Fasilitas angkutan massal yang berada di ibukota banyak sekali jenisnya dengan berbagai macam bentuk. Mulai dari yang tradisional hingga roda publik yang semakin canggih. Hal tersebut tentu memiliki efek positif bagi kota dan bagi masyarakat yang menikmatinya, apalagi angkutan massal pada saat ini sudah semakin nyaman dan modern. Namun, apakah angkutan modern tersebut tidak memiliki dampak negatif bagi negara atau masyarakat? Tentu saja pasti ada dan bahkan masih belum bisa untuk mencapai tujuan dibentuknya transportasi tersebut.
Secara umum, pembangunan yang melibatkan pemerintah harus memiliki 2 asas yang mengikuti yaitu asas efektivitas dan asas efisiensi. Asas efektivitas merupakan asas yang dimana setiap pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah mencapai target yang dicapai. Sedangkan asas efisiensi adalah asas yang dimana pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah dilakukan dengan biaya yang serendah-rendahnya namun menghasilkan produktivitas yang setinggi-tingginya.
Menelaah sejauh mana pembangunan yang melibatkan pemerintah sudah menerapkan kedua asas tersebut. Terdapat 4 angkutan massal modern utama yang dapat dianalisis mengikuti asas tersebut. Pertama, KRL Commuter Line merupakan angkutan kereta api sejabodetabek yang cukup cepat dan nyaman. Kedua, Transjakarta yang berbentuk bus untuk perjalanan seputar kota Jakarta. Ketiga, Moda Raya Terpadu (MRT) merupakan transportasi yang sedang trending saat ini. Keempat, Lintas Raya Terpadu (LRT) yang sedang tahap pembangunan pada saat ini. Dari keempat transportasi modern tersebut tidak semua memiliki asas efektivitas dan efisiensi dan mungkin bisa lebih ditingkatkan lagi untuk memenuhi kedua asas tersebut.
Melirik satu per satu transportasi modern mulai dari yang cukup memiliki efektivitas dan efisiensi yaitu Commuter Line dan Transjakarta. Terlepas dari permasalahan seputar proses menaiki yang cukup dibilang sangat tidak nyaman dan aman, pembangunan kedua transportasi ini memang sudah memiliki kedua asas tersebut. Bisa dilihat pada sekarang ini, Commuter Line yang semakin banyak dikeluarkan rangkaiannya dan Transjakarta semakin diperbarui melalui armada-armada barunya serta koridor-koridor baru dan halte-halte baru. Biaya pembangunan yang cukup mahal juga telah terganti dengan tingkat permintaan yang tinggi dan mampu mengembalikan modal dari proyek tersebut.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, sejak integrasi antara Commuter Line dan Transjakarta dilakukan, telah terjadi peningkatan penumpang, seperti contohnya di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. "Peningkatan penumpang dari 25.000 menjadi 37.000 per hari, ini angka yang bagus. Saya pikir secara konsep antermoda memang harus begitu," kata Menhub Budi saat meninjau Stasiun Tebet, Minggu (23/7/2017). Bahkan terdapat kemungkinan bahwa tahun 2019 semakin bertambah pesat penumpang yang menaiki Commuter Line dan Transjakarta.
Selanjutnya terdapat MRT yang baru saja diresmikan dan telah melaksanakan uji coba perjalanan. Bentuk yang begitu cantik dan sangat modern menjadi daya tarik tersendiri untuk akhirnya masyarakat mampu menerima kehadiran MRT tersebut. Selain itu, MRT ini termasuk salah satu kendaraan tercepat dan mampu menghemat waktu para penumpang yang menaikinya. Di balik meriahnya semarak MRT di ibukota, terdapat biaya yang sangat tinggi untuk membuat transportasi tersebut selesai dengan sempurna.
