan hal yang tidak mungkin ancaman dari krisis politik yang bermula dari krisis ekonomi ini akan menjadi nyata. Saat ini jumlah korban PHK akibat efek ekonomi semakin bertambah, kesenjangan sosial semakin terlihat jelas sehingga peluang awal dari krisis keamanan semakin terbuka, seperti akan maraknya pencurian, perampokan hingga kerusuhan dan hal ini bisa membuka peluang baru yaitu krisis politik.

Krisis Politik

Menurut Ahmad Shukri Mohd. Nain dan Rosman Md. Yussof menjelaskan bahwa krisis politik adalah suatu keadaan negara yang mengalami instabilitas di dalamnya. Krisis politik berlaku karena hilangnya kepercayaan masyarakat atau anggota partai terhadap pemimpin mereka (Shukri dan Youssuf, 2003:178).

Selain itu hal mendasar yang menyebabkan krisis politik dalam suatu negara adalah keamanan dan kestabilan ekonominya. Krisis politik juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain yaitu seperti perbedaan ideologi politik, faktor biologi, faktor budaya, potensi politik (strategis), ekonomi (sumber) dan adanya kesenjangan sosio ekonomi yang tinggi (Shukri dan Youssuf, 2003:178).

Ini terlihat dalam teori bahwa sangat jelas awal dari krisis politik adalah tidak stabilnya ekonomi akan memiliki buntut panjang.

Dari krisis ekonomi hingga krisis keamanan tersebut akan berakhir pada krisis politik. isu-isu mengenai ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menyelesaikan virus corona ini berpotensi menjadi Snow Ball Effect yang akan di politisasi oleh oknum-oknum yang ingin menjatuhkan pemerintah.

Maka dari itu ini peran saling membantu antara masyarakat, oposisi dan pemerintah dalam menghadapi ujian ini sangat diperlukan. Jangan sampai krisis politik ini menjadi hal nyata karena biaya negara dan energi negara sangat terkuras jika krisis politik ini sampai terjadi.

New Normal & Catatan

Jika dilihat Pemerintah menerapkan New Normal ini memiliki semangat agar perputaran ekonomi khususnya dalam sektor UMKM dapat kembali pulih. Tetapi penulis mengingatkan pemerintah tetap mengedepankan sektor protokoler kesehatan tidak semua serba untuk pemulihan ekonomi walaupun memiliki niat baik.

Penulis menyarankan jika memang pemerintah hanya fokus terhadap perputaran ekonomi maka penerapan New Normal ini khusus dilakukan di sektor ekonomi rill. Seperti contoh untuk sektor pendidikan seperti TK, SD, SMP, SMA dan Universitas tetap untuk tidak diberlakukan New Normal karena untuk tetap berfikir agar curva kenaikan angka positif virus corona ini bisa diturunkan. Maka dari itu New Normal diharapkan benar-benar ditujukan untuk pemulihan ekonomi.

Penulis: Muhammad Farras Fadhisyah (Mahasiswa Universitas Al-Azhar Indonesia & Anggota Kelompok Kajian Kopi Malam)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak