Kriteria mengenai standar kecantikan ideal selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Bagi sebagian orang hidup ini tidak mudah terutama bagi perempuan, dunia ini sangat tidak ramah. Keadilan hanya untuk orang-orang yang Good Looking.
Di Indonesia sendiri perempuan di persepsikan cantik ketika ia memiliki kulit putih, tinggi, rambut lurus, dan langsing. Paras cantik dan rupawan memiliki sejarah panjang bagi kaum wanita, hampir semua wanita berlomba-lomba mengejar kecantikan. Ditambah dengan ajang kompetisi kecantikan di banyak negara membuat pemujaan akan standar kecantikan semakin marak.
Standar Kecantikan dari Masa ke Masa
Kehidupan Jawa Kuno tergambar dalam kisah Ramayana. Dimana saat itu cantik digambarkan dengan tokoh Shinta, istri dari Rama. Shinta digambarkan sebagai wanita muda berkulit putih, langsing, dan berperilaku baik. Ia digambarkan bercahaya bagaikan laksana rembulan, rembulan sendiri diartikan dengan kecantikan kulit perempuan yang bercahaya.
Hal ini juga tercatat dalam kitab kakawin, ketika Rama merana yakni: “Kenanganku akan wajahmu yang manis hidup kembali karena pemandangan seekor kijang, sang gajah mengingatkanku akan keagunganmu, sang bulan akan wajahmu yang terang. Ah! Aku dikuasai kecantikanmu”.
Ketika Indonesia mulai memasuki era kolonial standar kecantikan pun mulai berubah mengikuti standar zaman penjajahan, mereka memberi standar cantik dengan kulit putih seperti ras Kaukasia yang dijadikan simbol kecantikan karena dianggap lebih superior sejalan dengan politik raisal Kolonialis.
Ketika penjajah Eropa memasuki Indonesia, mereka menyebarkan dan memperdagangkan produk kecantikan. Produk tersebut diiklankan melalui media pada ssat itu. Sebagai contoh iklan sabun palm olive. Standarisasi kecantikan terus berkembang di Indonesia pada masa penjajahan Jepang dikiblatkan dengan Gadis Nippon yang mana digambarkan wanita Jepang sosok yang jelita dengan kulit putihnya serta fisik yang tinggi langsing.
Perubahan konsep tidak hanya berhenti disini saja namun berkembang sesuai dengan perkembangan waktu yang membuat perubahan persepsi masyarakat Indonesia akan kecantikan.
Pada masa Orde Lama wacana mengenai kecantikan khas Indonesia mulai dibuat. Cantik sudah tidak lagi dengan identik putih seperti ras Kaukasia tapi perempuan Indonesia berkulit terang kuning langsat seperti di iklan bedak purol yang digambarkan dengan wanita berkebaya pada tahun 1957, dan menggantikan Lux dengan modelnya menjadi permpuan Indonesia akhir dekade 1950-an, perempuan yang dimaksud adalah perempuan Jawa bukan Ambon maupun Papua yang berkulit lebih gelap.
Pada masa Orde Baru segala hal mengenai Barat yang pernah dilarang pada era Soekarno kembali diperbolehkan seiring dengan masuknya modal asing. Film-film dan koran menampilkan gaya fashion global dengan perempuan Kaukasia sebagai model kecantikan ideal. Di era Milenial saat ini standar cantik perempuan Indo menjadi simbol kecantikan.
Tak hanya film atau cover majalah, berbagai produk menampilkan model berwajah Indo. Saat ini orang yang memiliki kulit hitam disebut manis namun yang memiliki kulit putih disebut cantik, masih larisnya produk kecantikan menjadi penanda masih adanya wacana bahwa cantik itu putih.
Wacana mengenai kecantikan ideal terus di kampanyekan sejak era kolonial membuat sulit dihilangkan walaupun dewasa ini produk kecantikan juga ada yang memasang model dengan mereka yang berkulit gelap, namun wacana mengenai putih masih mendominasi.
Di era milenial saat ini, standar cantik menjadi lebih beragam. Media dan arus globalisasi memberikan celah untuk masuknya pemahaman cantik itu seperti ala Korea atau cantik ala Eropa. Untuk mendapatkan kecantikan tersebut masyarakat masih banyak yang menghabiskan uang untuk mempercantik diri sesuai target yang dikonstruksikan media.
Nuansa Rasisme
Warna kulit apapun bisa membuat kesan cantik pada diri wanita. Dalam sejarah Indonesia penciptaan mengenai ikon kecantikan terjadi pada masa era prakolonial. Kebanyakan orang yang memiliki kulit hitam sering terkena deskriminasi antar kelompok masyarakat. Mereka memandang sebelah mata orang yang berkulit hitam itu tak pandai merawat diri dan diidentikkan dengan petani, budak dan lain sebagainya.
Perbedaan warna kulit seringkali membuat kita membeda-bedakan mindset kita ini berpikir bahwa orang hitam itu kotor dan aneh sehingga kita meminggirkan orang yang memiliki kulit tersebut.
Seperti juga orang kolonial membedakan kita berdasarkan ras karena ideologi rasisme berkaitan erat dengan orientalisme dan kolonialisme, karena biasanya orang kolonial berakar pada superioritas masyarakat Eropa orang berkulit putih sebagai ras yang paling unggul. Prasangka ini sengaja dibentuk sebagai pembenaran pendapat untuk menunjukkan kekuasaan dan identitas mereka.
Gambaran orang berkulit hitam adalah sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat kulit putih, dan cara berpikirnya pun dengan asumsi negatif yang melekat pada orang berkulit hitam, contohnya ketika seseorang yang memiliki jiwa rasis bertemu dengn orang kulit hitam maka akan selalu diwarnai oleh deskriminasi verbal yang merendahkan kulit hitam.
Sebenarnya mindset tentang orang yang cantik adalah yang memiliki kulit putih itu hanyalah sebuah efek dari marketing, karena memang dampak marketing ya seperti itu, sehingga orang percaya bahwa putih itu selalu cantik. Tidak hanya itu saja kepercayaan ini didapat karena mendengar pendapat orang lain.
Hal ini semakin melekat di benak wanita karena iklan penawaran dari media maupun klinik kecantikan. Lalu mengapa mindest ini muncul? Karena adanya pendapat, stigma, dan informasi yang berkembang di masyarakat terkait kecantikan yang diasosiakan dengan kulit putih.
Hegemoni Emosional dan Status Kelas Sosial
Adanya Hierarki pada warna kulit yang terbentuk sejak abad ke-9 tersebut kemudian membentuk hierarki sosial di masyarakat. Rasa emosi yang terbentuk mengenai orang-orang dengan warna kulit tertentu kemudian mengalami hierarki sosial yang terbentuk dari warnaisme tersebut. Hal itu dapat dilihat pada relasi keuasaan yang beroperasi melalui afek (rasa dan emosi).
Pada masa kolonial, perempuan Kaukasia yang dianggap sebagai simbol kecantikan.gagasan mengenai ras Kaukasia lebih cantik dibanding ras lain sejalan dengan rasis kolonial Inggris dan Belanda, keaduanya menganggap orang kulit putih lebih superior sehingga kecantikan ideal diwakili oleh perempuan Eropa
Hierarki sosial yang terbentuk dari warna kulit telah menciptakan kepantasan kolonial. Yang dimaksud disini adalah dimana perempuan kulit putih Belanda atau dengan status sosial non Eropa seperti priyayi, hanya bersikap dan bereaksi secara emosional sesuai dengan apa yang dianggap pantas berdasarkan standar kolonial. Sedangkan orang berkulit hitam tidak boleh bereaksi secara emosional karena dianggap tidak dapat menjaga kehormatannya sebagai perempuan. Pada masa kolonial warna kulit dianggap sebagai penanda status sosial.
Orang yang berkulit terang diidentikkan dengan mereka yang berstatus sosial tinggi atau berasal dari lapisan kelas sosial atas. Sementara itu mereka yang berasal dari kelas sosial lebih rendah, seperti kelas pekerja, petani diidentikkan dengan warna kulit hitam. Dalam hal ini perempuan seringkali mendapatkan diskriminasi berdasarkan penampilan mereka, kita dapat mengambil contoh yaitu adanya berita mengenai penjual tahu cantik.
Hal ini menjadi contoh nyata dari deskriminasi wanita di Indonesia saat ini. Karena mereka menganggap wanita yang bekerja sebagai penjual tahu biasanya berpenampilan jelek, lusuh,dan lain sebagainya, namun hal ini dianggap layak untuk menjadi sorotan sebagai sesuatu hal yang luar biasa. Dalam sejarah Indonesia konteks mengenai kecantikan, jika ada kelas pekerja yang masuk kedalam kategori ideal maka hal itu disebut dengan sebuah ‘Pencapaian’.
Standar Kecantikan Mengubah Pola Pikir Perempuan
Perempuan sangat berusaha untuk menimbulkan persepsi cantik. Kebanyakan mereka hanya terlalu fokus untuk memperbaiki tampilan fisik saja dan mengabaikan hal lainnya. Standar kecantikan telah mengubah seseorang dengan melihat citra tubuhnya menjadi negatif. Akibatnya banyak perempuan yang menganggap diri mereka buruk hingga mempengaruhi kepercayaan dirinya dan psikologinya. Gangguan tersebut dapat membuat seseorang merasa cemas dan tertekan dan mengesampingkan kesehatan akan tubuh masing-masing.
Kecantikan memang tidak lahir secara tunggal akan tetapi secara keseluruhan termasuk mental, finansial atau spiritual. Dengan memaknai hal itu maka kecantikan tidak harus dipandang di satu sisi saja. Buatlah persepsi tentang cantik itu adalah kita sendiri yaitu dengan kepercayaan diri dengan mencintai diri sendiri. Dengan begitu akan memunculkan sebagai citra diri yang kuat. Maka dari itu perlunya mengubah pola pikir kita. standar kecantikan yang tidak memanusiakan kita sebagai perempuan, sudah seharusnya kita tinggalkan.
Kecantikan tidak seharusnya menyiksa, kecantikan adalah penerimaan diri kita seutuhnya dan tentang persepsi kita terhadap diri sendiri. Cantik tidak harus selalu diidentikkan putih atau tubuh kurus. Standar kecantikan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa yang pernah menjajah dan ditambah dengan era globalisasi yang menjadikan standar kecantikan Indonesia tidak lagi di standarnya. Karena perempuan Indonesia telah sejak lama terjebak dalam stigma tersebut. Diperlukan adanya batas tegas bahwa cantik tidak harus selalu putih.
Dalam budaya dan tradisi Indonesia dunia mengekspresikan diri dalam simbol kecantikan, hanya terlelap akan ranah kecantikan, perempuan lupa akan kesadaran dirinya dan pada akhirnya terjebak di dua zona yaitu terlihat cantik dengan mengikuti setiap trend kecantikan yang muncul dengan standar yang semakin bodoh dan aneh tersebut.
Dari zaman Belanda memang sudah ada produk kecantikan, tiap zaman membawa gagsan berbeda dengan produk yang berbeda pula. Semakin banyak perempuan Eropa yang datang ke negeri Jajahan pasca dibukanya Terusan Suez makin mendukung wacana kecantikan Kaukasia. Hal ini diperkuat dengan Politik Etis, yang memungkinkan perempuan terpandang jika mengenyam pendidikan dan sudah bisa baca-tulis. Tanpa mereka sadari majalah perempuan menjadi agen yang membentuk persepsi mereka akan kecantikan. Alhasil gambaran cantik itu adalah yang berkulit putih ala perempuan Eropa karena mereka memantapkan dominasi di bidang ekonomi, politik, dan budaya.
Kesimpulan
Pandangan tentang orang yang cantik adalah yang memiliki kulit putih itu hanyalah sebuah efek dari marketing, sehingga orang percaya bahwa putih itu selalu cantik. Tidak hanya itu saja kepercayaan ini didapat karena mendengar pendapat orang lain. Standar kecantikan telah mengubah seseorang dengan melihat citra tubuhnya menjadi negatif. Akibatnya banyak perempuan yang menganggap diri mereka buruk hingga mempengaruhi kepercayaan dirinya dan psikologinya.
Standar kecantikan yang tidak memanusiakan kita sebagai perempuan, sudah seharusnya kita tinggalkan. Standar kecantikan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa yang pernah menjajah dan ditambah dengan era globalisasi. Gambaran orang berkulit hitam adalah sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat kulit putih, dan cara berpikirnya pun dengan asumsi negatif. Cantik tidak harus putih dengan tersenyum pun kita akan memberikan aura positif dan akan terlihat cantik di depan mereka.
Daftar Rujukan:
- Stepfanni Raharjo. 2016. Mitos Kecantikan Wanita Indonesia Dalam Iklan Televisi. Surabaya: Universitas Kristen Petra.
- Ira Wirasari. 2018. Kajian Kecantikan Perempuan. Bandung: Institut Tekhnologi Bandung.
- Muhammad Al Hafidzh. 2016. Rasisme Dalam Masyarakat Pasca Kolonial. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
- Didit Widiatmoko. 2017. Wajah Indo Dalam Iklan 1950 an. Jurnal Seni Budaya. Vol(26), No(2).
- Nur Janti, 2018. Putih Jelita Era Belanda. https://historia.id/kultur/articles/putih-era-belanda-PdjR3. 28/04/2020.
- Nur Janti. 2019. Cantik Putih Masih Berkuasa.https://historia.id/kultur/articles/cantik-putih-masih-berkuasa-P4e0j. 27/04/2020.
- L.Ayu Saraswati. 2017. Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional. Jakarta: IndoPROGRESS.