Evaluasi Penerapan Protokol CHSE di Pariwisata Yogyakarta

Nilamsrn
Evaluasi Penerapan Protokol CHSE di Pariwisata Yogyakarta
Wisata Yogyakarta. (Serbada.com)

Ibarat jatuh tertimpa tangga, tahun ini tanah air berduka. Corona jadi sebabnya. Manusia menderita, satu-persatu mereka yang menjadi garda terdepan, gugur. Banyak yang terpaksa merelakan sahabat, kerabat, bahkan keluarganya sebelum sempat berjabat. Virus yang berasal dari Wuhan, China yang mulanya dianggap biasa saja ternyata memiliki dampak luar biasa. Membabi buta hingga mampu menumbangkan berbagai sektor perekonomian. Termasuk juga industri pariwisata. Padahal jelas, sektor industri pariwisata merupakan salah satu pemasok terbesar keuangan negara.

Normal Baru, ketetapan pemerintah yang membuat kota pelajar kembali bernyawa. Hingar bingar suara kendaraan, kini kembali terdengar. Kota Yogyakarta, kembali dipadati oleh para wisatawan. Inovasi menghadapi normal baru terus diciptakan agar sektor industri pariwisata kembali berjalan. Kota yang berpredikat istimewa ini juga menggalakkan semangatnya demi peningkatan kunjungan wisatawan dengan cara menggunakan promosi pariwisata sehat selama Covid-19.

Pariwisata sehat yang dimaksud adalah pariwisata sesuai dengan protokol Clean, Healty, Safety, and Environment atau disebut CHSE diterapkan di destinasi wisata yang terus diupayakan oleh industri pariwisata DI Yogyakarta. Tujuannya, untuk memastikan keamanan dan kenyamanan wisatawan di masa pandemi Covid-19. Selain menggencarkan kampanye protokol CHSE, hingga saat ini pergerakan wisatawan di DIY pun dinilai masih belum terlalu tinggi alias masih rendah, terlebih baru didominasi wisatawan lokal dari DI Yogyakarta serta wisatawan domestik asal Jawa Tengah (Jateng).

Penerapan CHSE terbilang cukup efektif dalam peningkatan jumlah kunjungan wisatawan. Data yang diperoleh melalui Aplikasi Visiting Jogja, jumlah kunjungan wisatawan mencapai 11.000 orang pada hari Sabtu dan 30.000 orang pada hari Minggu. Sedangkan pekan-pekan sebelumnya, tercatat jumlah kunjungan mencapai di atas 20.000 orang pada hari Sabtu dan 40.000 orang pada hari Minggu.

Menurut Singgih yang dilansir pada KR Jogja, pergerakan pariwisata DI Yogyakarta paling mencolok terjadi pada setiap akhir pekan yaitu Sabtu dan Minggu. Persebaran wisatawan di DI Yogyakarta juga masih belum merata, masih didominasi di destinasi wisata alam seperti Pantai Baron, Pantai Parangtritis, Tebing Breksi disusul Becici, Pengger, dan sebagainya. Sesuai dengan protokol kesehatan bagi industri pariwisata, Singgih menegaskan pihaknya membatasi jumlah pengunjung hanya 50 persen dari kapasitas yang ada.

Meskipun keberhasilan penerapan CHSE mampu percaya diri menarik wisatawan, tetapi wisatawan di Yogyakarta masih didominasi oleh wisatawan lokal. Sehingga, pergerakan wisatawan di DI Yogyakarta terhitung belum tinggi serta pendapatan masyarakat dan pemerintah di sektor industri pariwisata ini belum sebanyak seperti sedia kala, saat belum adanya Corona.

Hal ini disebabkan oleh rasa takut, cemas, dan khawatir masyarakat Indonesia terhadap virus yang sudah hampir satu tahun ini menghantui tanah air kita tercinta. Sebagian masyarakat yang bandel, memiliki karakteristik susah dikendalikan seperti anjuran pemakaian masker guna mencegah virus Corona yang masih sering diabaikan oleh masyarakat Indonesia. Terkadang, penggunaan hand sanitizer atau tahapan langkah mencuci tangan juga sering dilewatkan.

Selain dampak perekonomian yang dirasakan, dampak sosial juga harus diperhatikan. Apabila pemerintah terlalu fokus pada bidang perekonomian, biasanya dampak sosial dan masyarakat sering dikesampingkan. Pembangunan pariwisata berpotensi meminggirkan masyarakat, merusak lingkungan yang sering kali menyulitkan pembenahan.

Menurut saya yang sembilan belas tahun tinggal di Yogyakarta. Jika dipantau dari perubahan lingkungan, Yogyakarta banyak berubah. Dulu DI Yogyakarta masih banyak pepohonan hijau dan rindang tetapi karena banyaknya pembangunan kini lahan hijau dan tanah lapang menjadi suatu hal yang sangat langka, khususnya di tengah kota.

Pemerintah semestinya juga memprioritaskan dampak-dampak di sektor selain perekonomian untuk sektor ekonomi sendiri, pembentukan kerja sama yang saling menguntungkan seperti simbiosis mutualisme antara pemerintah, pemilik modal atau swasta, dan masyarakat lokal menjadi salah satu solusi. Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dan semua dapat merasakan kebermanfaatan dari sektor pariwisata. Semoga, ya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak