OSPEK di Masa Pandemi Melalui Budaya Akademik dan Pemanfaatan Digital

Tri Apriyani | Jacko Ryan
OSPEK di Masa Pandemi Melalui Budaya Akademik dan Pemanfaatan Digital
Ilustrasi OSPEK (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Di masa pandemi, banyak perubahan terjadi dalam pelaksanaan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK). Namun tidak dengan praktik kekerasan yang selama ini menjadi identitas buruk dalam kegiatan OSPEK. Soal itu, sudah banyak kasus tercatat dan menjadi sorotan publik. Pelaksanaan OSPEK di salah satu kampus di Surabaya menjadi viral di media sosial beberapa hari ini karena diduga terdapat kekerasan verbal yang dilakukan senior kepada mahasiswa baru. Masih dalam relasi antara senior dan junior, terjadi pula kasus bunuh diri yang diduga dipicu oleh bullying dari senior pada PPDS di salah satu kampus di Jawa Timur.

Berbagai kasus tersebut menyisakan pertanyaan. Tujuan dari OSPEK, sebagaimana disebutkan Kemendikbud, yakni diselenggarakan agar mahasiswa baru dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus. Jika model kekerasan terus menerus digunakan sebagai pendekatan dalam dinamika OSPEK, apakah itu akan membuat tujuan dari penyelenggaraan OSPEK menjadi tercapai, atau justru menjadikan OSPEK hanya sebagai ladang penindasan dan memperkuat anggapan bahwa dunia kampus sarat dengan kekerasan?

Filosofi Almamater

Perlu ditekankan bahwa OSPEK diadakan sebagai program dari institusi kampus dan bukan dimiliki oleh mahasiswa secara personal. Karenanya, kegiatan OSPEK tidak boleh dilepaskan dan harus bericirikan nilai-nilai dari kampus. Salah satu nilai tersebut dapat kita saksikan dalam definisi mengenai almamater.

KBBI menjelaskan almamater sebagai “perguruan tinggi atau akademi tempat mahasiswa pernah belajar dan menyelesaikan pendidikannya.” Secara etimologi, almamater berasal dari bahasa Latin: terdiri dari alma yang secara harafiah berarti memelihara dan mater yang berarti ibu. Inilah filosofi dari almamater, bahwa universitas digambarkan sebagai ibu yang murah hati, yang senantiasa memelihara dan memberikan bekal kehidupan –yakni ilmu– kepada anaknya, yang bukan lain merupakan mahasiswa. Sebuah penggambaran dari ikatan yang mendalam antara mahasiswa dengan almamaternya.

Universitas perlu mempersaksikan sikap tersebut kepada mahasiswa baru. Pendampingan dan perhatian penuh (cura personalis) menjadi hal wajib yang perlu dilakukan institusi kampus kepada setiap mahasiswa dalam dinamika perkuliahan. Itu dimulai pada kegiatan penyambutan mahasiswa baru yang penuh keramahan, bukan kemarahan.

Peran Mahasiswa

Hal senada juga dipratikkan oleh setiap mahasiswa yang terlibat dan menjadi eksekutor dalam kegiatan OSPEK. Masa pandemi yang menuntut banyak perubahan seharusnya menggugah mahasiswa untuk juga mengubah paradigmanya akan OSPEK. Dunia daring yang menjanjikan fleksibilitas mendorong anak-anak muda untuk menggarap OSPEK daring yang kreatif, inovatif, dan inspiratif.

Melalui OSPEK, mahasiswa baru perlu dikenalkan dan dilatih mengenai budaya akademik: membaca, menulis, dan berdikusi. Bukankah ketiga hal ini masih menjadi masalah tersendiri bagi mahasiswa, dan bahkan bagi masyarakat? Peringkat Indonesia mengenai kemampuan literasi di berbagai survei pun masih jauh dari harapan. Inilah yang menjadi urgensi bahwa budaya akademik perlu ditanamkan sejak dini. Kegiatan OSPEK menjadi salah satu sarana yang strategis untuk mewujudkan itu.

Pendekatan konflik bisa saja diaplikasikan dalam proses membaca, menulis, dan berdiskusi yang dilakukan mahasiswa baru, namun itu dihadirkan dalam semangat akademik yang kritis dan membangun, bukan sekedar kemarahan emosional pada berbagai hal yang tidak esensial, di mana itu hanya bertujuan untuk mengerdilkan, merendahkan, dan menindas mahasiswa baru. Di masa serba online seperti saat ini, kegiatan OSPEK juga dapat dijalani dengan memadukan media digital. Rangkaian acara yang ada perlu memantik dan memacu kreativitas mahasiswa baru dalam menggabungkan unsur visual, teks, dan audio sekaligus sehingga menjadi konten digital yang menarik. Ini menjadi salah satu peluang dalam penyelenggaraan OSPEK di masa pandemi.

Yang dibutuhkan saat ini adalah generasi kritis, yang dengan tegap menatap masa depan, bukan ketertundukan karena ketakutan. Semua proses ini menjadi bagian kecil dalam usaha mengembalikan marwah mahasiswa hingga siap menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Di sanalah, kita menemukan perjuangan yang sesungguhnya. Selamat berproses!

Oleh: Jacko Ryan / Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak