Kekecewaan dan kemarahan publik terhadap rezim Jokowi menemui kembali puncaknya hari ini, Kamis (22/8/2024). Seluruh lapisan masyarakat sipil menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah di Indonesia, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Persis di Jakarta dan kota-kota lainnya, aksi demonstrasi di Yogyakarta guna merespons serta mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-Undang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dirancang secara kilat oleh badan legislatif (Baleg) DPR RI bersama pemerintah. Isi dari revisi tersebut dinilai secara terang-terangan memberikan karpet merah pada praktik politik dinasti rezim Jokowi yang kian ugal-ugalan mengobrak-abrik demokrasi.
Massa aksi kawal putusan MK di Yogyakarta dimulai dari area parkir Abu Bakar Ali dan menyasar ke Gedung DPRD DIY, lalu berjalan ke Gedung Istana Kepresidenan hingga ke Titik Nol. Tak hanya mahasiswa hingga berbagai organ gerakan, kelompok pedagang kaki lima (PKL) yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Pinggir Jalan Yogyakarta Tridharma turut melayangkan tuntutan-tuntutan pada unjuk rasa kali ini.
Diketahui, MK telah memutus dua perkara yakni yang pertama, syarat pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik, terkait ambang batas (threshold) dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024. Lalu yang kedua, pemaknaan syarat usia pencalonan kepala daerah, yakni Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024. Kemudian, Baleg DPR secara cepat menyiasati putusan MK dengan merancang revisi UU Pilkada sehari setelahnya, Selasa (20/8/2024).
Salah satu perwakilan Sindikasi Serikat Pekerja Yogyakarta, Jess, turut memberikan tanggapan atas putusan MK dan aksi unjuk rasa hari ini.
"Keputusan MK itu sangat menghancurkan demokrasi, yang sebenarnya memang sudah hancur. Cuma kali ini bobroknya jadi semakin lebih terang-terangan aja, sehingga memicu kembali kemarahan rakyat," tegas Jess, yang ditemui di penghujung aksi unjuk rasa kawal putusan MK, Kamis (22/8/2024).
Jess juga menuturkan bahwa baginya, demokrasi yang sebenarnya bukanlah hanya politik elektoral, politik legislatif, dan tingkat parlementer, melainkan dari tindak tutur sehari-hari masyarakatnya.
"Demokrasi yang sebenarnya bukan di kenegaraan. Demokrasi yang sebenarnya ya ini ketika rakyatnya ngumpul, mengorganisasi diri dalam serikat, himpunan, organisasi-organisasi akar rumput, dan memperkuat dirinya. Jadi ya ga bisa para segelintir pejabat yang tinggalnya di Jakarta tiba-tiba memutuskan nasib rakyat satu Indonesia," lanjutnya.
Jess juga berharap awak media bisa dengan sebenar-sebenarnya memperlihatkan bahwa suara rakyat yang sesungguhnya ada di jalan, bukan di gedung DPR, MPR, atau di Jakarta sana.
Satu hari sebelum aksi unjuk rasa kawal putusan MK ini bergulir, media sosial dipadati dengan gambar Garuda berlatar biru tua dan bertuliskan "Peringatan Darurat" dibersamai bunyi-bunyian sirine. Fenomena ini sebagai ajakan seluruh masyarakat untuk terus mengawal Pilkada yang akan berlangsung tahun ini.
BACA BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE