Isu pernikahan dini kembali mencuat ke muka publik lantaran viralnya promosi pernikahan dini oleh sebuah wedding organizer. Sejumlah pihak pun bereaksi terhadap persoalan ini.
Pernikahan dini atau biasa disebut juga perkawinan anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCROC) adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah usia 18 tahun.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun.
Angka kasus pernikahan dini di Indonesia masih tergolong tinggi. Dari catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, bulan Januari hingga Juni 2020 terdapat 34.000 permohonan dispensasi pernikahan.
Perlu diketahui bersama bahwa pernikahan dini menyebabkan deretan risiko pada berbagai bidang kehidupan berikut ini:
1. Kesehatan
Pernikahan dini biasanya terjadi karena minimnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi. Dilansir dari pernyataan Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat menyampaikan protes dan keprihatinan terhadap ajakan pernikahan dini pada (11/02/2021), sejumlah persoalan kesehatan reproduksi menyusul akibat pernikahan dini. Pertumbuhan dan perkembangan ibu yang belum sempurna dengan kondisi panggul masih sempit menyebabkan proses persalinan dapat terhambat hingga berisiko terhadap kematian ibu dan bayi.
Lebih lanjut, jalan lahir yang belum siap untuk dilalui bayi dapat mengalami robekan yang mengakibatkan perdarahan. Kemudian, kehamilan oleh ibu di bawah umur juga berisiko dengan timbulnya penyakit preeklampsia, kondisi komplikasi dalam periode kehamilan yang biasanya memasuki usia 20 minggu ditandai dengan tingginya tekanan darah dan kadar protein urin.
Selain itu, hubungan seksual yang dilakukan oleh remaja wanita rentan mengakibatkan kanker mulut rahim. Seorang ibu yang mengandung sebelum usia 20 tahun di mana masih dalam masa pertumbuhan akan mengakibatkan rentan terhadap pengeroposan tulang karena jatah yang seharusnya digunakan untuk tumbuh kembang ibu justru diambil untuk perkembangan janin.
2. Ekonomi
Salah satu latar belakang terjadinya perkawinan anak adalah kesulitan ekonomi. Adanya kesulitan biaya untuk melanjutkan sekolah membuat orang tua kemudian mengizinkan anaknya untuk menikah muda. Mereka beranggapan bahwa lebih baik menikah daripada menganggur, terlebih hal tersebut dapat mengurangi tanggungan mereka. Namun demikian, persoalan tidak lantas usai sebab belum tentu anak sudah siap mencari nafkah sendiri. Kondisi seperti ini justru melanggengkan kemiskinan antargenerasi.
3. Psikologis
Seorang remaja di bawah umur masih mengalami perkembangan mental emosional. Keadaan emosi yang belum matang dapat menyebabkan remaja rentan stres dalam menjalani bahtera rumah tangga. Emosi yang masih labil membuat anak belum bisa berpikir panjang untuk mengambil suatu keputusan.
Berdasarkan jurnal penelitian Syalis dan Nurwati (2020) tentang analisis dampak pernikahan dini terhadap psikologis remaja, pernikahan dini berdampak diantaranya menimbulkan kecemasan dan stres.
Kecemasan terjadi karena pengantin akan merasa ketakutan dan kekhawatiran untuk menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam keluarganya. Sementara itu, stres yang terjadi karena adanya perasaan kecewa yang berlarut-larut dan perasaan-perasaan tertekan yang berlebihan. Kondisi demikian jika berlangsung lama juga dapat menyebabkan neuritis depresi. Lebih lanjut, seorang remaja di bawah umur masih mengalami perkembangan mental emosional.
Itulah sejumlah risiko pernikahan dini yang perlu diperhatikan. Peran orang tua, sekolah, dan lingkungan dibutuhkan untuk dapat mencegah kasus pernikahan dini di kemudian hari.