Problematika Bantuan Kuota Internet Kemdikbud

Tri Apriyani | salma azzahra
Problematika Bantuan Kuota Internet Kemdikbud
Bantuan kuota data internet gratis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Foto: Website Kementerian)

Kuota internet yang disalurkan oleh pemerintah kepada para pelajar dan tenaga didik merupakan salah satu bentuk bantuan untuk meringankan beban masyarakat di masa pandemi Covid-19. Pandemi yang bersifat sangat mudah menular, mengharuskan masyarakat untuk melakukan social distancing.

Salah satu kebijakan untuk menerapkan social distancing adalah peniadaan aktivitas belajar-mengajar secara offline dan dialihkan dalah bentuk daring.

Pengadaan kegiatan belajar-mengajar secara online menemukan beberapa masalah, salah satunya adalah ketidaksiapan masyarakat untuk membeli kuota yang digunakan untuk mengakses internet. Maka dari itu, Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemdikbud) memberikan bantuan kuota untuk pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Pemberian bantuan ini merupakan konsep yang baik untuk menjawab masalah yang dimiliki masyarakat, sebagaimana tercermin dalam survei yang dilakukan oleh Arus Survei Indonesia yang menunjukkan bahwa 84,7 persen masyarakat menilai bantuan kuota gratis Kemdikbud merupakan langkah yang tepat.

Meski demikian, dalam prakteknya program bantuan kuota ini masih memiliki beberapa aspek yang dipermasalahkan.

Untuk pencegahan agar kuota tidak disalahgunakan, pemerintah membagi kuota ke dalam dua kategori, yakni kuota umum dan kuota untuk belajar.

Kuota umum ialah kuota yang dapat digunakan untuk mengakses seluruh laman dan aplikasi, sementara kuota belajar hanya dapat digunakan untuk mengakses laman dan aplikasi pembelajaran yang tercantum pada website https://kuota-belajar.kemdikbud.go.id/.

Hal ini memicu banyak keberatan dari masyarakat yang menilai pembagian ini tidak proporsional. Hal ini dikemukakan oleh Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti yang menyatakan bahwa bantuan kuota internet dengan kuota umum 5 GB tidak cukup.

Kuota umum yang dialokasikan pemerintah hanya sebesar 5 GB, baik untuk peserta didik maupun pendidik dari jenjang PAUD hingga kuliah. Jumlah ini dianggap terlalu sedikit dan tidak memperhatikan kebutuhan dengan benar.

Tidak jarang, pelajar dan tenaga pendidik perlu mengakses ataupun mengunduh bahan dari laman yang tidak termasuk ke dalam daftar Kemdikbud, seperti contoh YouTube yang digunakan untuk mengunggah tugas maupun menonton materi pelajaran.

Dilansir melalui CNN Indonesia, kuota belajar tersisa cukup banyak dan kuota umum dirasa kurang.  Aplikasi platform belajar, seperti Ruang Guru, Zenius dan Quipper tidak sering digunakan, tetapi yang banyak digunakan justru penggunaan internet dan video di Youtube.

Dalam pengambilan kebijakan publik, terdapat yang disebut dengan kesalahan tipe ketiga. Howard Raiffa mendefinisikan kesalahan tipe ketiga sebagai kesalahan yang terjadi akibat ketidaktepatan dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah publik. Apabila dalam penentuan cause dan effect suatu masalah sudah salah, maka kebijakan yang diambil pun tidak akan sesuai.

Dalam hal ini, kesalahan yang dilakukan pemerintah adalah kurangnya keterlibatan stakeholder atau pemangku kepentingan (dalam hal ini pelajar dan tenaga didik) dalam merumuskan kebijakan, padahal seharusnya pemerintah melibatkan masyarakat dalam penyediaan pelayanan dalam rangka mewujudkan good governance.

Kurangnya keterlibatan masyarakat menyebabkan kesalahan dalam menentukan apa-apa yang diperlukan, sehingga dianggap kurang efektif. Padahal, pemerintah telah menganggarkan hingga Rp7,2 triliun untuk pengadaan bantuan kuota.

Jumlah yang tidak sedikit ini akan sia-sia apabila kemanfaatannya tidak dirasakan oleh masyarakat. Pendistribusian kuota pada gelombang berikutnya diharap dapat melibatkan peran stakeholder dan berkonsultasi dengan mereka, supaya pemenuhan keperluan pelajar dan pendidik agar tidak salah sasaran.

Selain masalah pembagian jenis kuota, Kemdikbud belum dapat memberikan pelayanan belajar online kepada seluruh lapisan masyarakat.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) menilai bantuan ini masih memiliki banyak kekurangan, seperti kegagalan pemerintah dalam menyediakan perangkat elektronik untuk pelajar yang berasal dari keluarga kurang mampu, juga tidak adanya sinyal di daerah-daerah terpencil.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak