Belum lama ini kita dihebohkan dalam temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) yang mencatat bahwa pemerintah pusat menggelontorkan dana mencapai Rp 90,45 miliar untuk Influencer. Reputasi pemerintah pusat tentang menggunakan jasa influencer juga diperburuk dengan viralnya Influencer mengkampanyekan sebuah isu yang berindikasikan bahwa isu tersebut bersinggungan dengan isu Omnibus Law.
Hal ini menjadi seperti snow ball effect terhadap pemerintah mengenai penggunaan jasa Influencer yang memakan dana yang sangat besar. Apalagi isu tersebut sangat diperhatikan oleh kubu oposisi baik dari partai politik maupun organisasi kemasyarakatan.
Tipologi Influencer
Beberapa kali isu mengenai Influencer sering mencuat didalam perpolitikan Indonesia setelah era digital media menjadi tempat efektif dalam panggung-panggung politik khususnya dalam komunikasi politik di era modern. Blumber dan Kavanagh, sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill (2009), menyebut saat ini sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga.
Generasi pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal, generasi kedua bersandar pada penguasaan media-media arus utama (mainstream) seperti tv, koran, radio majalah dan lain-lain, sementara generasi ketiga pada kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya. Maka dari itulah ada istilah yang menyebutkan saat ini adalah era media baru.
Selain itu dalam perkembangan era media baru Influencer juga bisa dikatakan sebagai netizen karena Influencer juga termasuk dalam ketegori warga internet, tetapi penulis menganalogikan Influencer adalah rajanya “netizen” karena Influencer yang bisa memperngaruhi opini publik warga internet.
Menurut Gun-Gun Heryanto dalam bukunya Problematika Komunikasi Politik, kalau diidentifikasi dalam perspektif komunikasi politik, netizen terbagi menjadi empat tipologi.
Pertama dissemanator, biasanya menyebar informasi harian, polanya berbagi dan terkoneksi satu sama lain dengan tujuan agar ide, ajakan atau sikapnya diketahui dan bisa diikuti orang lain.
Kedua publicst, biasanya membangun citra positif untuk tujuan popularitas dengan kontestasi politik, misalnya pemasaran politik melalui media sosial.
Ketiga propagandist, senantiasa mempraktikkan teknik-teknik propaganda guna kepentingan delegitimasi lawan sekaligus memperkuat legitimasi dirinya lewat internet. Keempat hactivist, yaitu aktivitas utamanya adalah meretas dan membobol akun, situas maupun informasi berbasis internet lainnya.
Melihat dari tipologi yang disebutkan diatas rasa-rasanya kepentingan Influencer lebih digunakan untuk tipologi propagandis yaitu untuk memepengaruhi netizen. Hal itulah yang menyebabkan Influencer sering dilirik oleh pihak coorporasi maupun instansi pemerintah untuk melakukan marketing maupun kepentingan lainnya seperti pembangunan opini publik.
Tetapi dalam kasus ini apakah Influencer tepat digunakan yang bersinggungan dengan isu-isu politik? Karena melihat dari kasus sebelumnya tentang Influencer mempromosikan campaign yang diindikasikan isu Omnibus Law, faktanya campaign tersebut gagal total dan bahkan membuat kesalahan fatal yang mengakibatkan reputasi Influencer itu sendiri rusak, dan bahkan pemerintah pusat juga menjadi bahan serangan dari pihak oposisi.
Tidak Tepat
Dalam hal politik khususnya untuk pembangunan opini publik yang berkaitan dengan isu politik dan menyangkut hajat hidup orang banyak penggunaan jasa Influencer kuranglah tepat, apalagi Influencer yang dimaksud adalah kalangan artis hiburan yang menurut penulis tidak ada relevansinya berbicara mengenai isu-isu politik.
Influencer dibutuhkan untuk memperlancar promosi yang bersifat produk komersil dan bukan dalam pembangunan opini publik yang sifatnya isu politik, apalagi isu tersebut yang memiliki sifat debateable yang cukup tinggi.
Dalam pembangunan opini publik seharusnya instansi pemerintah yakin dengan tim humas instansinya sendiri untuk memperluas informasi ke masyarakat. Karena jika instansi pemerintah ingin memiliki opini yang baik dimasyarakat dalam suatu isu tertentu seharusnya pemerintah membuat produk politik yang cukup matang, pro kepada masyarakat dan juga melibatkan masyarakat. Hal itu yang menjadi penting yang harus dipegang teguh oleh instansi pemerintah dalam membuat opini publik yang baik dimasyarakat, bukan menggunakan jasa Influencer.
Jika instansi pemerintah menggunakan jasa Influencer dalam pembangunan opini publik ini menjadikan sebuah tanda tanya dan sebuah keraguan, karena ada sesuatu yang salah terhadap produk politik tersebut dimasyarakat sehingga harus dipush opini tersebut menggunakan jasa Influencer.
Maka dari itu politik adalah bisnis harapan, untuk mengelola isu politik yang baik dimasyarakat tidak perlu menggunakan teknik yang rumit. Kuncinya adalah mengolola harapan baik kepada masyarakat, libatkan masyarakat dalam pembuatan produk politik dan juga harus pro kepada kepentingan masyarakat maka pembangunan opini publik dalam isu politik tertentu akan mudah dan juga tentunya baik dimata masyarakat.
Penulis: Muhammad Farras Fadhilsyah (Anggota Bidang Komunikasi Politik Kajian Kopi Malam Institute)