Biaya pembangunan MRT yang sangat mahal merupakan masalah yang paling utama. Alokasi dana sebesar Rp17 triliun untuk pembangunan konstruksi satu koridor MRT rute Lebak Bulus–Stasiun Dukuh Atas dianggap terlalu mahal. Nilai itu setara dengan Rp940 miliar per kilometer atau hampir dua kali lipat biaya yang dibutuhkan untuk proyek yang sama di Singapura, jika dihitung dengan kurs dolar AS terhadap rupiah saat ini. Artinya, biaya ini jauh lebih mahal dari proyek pembangungan LRT, Commuter Line dan Transjakarta.
Terakhir terdapat LRT yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan di beberapa jalan yang menyebabkan kemacetan yang melanda akibat dari proyek tersebut. Kepala Dinas Perhubungan DKI. Jakarta mengatakan bahwa LRT mampu mengurangi kemacetan hingga 30 persen. Artinya, akan ada 5.628.000 perjalanan menggunakan kendaraan pribadi dapat berpindah menggunakan LRT. Jumlah perjalanan Jabodetabek dapat berkurang menjadi 13.132.000 perjalanan per hari. Lalu, apakah yang menyebabkan MRT dan LRT kurang menerapkan kedua asas tersebut?
Dari sekian banyak biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembangunan kedua transportasi tersebut ternyata belum memiliki kedua asas, bahkan tidak sebanding dengan pemasukan keuangan pemerintah. Pemerintah juga menyarankan agar MRT dan LRT dapat terintegrasi dengan moda transportasi yang lain. Namun, pembangunan kedua transportasi tersebut masih berdiri secara sendiri dan biaya pembayaran yang juga lebih tinggi dari Commuter Line dan Transjakarta.
Sebenarnya, tujuan pemerintah membangun keempat moda transportasi tersebut adalah untuk mengurangi kemacetan. Namun, pemerintah tidak memikirkan alternatif lain yang juga dapat mengurangi kemacetan di ibukota seperti peningkatan jaringan jalan dan pembatasan lalu lintas serta penggunaan pribadi. Pemerintah juga lupa bahwa dengan membangun MRT dan LRT tidak menutup kemungkinan untuk masyarakat tetap membeli kendaraan pribadi yang akhirnya membuat kedua trasnportasi tersebut tidak efektif untuk menanggulangi kemacetan di ibukota.
Namun, jika hanya melihat dari sisi negatifnya saja maka pemerintah tidak mendapat motivasi dari masyarakatnya untuk membangun sesuatu yang lebih berguna lagi. Sebenarnya, kedua moda transportasi tersebut bisa menerapkan asas-asas pembangunan jika telah beroperasi secara cukup signifikan seperti angkutan terdahulu. Maka, yang harus dilakukan masyarakat adalah menunggu untuk memastikan apakah kedua menerapkan asas-asas tersebut atau tidak.
Saran yang sesuai untuk pemerintah adalah dengan mengoptimalisasikan Commuter Line dan Transjakarta. Seperti memperbanyak armada Transjakarta, memberbaiki jalur, dan menambah rangkaian kereta yang akan memberi kenyaman tersendiri kepada masyarakat untuk tidak lagi berdesak-desakan di dalam kendaraan. Pemerintah juga harus memikirkan untuk pembatasan masyarakat dalam pembelian kendaraan pribadi dan meyakinkan masyarakat umum bahwa MRT dan LRT dapat memberikan efek yang sebanding dengan pengeluaran pembangunannya. Karena, kota yang indah adalah kota yang memiliki warga miskin yang tidak mau membeli kendaraan pribadi dan warga kaya naik kendaraan umum.
Rujukan:
- https://wartakota.tribunnews.com/2017/07/23/integrasi-commuterline-dan-transjakarta-jangkau-17-stasiun-dan-sukses-tingkatkan-penumpang
- https://pleads.fh.unpad.ac.id/?p=127
- https://nasional.sindonews.com/read/1045698/149/lrt-bisa-kurangi-kemacetan-hingga-30-1442457896