Dilematis Pendidikan Memasuki Abad Bonus Demografi Mendatang

Tri Apriyani | Hendy Setiawan (DPP UGM)
Dilematis Pendidikan Memasuki Abad Bonus Demografi Mendatang
Ilustrasi siswa SD mengenakan masker (dok istimewa)

Berdasarkan prediksi yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik), Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi pada kurun 2030-2040. Artinya bahwa pada kurun waktu tersebut kondisi masyarakat Indonesia akan didominasi oleh usia produktif (usia 15-64 tahun) dibandingkan usia non produktif. BPS memperkirakan jika setidaknya sekitar 64% usia produktif dari total penduduk yang diproyeksikan yakni 297 juta jiwa.

Melihat angka tersebut tentu menjadi sangat fantastis dan prestisius jika bonus demografi bisa dikelola dengan baik. Oleh karena itu sektor pendidikan Indonesia sebenarnya menjadi kata kunci apakah dengan kondisi saat ini dan kedepanya siapkah kita menyongsong abad bonus demografi tersebut?

Jika sudah siap seberapa yakinkah kita semua dengan sistem pendidikan di tanah air ini dalam menyambut abad bonus demografi? Pertanyaan retorik tersebut tidak perlu dijawab karena tanpa jawaban sekalipun sebenarnya sudah terpapar jelas.

Di sisi lain jika sistem pendidikan kita tidak dipersiapkan secara kontruktif tentu masyarakat akan kelabakan dalam menyambut bonus demografi di tahun mendatang. Pendidikan menjadi sangat krusial karena tanpa menyiapkan sumber daya unggul di dalam menghadapi era bonus demografi maka sama halnya kita membuang kesempatan emas bangsa ini.

Hal tersebut dikarenakan bahwa mungkin bonus demografi tersebut tidak akan terulang kembali atau bahkan terulang kembali dengan jarak waktu yang sangat cukup lama. Oleh karenanya kesempatan tersebut harus benar-benar dikelola secara maksimal.

Persoalan pendidikan dan era abad bonus demografi nampaknya tidak bisa dilepaskan satu sama lainya. Hal tersebut dikarenakan tanpa menuntaskan persoalan pendidikan pada saat ini maka sama halnya bunuh diri di era abad bonus demografi. Tanpa bekal pendidikan untuk apa kita bernafas dan hidup di tengah abad tersebut.

Gejala bonus demografi adalah sebuah titik optimistik Indonesia karena bukan mustahil bagi tanah air ini untuk menciptakan sistem pendidikan yang unggul agar tidak kelabakan menghadapi makhluk yang kita kenal dengan bonus demografi.

Sesungguhnya era abad bonus demografi yang telah lama menjadi perbincangan publik pada hakikatnya akan menjadi peluang atau bahkan ancaman sekalipun karena itu semua tergantung kita bahwa bonus demografi akan disambut sebagai peluang atau ancaman. Artinya ada sebuah opsi yang konkret dalam menyikapi abad bonus demografi Indonesia.

Nasib Pendidikan Masa Depan

Bonus demografi akan menjadi peluang emas apabila pada saat ini kita sudah berbenah menyiapkan pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan pada saat bonus demografi tersebut masyarakat yang mayoritas berada pada usia yang produktif tersebut selaras dengan kapasitas, ilmu, pengetahuan yang produktif pula. Hal tersebut tentu akan membuat mereka mampu beradaptasi dengan keadaan itu tanpa rasa pesimistik dengan kemampuan yang dimilikinya.

Di sisi lain jika pada era abad bonus demografi tersebut disongsong tanpa menyiapkan kualitas sumber daya manusia yang unggul justru menjadi ancaman serius bagi bangsa ini karena dengan usia produktif masyarakat yang mendominasi namun tidak memiliki kecakapan dan kapasitas dalam era tersebut. Tentu ini akan menjadi beban negara yang dari tahun ke tahun semakin besar.

Setiap orang yang lahir dan tumbuh besar di negeri ini pasti menginginkan Indonesia menjadi negara besar. Tidah hanya besar tetapi negara maju, negara yang disegani bangsa-bangsa di dunia. Walaupun demikian sistem pendidikan yang ada sekarang perlu bekerja keras dan direvitalisasi lebih konkret lagi karena menciptakan Indonesia emas melalui sektor pendidikan bukan menjadi hal yang tidak mungkin.

Asalkan kita semua serius, saling berkolaborasi dan bahu-membahu maka abad bonus demografi dapat kita songsong dengan kualitas SDM Indonesia unggul dan Indonesia emas dapat kita genggam.

Kualitas Pendidikan dan Nuansa Pandemi Covid-19

Tidak tereklakkan lagi jika munculnya pandemi ini telah menambah beban pendidikan di negeri ini. Belum selesai persoalan pendidikan yang satunya tetapi sudah muncul masalah baru lagi. Bukan hal yang mudah mengurusi pendidikan di negeri yang rakyatnya kurang lebih mencapai 269 juta jiwa.

Data PISA 2018 kemarin yang menempatkan peringkat pendidikan Indonesia pada peringkat klaster rendah seolah-olah hanya menjadi catatan merah pendidikan republik ini yang berlalu begitu saja. Hal ini dikarenakan pandemi ini secara langsung atau tidak telah merubah sistem tatatan pendidikan yang tidak seperti biasanya.

Basis pendidikan dalam jaringan (daring) harus dilakukan oleh siswa ataupun guru sebagai adaptasi kebiasaan baru untuk mencegah gejolak infeksi pandemi virus tersebut. Harus diakui indeks literasi baca Indonesia berdasarkan data UNESCO Indonesia menjadi negara yang sangat rendah di dunia. Pada 1000 orang yang disurvei ternyata hanya 1 orang yang membaca.

Rendahnya literasi membaca masyarakat Indonesia harus direspons secara serius oleh pemangku kepentingan termasuk pemerintah. Mengacu pada pembukaan UUD 1945 menegaskan secara gamblang jika negara memiliki kewajiban terhadap warga negaranya dan salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berbagai persoalan mulai mengapung di depan mata kita semua. Pendidikan berbasis daring juga tidak luput dari sorotan pengamat pendidikan yang sedang diimplemetasikan.

Banyaknya daerah yang belum dialiri listrik, sarana dan prasarana yang belum tentu juga dimiliki oleh guru dan siswa, akses internet yang terbatas, pemahaman kemajuan teknologi informasi yang tidak merata, dan juga pembelajaran jarak jauh yang menimbulkan kebosanan menjadi persoalan yang mewarnai sistem pendidikan ini.

Hal tersebut diperparah dengan kajian berbagai survei jika pembelajaran jarak jauh tidak membuat nyaman baik siswa maupun mahasiswa nam. Mereka justru merasa dikekang, dibatasi, sehingga kebebebasan mereka seolah-olah dibelenggu oleh negara.

Melihat kondisi tersebut nampaknya pendidikan kita belum siap memasuki abad bonus demografi mendatang. Bukan perkara mudah memperbaiki banyaknya kekurangan dan masalah pendidikan yang begitu kompleks.

Memperbaiki pendidikan sama halnya dengan memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Dan tersebut perlu ongkos yang tidak murah untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia unggul. Namun di sisi lain mau tidak mau ataupun suka tidak suka negara dengan segala resoursenya harus terus berupaya mampu menciptakan kualitas SDM unggul ketika memasuki abad demografi mendatang.

Harapan SDM Unggul dan Pendidikan Maju

Tidak ada yang tidak mungkin selama ada usaha keras karena tidak ada kata perjuangan yang sia-sia. Negara ini memiliki sumber daya yang begitu melimpah sehingga bukan lagi alasan untuk kesulitan mengatasi persoalan pendidikan di negeri ini. Oleh karena itu dalam mengatasi pendidikan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja pasalnya walaupun pemerintah memiliki sumber daya yang tersedia tanpa mitra dan kolaborasi tidak akan bisa menuntaskan persoalan pendidikan.

Pendekatan kemitraan dan kolaborasi menjadi kunci utama keberhasilan negara dalam menuntaskan masalah pendidikan. Pemerintah hanya memiliki satu jalan alternatif dalam membayar kegagalan negara yang tidak berhasil mengurusi pendidikan.

Terus berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Setidaknya masih ada waktu 10 tahun lagi untuk membuat sistem pendidikan ini diperbaiki menuju kualitas pendidikan yang jauh lebih baik.

Waktu tersebut sebenarnya sangatlah singkat namun rasa optimistik dan harapan positif harus ditabur luas-luas agar tahun 2030 kelak SDM unggul bangsa ini dapat diciptakan dengan semangat sinergitas dan kolaboratif. Menyongsong abad demografi dengan SDM unggul menjadi celah emas yang dapat mengantarkan negeri ini keluar dari predikat negara berkembang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak