Ritual Pantai Payangan dan Sikap MUI Jember

Hikmawan Firdaus | Rozi Rista Aga Zidna
Ritual Pantai Payangan dan Sikap MUI Jember
Tim SAR melakukan pencarian korban tenggelam di Pantai Payangan Jember, Jawa Timur, Minggu (13/2/2022). Korban terseret arus laut yang diduga sebagai rip current saat sedang mengikuti meditasi komunitas Tunggal Jati Nusantara. [Antara/Hamka Agung Balya]

Ritual Pantai Payangan kini menjadi perbincangan nasional setelah Nur Hasan selaku Ketua Kelompok Tunggal Jati Nusantara mengajak anggotanya pada jam 01.00 WIB, Minggu (13/02/2022), merendam sebagian tubuhnya di Pantai Payangan, Sumberejo, Ambulu, Jember. Satu jam kemudian, ombak besar menghampiri dan menghantam mereka yang sedang melakukan ritual. Dari 24 orang yang tergabung dalam ritual tersebut, 11 di antaranya tidak bisa lari dari gulungan ombak dan langsung menemui ajalnya.

Sebagaimana data yang didapat dari pihak Polres Jember dan Kementerian Agama Jember, bahwa nama resmi kelompok tersebut adalah “Padepokan Garuda Nusantara” namun lebih dikenal sebagai “Tunggal Jati Nusantara”. Kelompok ini didirikan sekitar tahun 2017 oleh Nur Hasan yang beralamat di Jalan Tengiri RT. 03 RW. 06 Dusun Botosari Desa Dukuhmencek Kecamatan Sukorambi Kabupaten Jember.

Dalam hasil wawancara MUI Jember, Nur Hasan mengaku kepada Bayu (salah seorang murid dekatnya), ia mempunyai 99 orang guru, namun kebenaran pernyataan ini belum dapat dikonfirmasi. Dari data yang dapat terlacak, sosok yang dianggapnya sebagai guru ada dua orang, yakni Huda dan Nur Shodiqin. Kedua sosok ini berperan penting dalam kegiatan Nur Hasan. Huda berperan sebagai sesepuh dalam kegiatan pengajian Nur Hasan di musalanya. Kepada Huda inilah Nur Hasan mengaku mendapatkan selendang dari Nyi Roro Kidul yang seringkali dipakainya saat menjalani ritual di Pantai Selatan.

Sedangkan Nur Shodiqin adalah sosok yang mengaku sebagai mursyid Thariqat Sattariyah yang dari dirinyalah Nur Hasan mendapatkan beberapa wirid yang biasa dibaca dalam kegiatan Tunggal Jati. Foto Nur Shodiqin ini terpampang di pigura besar di rumah Nur Hasan bersama dengan  dirinya  dengan  keterangan  teks “Syeikh Sattariyah” di bagian atas  foto,  dan teks “KH. Nur Shodiqin & Nur Hasan” di bagian bawah.

Hal itulah yang membuat beberapa pengikut kelompok ini menyebut kelompok mereka sebagai kelompok Thariqat Sattariyah. Namun demikian, warga sekitar memanggil Nur Shodiqin sebagai “Pak Shodiq” dan sama sekali tidak dikenal sebagai tokoh agama, baik kiai atau pun ustaz, bahkan mereka mengaku tidak pernah melihatnya salat Jumat atau pun berjamaah di musala warga yang berlokasi di dekat rumah kontrakannya. Dalam wawancaranya dengan MUI Jember, Nur Shodiqin mengaku bahwa Nur Hasan telah menyimpang dari ajarannya dengan melakukan hal baru yang tidak dia ajarkan.

Menurut Dimas dan Bayu, dua anggota kelompok Tunggal Jati yang selamat dari insiden maut di Pantai Payangan, anggota kelompok yang aktif di grup WhatsApp mereka hanya 23 orang. Rekruitmen anggota terjadi dari mulut ke mulut dan umumnya adalah para pasien yang mengaku telah disembuhkan oleh Nur Hasan.

Motif anggota mengikuti kelompok tersebut beragam. Bayu dan Dimas, dua pemuda Desa Sukorambi yang menjadi anggota kelompok ini sejak masih SMP mengaku tertarik bergabung untuk mempelajari ilmu hakikat dan ma’rifatullah. Keduanya adalah orang dekat Nur Hasan yang membantunya dalam berbagai kegiatan dan telah mengikutinya selama lebih dari lima tahun. Berbeda dengan itu, Intan, seorang penjual daging di Pasar Gebang mengaku bergabung karena ingin dagangannya bertambah laris. Sebagian lain mengaku ingin terbebas dari pengaruh negatif hal ghaib.

KH Badrut Tamam, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qarnain yang juga menjabat sebagai Direktur Aswaja NU Center Jember dan Ketua Komisi Fatwa MUI Jember menanggapi persoalan ritual ini dengan meninjau dari beberapa segi.

1. Bacaan

Beliau menyatakan bahwa pada umumnya melaksanakan ritual boleh-boleh saja jika bacaan-bacaan yang dibaca berhubungan dengan al-Quran, selawat, dan zikir. Ritual seperti hal tersebut dibenarkan dan hukumnya boleh.

2. Tujuan

Apabila ritualnya ingin keluar dari masalah yang tengah melilitnya, tidaklah kenapa, asalnya anggota ritual itu meyakini bahwa yang mengabulkan doa dan permintaannya adalah Allah, bukan yang lain. Jika mereka berkeyakinan bahwa yang mengabulkan permintaannya adalah matra, bacaan, guru, dan tempat, bukan karena Allah, maka hukumnya syirik.

3. Tempat

Apabila tempat pelaksanaan ritual dilakukan di masjid, musala, lapangan atau tempat lain yang tidak bertentangan dengan dengan syariat, maka ritual tersebut dibenarkan. Tetapi, jika ritual digelar di tempat yang kotor seperti di toilet, maka ritual seperti itu dilarang.

4. Keamanan

Jika tempat untuk melaksanakannya tidak berbahaya menurut pandangan umum, maka melakukan ritual boleh-boleh saja. Namun, sekalipun bacaannya benar, tujuannya sudah benar, teknisnya juga benar, tetapi dilaksanakan di tempat yang berbahaya seperti di laut yang ombaknya besar, maka hukumnya haram. Tapi, jika dilakukan di pantai yang aman menurut kebanyakan orang, maka tidak masalah asalkan bacaan, tujuan, dan teknisnya benar.

Di samping itu, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Jember merekomendasikan agar MUI Pusat menerbitkan panduan tentang kegiatan tarekat yang bisa diikuti oleh orang awam, khususnya menyangkut tentang pemahaman syariat, thariqat, hakikat, dan juga agar MUI Pusat mempunyai database tentang kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang di Indonesia dengan memaksimalkan kerjasama MUI Daerah dengan pihak terkait (Pemkab, Kepolisian dan Kejaksaan).

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak