Meninjau Kesiapan ASN Menjalani Kebijakan Work From Home

Tri Apriyani | Bryan Keith, Christa Zefanya, Raihan Wibisana
Meninjau Kesiapan ASN Menjalani Kebijakan Work From Home
Pegawai Negeri Sipil (PNS) [suara.com/Bowo Raharjo]

Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menyatakan bahwa coronavirus disease 19 (COVID-19) sebagai sebuah pandemi. Cara penularan yang terbilang mudah dan cepat, membuat penyakit ini tersebar dengan cepat ke berbagai, termasuk Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penyebaran pandemi tersebut ialah dengan menerapkan konsep bekerja dari rumah atau work from home (WFH).

Penerapan konsep ini berlaku bagi seluruh instansi termasuk instansi pemerintahan. Himbauan bagi para aparatur sipil negara (ASN) untuk bekerja dari rumah semakin diperkuat dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yakni Surat Edaran Menteri PANRB No 19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem kerja ASN dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Hingga saat ini, kebijakan tersebut tetap diberlakukan sampai dengan 4 Juni 2020 (Menpan.go.id, 2020). Akan tetapi, sebenarnya wacana ASN untuk bekerja dari rumah sudah muncul sejak 2019. Meneruskan wacana sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berencana untuk melakukan uji coba bekerja dari rumah pada 1.000 ASN mulai 1 Januari 2020.

Dalam menerapkan kebijakan tersebut, kemampuan dan pengetahuan ASN dalam melakukan pekerjaannya akan menjadi sangat diperhatikan. Penerapan kebijakan ini tentunya tidak terlepas dari konsep Smart ASN yang sedang digencarkan oleh Kementerian PANRB.

Akan tetapi, adanya pandemi COVID-19 mengharuskan kebijakan tersebut diberlakukan sesegera mungkin. ASN kini tidak memiliki pilihan lain selain bekerja dari rumah yang dimana dalam penerapannya sangat erat dengan teknologi informasi.

Akan tetapi, apabila ditinjau dari beberapa aspek seperti pendidikan, indeks prestasi, dan kondisi ASN untuk menerapkan teknologi dalam kesehariannya, penulis merasa ASN belum cukup siap untuk menjalani kebijakan WFH apabila kebijakan tersebut diperpanjang

Menurut Erol et al (2016) terdapat empat kompetensi yang perlu dimiliki sumber daya manusia di masa industri 4.0, yaitu (1) personnel competencies, (2) interpersonal competencies, (3) action-related competencies, dan (4) domain-related competencies.

Adapun kompetensi yang perlu dimiliki ASN terkait Smart ASN, khususnya mengenai penguasaan teknologi, memiliki kaitan yang erat dengan kompetensi yang pertama (personnel competencies) dan yang keempat (domain-related competencies).

Sayangnya hal ini belum nampak apabila melihat kondisi ASN di Indonesia yang dimana tingkat pendidikan ASN masih tergolong rendah seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Hingga saat ini, ASN yang menempuh pendidikan SMA hingga D4 ialah sebesar 34,7 persen. Sayangnya, 19 persen dari total ASN yang menempuh pendidikan SMA hingga D4, adalah lulusan SMA (Bkn.go.id, 2020).

Selain dari tingkat pendidikan, penulis juga melihat kesiapan ASN melalui indeks profesionalitas (IP) ASN. IP ASN dapat dinilai melalui empat komponen, yakni kualifikasi, kompetensi, disiplin, dan kinerja. Hingga Mei 2019, BKN menemukan bahwa IP ASN baik di tingkat kementerian, lembaga, dan daerah, masuk ke dalam kategori rendah. Data sampling menunjukan bahwa IP ASN berkisar diantara 61-70 (Bkn.go.id, 2019).

Selain dua hal di atas, penulis juga meninjau kesiapan ASN dari jumlah ASN yang dapat menggunakan teknologi informasi. Temuan BKN menunjukan bahwa jumlah ASN yang mampu menggunakan teknologi informasi masih sangat sedikit.

Seperti di Pemerintahan Provinsi Banten, rata-rata hanya terdapat 2 orang di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah  (SKPD) yang dapat mengelola sistem informasi manajemen ASN. Bahkan terdapat kondisi yang lebih parah dari yang terdapat di Banten, yaitu di Pekalongan.

Menurut Kepala Bidang (Kabid) Data dan Informasi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Pekalongan, hingga sekarang ini belum ada ASN yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi (Jurnal.bkn.go.id, 2019). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengembangan terhadap kompetensi dan kualifikasi ASN di bidang teknologi perlu digencarkan agar ASN dapat memberikan output dan outcome yang diharapkan.

Mengingat hal tersebut Balai Pelatihan dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (BPPTIK) membuat program Digital Talent Scholarship (DTS). Program DTS adalah program beasiswa yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas SDM dalam bidang TIK (BPPTIK, 2020).

Program ini dibuat dengan harapan dapat mempersiapkan SDM Indonesia untuk beradaptasi terhadap “new normal” yang terjadi akibat COVID-19. Walaupun demikian, perubahan pola kerja secara cepat juga dapat menjadi double edged sword terhadap perwujudan konsep Smart ASN.

Hal ini dikarenakan jika SDM tidak dapat beradaptasi terhadap pola kerja yang baru bukan hanya kompetensi digital saja yang tidak naik tetapi produktivitas dan kinerja ASN dapat menurun.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak