Pemerintah pusat hingga tulisan ini dimuat masih bersikeras agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 masih tetap dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 ditengah pandemi Covid-19 yang penuh dengan ketidakpastian. Hal ini menjadikan banyak pihak dari elemen masyarakat mempertanyakan bagaimana menjalankan protokol kesehatan ditengah momen-momen kampanye Pilkada 2020, pertanyaan seperti itu yang menjadikan banyak pihak menolak agar tetap diadakannya Pilkada 2020 di masa pandemi Covid-19. Dialektika seperti ini yang menjadikan banyak opini apakah Pilkada 2020 tetap diadakan atau diundur.
Saat tulisan ini ditulis pada tanggal 23 September 2020 angka kenaikan jumlah positif Covid-19 mencapai 4.465 dan jumlah kumulatif angka total positif Covid-19 mencapai 252.923 orang. Tentunya angka statistik tersebut menjadi gambaran bahwa hingga saat ini pandemi Covid-19 masih bertebaran dimana-mana. Hal inilah yang menjadikan sebuah rujukan bagi elemen masyarakat jika Pilkada 2020 tetap diadakan maka berpotensi jumlah kenaikan angka positif terus akan bertambah. Apalagi jika kita melihat realitas lapangan pada hari pendaftaran bakal calon kepala daerah pada 4-6 September lalu, banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan yang terlihat.
Suara Rakyat
Elemen masyarakat nampaknya terus bersikeras agar Pilkada 2020 ditunda untuk kebaikan bersama. Tetapi dari pemerintah pusat memperlihatkan watak kerasnya yang dimana tetap bersikeras agar Pilkada 2020 tetap dilaksanakan dengan dalih memperketat protokol kesehatan dan berbagai alasan lainnya. Padahal rakyat juga melihat realitas lapangan betapa minimnya penegakan protokol kesehatan.
Hal inilah yang menjadi persaingan opini publik yang sangat kencang antara rakyat dan kekuasaan (pemerintah). Selain itu kekuatan rakyat juga semakin kuat dengan seruan agar lebih baik golput pada Pilkada 2020 mendatang dan hal ini menandakan bahwa ada gerakan perlawanan moral dari rakyat kepada kekuasaan. Gerakan moral tersebut tentunya adalah puncak dari kemarahan rakyat kepada kekuasaan dengan terus memaksakan pelaksanaan Pilkada 2020, tentunya hal ini tidak bisa diremehkan.
Selain itu jika kita lihat dalam beberapa waktu lalu Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) pemerintah berani untuk melakukan penundaan tetapi pada Pilkada 2020 pemerintah seperti memperjuangkan mati-matian agar Pilkada 2020 tetap dilaksanakan. Sebab itu juga menjadi pertanyaan besar dari masyarakat mengapa Pilkada 2020 tetap diperjuangkan oleh pemerintah dan tentunya hal tersebut akan terus membuat spekulasi negatif dari rakyat kepada pemerintah.
Dari sisi hukum penundaan Pilkada dimasa pandemi Covid-19 yang masuk dalam kategori bencan non-alam adalah bukan hal yang mustahil. Karena hal ini diatur dalam UU No. 6 tahun 2020, dalam Pasal 120 Ayat (1) menjelaskan, jika ada bencana nonalam mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat lanjut dilaksanakan, maka penundaan bisa dilakukan. Lalu pada Pasal 201A Ayat menjelaskan bahwa jadwal pemungutan suara pada Desember 2020 bisa ditunda, asalkan terjadi bencana nonalam yang mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat dilaksanakan.dan Pemungutan suara, jika ditunda, bisa dijadwalkan ulang berdasarkan atas persetujuan bersama antara pemerintah, DPR dan KPU. Hal itu tertuang dalam Pasal 122A Ayat (2). Dari aspek hukum tersebut masyarakat juga semakin bertanya-tanya mengapa pemerintah masih enggan mengundur Pilkada 2020 padahal regualsi hukum sudah mengaturnya.
Suara Elite
Pemerintah maupun para elite tentunya juga memiliki alasan dan terus berusaha meyakinkan masyarakat agar Pilkada 2020 tetap dilaksanan dengan berabagai argumentasi. Beberapa argumentasi yang dibawa diantaranya adalah lebih ketat dalam penegakan protokol kesehatan, membuat regulasi baru dalam pelaksanaan kampanye yang bersifatnya massa hingga alasan dampak politik jika Pilkada 2020 tidak dilaksanakan.
Penulis dalam hal ini lebih tertarik pada argumentasi alasan politik itu sendiri, yang diantaranya adalah mengenai jika Pilkada 2020 ditunda akan memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan jika tidak diperpanjang berpotensi ditugaskan seorang Pelaksana Tugas (PLT) yang biasanya diutus dari pemerintah pusat maupun provinsi wilayah tersebut. Tentunya hal tersebut sangat sensitif dan bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan elite yang dimana berpotensi banyak celah praktik-praktik politik yang bernuansa negatif dan hanya menguntungkan salah satu pihak saja.
Walaupun ada benarnya dalam argumentasi alasan politik tersebut, tetapi jika ada indikasi bahwa Pilkada 2020 dipaksakan karena alasan argumentasi politik yang lebih kuat dan dikedepankan maka kita bisa melihat sebuah cerminan bagaimana elite-elite ini hanya mementingkan ego hasrat kekuasaan politik saja. Padahal hal tersebut bisa dicarikan jalan tengahnya (win-win solutions) dari pihak pemerintah dengan para elite.
Pertimbangan
Rakyat maupun pemerintah hingga elite tentunya memiliki alasannya masing-masing dalam problematika Pilkada 2020 ini. Tetapi disini penulis ingin memberi pesan bahwa yang harus lebih menjadi pertimbangan adalah suara-suara rakyat itu sendiri karena rakyat adalah pemegang mandat terbesar dalam alam demokrasi.
Jangan sampai jika Pilkada 2020 tetap dipaksakan menjadikan rakyat marah yang akan menimbulkan permasalahan serius dalam Pilkada 2020. Dampak kemarahan rakyat tersebut bisa seperti angka partisipasi warga yang akan menurun derastis karena adanya gerakan golput. menurunya angka partisipasti warga ini menurut penulis jangan dianggap remeh dan bisa berpotensi menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal karena akan melahirkan unligetimation pada Pilkada 2020. Jangan sampai dana Pilkada 2020 yang sudah digelontorkan banyak oleh pemerintah akan menjadi boomerang negatif kepada pemerintah karena efek dari tidak mendengarkan suara rakyat.
Penulis : Muhammad Farras Fadhilsyah (Anggota Komunikasi Politik Kajian Kopi Malam Institute)