#SaveRajaAmpat Menggema di Forum PBB, Greenpeace Soroti Ancaman Tambang

Bimo Aria Fundrika
#SaveRajaAmpat Menggema di Forum PBB, Greenpeace Soroti Ancaman Tambang
Sejumlah warga Desa Manyaifun bersama aktivis Greenpeace Indonesia berpose untuk foto bersama dengan spanduk bertuliskan ‘Selamatkan Raja Ampat, Stop Nikel’ dan ‘Selamatkan Hutan Papua’, dengan Desa Manyaifun dan perbukitan Pulau Batang Pele di latar belakang. (Dok: Alif R Nouddy Korua / Greenpeace)

Raja Ampat, Papua Barat Daya, terancam rusak akibat ekspansi tambang nikel yang diklaim sebagai bagian dari transisi energi. Greenpeace mengingatkan, alih-alih menyelamatkan bumi, praktik ini justru menghancurkan keanekaragaman hayati sekaligus melanggar hak masyarakat adat Papua.

Tambang di Raja Ampat telah memicu deforestasi, sedimentasi, hingga polusi yang merusak terumbu karang dan laut. Habitat daratan pun ikut tergerus, memperparah pelanggaran hak-hak masyarakat adat.

Padahal, pemerintah sempat mengumumkan pencabutan empat dari lima izin tambang nikel pada Juni lalu. Namun hingga kini, belum ada keputusan resmi yang benar-benar menghentikan operasi tambang di kawasan yang kerap dijuluki “surga terakhir di Bumi” itu.

Isu ini dibawa Greenpeace Asia Tenggara ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Nadi, Fiji, akhir Agustus lalu. Dalam pertemuan para menteri dan pejabat lingkungan hidup se-Asia Pasifik, Greenpeace mendesak tata kelola mineral yang adil dan ketat.

Ilustrasi kritik atas eksploitasi Pulau Gag di Kepulauan Raja Ampat yang digali untuk penambangan nikel. [FakartunXSuara.com]
Ilustrasi kritik atas eksploitasi Pulau Gag di Kepulauan Raja Ampat yang digali untuk penambangan nikel. [FakartunXSuara.com]

“Transisi energi kerap dijadikan dalih untuk menjustifikasi pertambangan mineral yang dilabeli kritis, padahal dampaknya merusak lingkungan dan sosial,” kata Rayhan Dudayev, Senior Regional Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara.

Greenpeace menekankan, perlindungan HAM dan persetujuan bebas dari masyarakat adat (FPIC) harus jadi syarat utama dalam rantai pasok mineral. Mereka juga menuntut kawasan rentan, seperti wilayah adat dan situs warisan dunia UNESCO, bebas dari aktivitas tambang.

Laporan UNESCO menunjukkan, sepertiga situs warisan dunia tumpang tindih dengan izin ekstraktif. Di Asia Pasifik, angkanya bahkan lebih tinggi: 42 persen atau 35 dari 84 situs.

Selain tambang, Greenpeace juga menyoroti dampak perang terhadap lingkungan. Serangan militer Israel di Gaza, misalnya, telah menimbulkan kerusakan tanah, air, udara, dan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Greenpeace mendesak agar isu lingkungan dalam konflik bersenjata masuk dalam agenda Majelis Lingkungan Hidup PBB (UNEA) di Kenya, Desember mendatang.

“Forum ini harus berani menuntut gencatan senjata dan perdamaian, sejalan dengan pemulihan lingkungan hidup,” tegas Rayhan.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak