Rencana pemerintah untuk membuka kembali sekolah tatap muka pada Januari 2021 mendatang meninggalkan pro-kontra di tengah masyarakat. Wacana ini telah diteken oleh SKB tiga kementerian, Kemendagri, Kemenkes dan Kemenag. Keputusan pembukaan sekolah ini akan diberikan kepada tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, kantor wilayah, dan orang tua murid melalui komite sekolah.
Di satu sisi, ada yang setuju dengan syarat perketat protokol kesehatan. Namun di sisi lain, banyak yang menilainya sebagai kebijakan prematur dan beresiko meningkatnya penyebaran Covid-19 secara siginifkan.
Lebih jauh lagi, WHO pada awal November ini, menetapkan Indonesia masih berada dalam puncak penyebaran Covid-19 sampai waktu yang tidak ditentukan. Hal demikian menjadi salah satu alasan belum siapnya Indonesia untuk menggelar proses pembelajaran tatap muka karena resiko kesehatan sangat rentan.
Kutipan Arthur Schopenhauer patut diperhitungkan di sini, “Yang terbesar dari kebodohan adalah mengorbankan kesehatan untuk jenis lain dari kesenangan.”
Apapun alasannya, membuka sekolah di masa Covid-19 perlu ditinjau ulang dengan sangat matang. Belajar dari negara-negara di Eropa setelah dinyatakan berada di zona hijau oleh WHO, namun setelah mereka membuka sekolah, lonjakan kasus positif meningkat secara signifikan.
Hal ini perlu dipelajari dulu oleh pemerintah dan stakeholder terkait untuk benar-benar mengkaji ulang sebelum menetapkan apakah sehat bila sekolah tatap muka dibuka pada Januari 2021.
Meskipun dalam catatan Kemendikbud, 13 persen dari 151.696 sekolah yang sudah melakukan pembelajaran tatap muka. Jika dilihat berdasarkan zona, 75 persen sekolah sudah buka di zona hijau, 20 persen di zona kuning, 12 persen di zona oranye dan 8 persen di zona merah.
Sedangkan dari 532 ribu sekolah yang tercatat di Data Pokok Pendidikan, baru 42,48 persen sekolah yang sudah melaporkan keadaan dan kesiapan di lapangan terkait penerapan protokol kesehatan. Namun perlu dicatat beberapa sekolah tersebut juga kemudian ditutup lagi karena beberapa siswanya terkena Covid-19.
Begitupun di pondok pesantren yang pada Juli lalu dibuka dengan protokol kesehatan ketat, namun banyak juga yang kemudian tutup kembali karena banyak santri positif Covid-19 dan dengan cepat menyebar menulari santri lainnya.
Bahkan dalam catatan RMI NU, hingga November ini, sekitar 140 kiai pengasuh pesantren wafat sebagian besarnya terindikasi terpapar Covid-19. Hal demikian menandai bahwa dibukanya sekolah sudah pasti sangat beresiko menjadi cluster baru penyebaran wabah di tengah masyarakat.
Salah Kebijakan Sebabkan Covid-19 Masih Tinggi
Ditinjau dari ilmu epidemiologi, jika suatu daerah tersebut menunjukkan tingkat risiko penularan tinggi, maka harus dilakukan pembatasan aktivitas masyarakat.
Kita lihat saat ini, penularan positif Ini masih tinggi di angka 4000-an kasus tiap harinya. Terlebih, kebijakan pemerintah selama ini memang tidak konsisten dan tidak berbasis pada kesehatan masyarakat. Lihat saja, penetapan libur bersama akhir bulan Oktober menjadi titik tolak persebaran Covid-19 karena banyak sekali masyarakat beraktivitas di luar, juga yang berlibur ke luar kota dan tempat-tempat wisata. Begitupun kerumunan massa di berbagai aksi demo atas kebijakan pemerintah.
Juga kampanye terbuka karena Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pemerintah menimbulkan kerumunan massa. Serta yang terbaru aksi jemput salah satu tokoh agama dan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan beberapa tokoh sangat beresiko menjadi cluster penularan Covid-19 yang efektif. Namun pemerintah terkesan diam saja tidak bersikap tegas melarang pergerakan dan kerumunan massa tersebut. Dampaknya, dalam tempo 29 hari saja sejak akhir September, penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai angka ratusan ribu orang.
Seharusnya di dalam kondisi demikian, pertimbangan pembukaan kegiatan apa pun yang memungkinkan kontak antar warga, termasuk siswa sekolah tidak boleh dilakukan.
Bila orang dewasa saja tidak bisa menjalankan protokol kesehatan dengan tertib, apalagi anak-anak sekolah, terutama jenjang dasar dan menengah, apakah yakin mereka mampu menjalankan protokol kesehatan yang ketat selama di sekolah? Apakah mampu guru yang harusnya bertugas mentransfer ilmu dan budi pekerti juga berperan sebagai petugas kesehatan?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini harus benar-benar jadi catatan matang sebelum orangtua mengizinkan anaknya pergi ke sekolah. Jangan sampai kebijakan membuka lagi sekolah menjadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan yang beresiko pada kesehatannya.
Kendati demikian, memang diakui bahwa selama pembelajaran online ini, anak-anak pada akhirnya akan merasa jenuh berada di rumah terus-menerus. Lebih parah lagi, sebagiannya sudah kecanduan internet terutama untuk bermain game online.
Secara psikis, mereka memerlukan penyegaran antara lain pertemuan dengan guru dan teman-teman sekolahnya, lalu belajar dan beraktivitas di luar rumah seperti sediakalanya. Di sisi lain, kelemahan pembelajaran online yang stagnan dan hanya dari satu arah mengerjakan soal-soal saja, pada akhirnya tidak menjadikan tujuan sekolah sebagai sarana menceraskan kehidupan bangsa terpenuhi.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan dibukanya sekolah. Namun, semuanya harus dikembalikan pada kesiapan sekolah itu sendiri, apakah mampu menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan protokol kesehatan yang ketat? Di samping pula mempertimbangan kondisi wabah di daerah tersebut, baik kelurahan maupun kecamatan, pemerintah daerah harus berperan aktif dalam upaya pencegahan tersebarnya Covid-19.
Perketat Protokol Kesehatan untuk Anak Sekolah
Apabila sekolah pada akhirnya tetap dibuka, maka anak sekolah, guru dan penyelenggara sekolah wajib menjalani protokol kesehatan sebelum dan selama menjalani kegiatan tatap muka di sekolah. Baik protokol yang sifatnya pribadi maupun kelembagaan.
Di antara protokol yang dilakukan pribadi yakni; pertama, wajib menggunakan masker. Semua murid, guru, dan pegawai sekolah diwajibkan selalu mengenakan masker selama berada di sekolah. Pemilihan masker boleh berupa masker medis maupun masker kain, asalkan memenuhi standar pencegahan penyebaran virus.
Apabila ingin lebih terlindungi, anak sekolah juga boleh mengenakan face shield. Kedua, rutin melakukan cek suhu tubuh. Ketiga, siswa dan guru dengan kondisi tidak fit atau ada gejala medis komorbid dilarang ke sekolah karena risiko terkena Covid-19 lebih tinggi.
Adapun secara kelembagaan, setiap kelas yang melakukan pembelajaran tatap muka harus melakukan rotasi siswa atau sistem shifting. Ini untuk memastikan jaga jarak diberlakukan. Untuk jenjang pendidikan anak usia dini dan sekolah luar biasa, maksimal hanya boleh ada lima anak per kelas. Kemudian 18 anak per kelas untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Perlu dicatat, di sekolah juga tidak diperkenankan kegiatan yang berkerumun.
Demikian pula sebagaimana disebutkan, Mendikbud, Nadiem Makarim menyaratkan enam checklist, yang wajib dipatuhi sebelum sekolah dibuka. Pertama sanitasi dan kebersihan itu toilet yaitu sarana cuci tangan dan desinfektan. Kedua akses kepada fasilitas pelayanan kesehatan. Ketiga adalah kesiapan menerapkan wajib masker.
Keempat memiliki thermogun. Kelima, pemetaan warga satuan pendidikan, harus mengetahui siapa yang memiliki komorbiditas dari guru-gurunya dan muridnya, yang tidak memiliki akses transportasi yang aman dan tentunya riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko yang tinggi.
Pada akhirnya, keputusan pembukaan sekolah ini akan diberikan kepada tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, kantor wilayah, dan orang tua murid melalui komite sekolah. Dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Covid-19 di daerah masing-masing.
Jika salah satunya tidak setuju pembukaan sekolah, maka sekolah pasti tidak akan dibuka. Kalaupun akan dibuka, tentunya, harus benar-benar diperhatikan penerapan protokol kesehatan sudah dilakukan dengan benar dan tepat. Akan lebih baik bila sekolah dibuka setelah vaksin Covid-19 ditemukan. Jangan sampai anak-anak kita menjadi korban Covid-19 karena sekolah dibuka!
Siti Jasmine, mahasiswi Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta