Baru-baru ini kita disuguhkan dalam wacana publiik maupun diskusi publik di berbagai media dengan isu politik dinasti menjelang Pilkada Serentak 2020. Isu ini menjadi sangat menarik dikarenakan Presiden Jokowi sendiri yang diperbincangkan mengenai politik dinasti.
Bagaimana tidak dengan waktu Pilkada yang bersamaan, circle keluarga terdekat Jokowi yaitu anaknya bernama Gibran dan menantunya bernama Bobby mencalonkan diri sebagai bakal calon wali kota di daerahnya masing-masing. Gibran meneruskan jejak sukses ayahnya yaitu daerah pemilihan calon wali kota Surakarta dan Bobby mencalonkan diri sebagai calon wali kota Medan.
Selain itu masih banyak elite politik tingkat nasional yang mengajukan circle keluarga terdekatnya untuk mencalonkan diri di Pilkada Serentak 2020. Di antaranya di Tangerang Selatan, Banten ada putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah maju dalam pemilihan calon wali kota. Dalam dearah yang sama Siti Nur Azizah ini akan berahadapan dengan keponakan Prabowo Subianto yaitu Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang diusung Gerinda. Menariknya daerah Tangerang Selatan sebelumnya juga dikusai oleh politik dinasti yang sangat terkenal dengan dinasti politik Ratu Atut. Ini menjadikan Tangerang Selatan dan juga Banten belum bisa dilepaskan dari politik dinasti.
Ancaman Bagi Negara
Politik dinasti tentunya menjadi ancaman demokrasi dan khususnya ancaman bagi negara kita setelah reformasi pada tahun 1998. Alih-alih tuntutan reformasi yaitu dengan adanya otonomi daerah diharapkan bisa menghapuskan jejak politik dinasti, tetapi nyatanya kita menghadapi fakta yang bertolak belakang dari tuntutan reformasi tersebut.
Menurut Gun-Gun Heryanto dalam bukunya Problematika Komunikasi Politik jika kita melihat permasalahannya secara historis mengenai politik dinasti di Indonesia, bisa dikatakan politik dinasti ini menjadi preseden buruk bagi regenerasi kepemimpinan daerah. Hal ini menjadikan sistem yang feodal, berisfat patron-client dan membentuk hierarki kekuasaan berbasis strukturul sosial-tradisional.
Selain itu yang menjadi sangat berbahaya dari efek politik dinasti adalah suburnya birokrasi oligarki. Menurut Adam Prazeworski dalam bukunya Substainable Democracy, birokrasi oligarki membentuk kartel yang berkewajiban menentang para pesaingnya sekaligus membatasi kompetisi, menghalangi akses dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara sesama anggota kartel. Salah satu contohnya adalah menjadikan politik dinasti sebagai alat untuk menjaga aib-aib kekuasaan sebelumnya yang korup. Bagaimana tidak jika generasi selanjutnya masih dalam circle keluarga terdekat, hal yang sangat mudah untuk menutupi kasus-kasus di kekuasaan sebelumnya.
Meminimalisir Politik Dinasti
Secara hukum tidak ada yang mengatur tentang politik dinasti karena sesuai tertera pada Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga tafsir dari pasal tersebut bisa kita pahami bahwa setiap warga negara memiliki hak masing-masing untuk mengeluarkan keinginan hasrat politik salah satunya mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Tetapi kita masih mempunyai harapan bagaimana cara mempersempit politik dinasti ini untuk terus mensehatkan demokrasi kenegaraan kita. Yang pertama menurut penulis adalah bagaimana para elite partai politik kita harus menjunjung tinggi moralitas keadaban politiknya. Karena elite politik dan kepengurusan partai itulah yang menjadi garda terakhir untuk meloloskan atau tidak politik dinasti.
Elite politik dan pengurus partai seharusnya jangan terjebak dengan pragmatis politik electoral yang hanya dengan mengandalkan elektabilitas calon ditambah dengan embel-embel “anak elite parpol atau penguasa” dengan mudahnya meloloskan kandidat dengan dalih popularitas kandidat semata. Elite politik dan pengurus partai harus terus berpikir bagaimana fungsi partai politik berjalan dengan baik, dengan menjalankan fungsi kaderisasi partai dengan memilih kader partai yang militan bukan kader yang “kemarin sore” dengan embel-embel anak elite pemerintahan atau elite politik.
Yang kedua menurut penulis adalah masalah politik dinasti di antaranya kandidat yang minim pengalaman dan juga tidak ada track record politik. Seharusnya pemerintah ataupun instansi seperti KPU membuat peraturan yang bersifat teknis untuk meminimalisir politik dinasti, seperti seleksi calon kepala daerah dari partai politik harus memiliki track record kaderisasi partai, lalu juga harus memiliki usia minimal kader untuk mencalonkan diri yang akan diusung oleh partai tersebut.
Dengan hal ini dapat diharapkan berkurangnya kandidat politik dinasti yang minim pengalaman dalam politik dan juga kader kutu loncat. Sehingga jika ada peraturan ini akan memaksakan partai politik untuk menjalankan fungsi kaderisasi partainya.
Negara ini sudah mengalami masa reformasi yang sudah cukup lama, harapan reformasi masih teringat dalam benak kita dengan harapan yang bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik. tetapi harapan yang tinggi itu jangan dirusak dengan adanya politik dinasti ditambah kandidat yang minim pengalaman yang berpotensi menjadi masalah baru demokrasi dan politik kartel yang lebih meluas. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan evaluasi bersama.
Penulis: Muhammad Farras Fadhilsyah (Anggota Komunikasi Politik Kajian Kopi Malam Institute)