DPR Ingatkan TNI: Tak Ada 'Legal Standing' untuk Polisikan Ferry Irwandi

Hayuning Ratri Hapsari | Siti Nuraida
DPR Ingatkan TNI: Tak Ada 'Legal Standing' untuk Polisikan Ferry Irwandi
Kreator konten Ferry Irwandi. (X/Ferry Irwandi)

Baca 10 detik
  • Komisi III DPR secara tegas menolak rencana TNI melaporkan Ferry Irwandi, menyatakan TNI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
  • Penolakan ini didasari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang lembaga negara menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik.
  • DPR menilai langkah TNI dapat mempersempit ruang kritik, mencederai demokrasi, dan mendesak TNI untuk fokus pada tugas pokoknya.

Rencana Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melaporkan Ferry Irwandi ke jalur hukum memicu polemik besar di ruang publik. Bukan hanya aktivis demokrasi dan masyarakat sipil yang bereaksi, tetapi juga para wakil rakyat di Komisi III DPR RI.

Mayoritas anggota dewan menegaskan bahwa TNI tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan laporan pencemaran nama baik terhadap Ferry.

Persoalan ini makin ramai diperbincangkan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah memutuskan bahwa lembaga negara, termasuk TNI, tidak bisa menjadi pihak pelapor dalam kasus pencemaran nama baik. Putusan ini menjadi landasan utama bagi DPR untuk mendesak TNI menghentikan rencana laporannya.

Latar Belakang Kasus

Kolase foto Ferry Irwandi (kiri) dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Freddy Ardianzah (kanan). [Suara.com]
Kolase foto Ferry Irwandi (kiri) dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Freddy Ardianzah (kanan). [Suara.com]

Ferry Irwandi, seorang aktivis yang dikenal vokal dalam menyuarakan kritik terhadap aparat negara, belakangan melontarkan pernyataan keras yang menyinggung TNI. Kritik tersebut dianggap TNI sebagai bentuk serangan yang merugikan citra institusi.

Pihak TNI sempat menyatakan rencana untuk membawa masalah ini ke ranah hukum dengan dasar tuduhan pencemaran nama baik. Namun, rencana itu langsung menimbulkan perdebatan sengit, baik di kalangan masyarakat maupun politisi.

Menurut analisis hukum, laporan pencemaran nama baik hanya bisa dilakukan oleh individu yang merasa dirugikan secara langsung. Dengan kata lain, bila kritik ditujukan pada institusi publik seperti TNI, maka laporan hukum tidak bisa diproses.

Komisi III DPR: TNI Tak Punya Kewenangan

Sejumlah anggota Komisi III DPR dengan tegas menolak rencana TNI tersebut. Komisi III menyatakan bahwa TNI tidak memiliki kewenangan untuk menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik.

Pernyataan ini juga dipertegas oleh anggota DPR dari berbagai fraksi. Mereka meminta TNI untuk menghormati dan menaati putusan Mahkamah Konstitusi yang telah jelas-jelas menyatakan bahwa lembaga negara tidak bisa mengajukan laporan semacam itu.

Putusan MK Jadi Rujukan

Putusan MK Nomor 38/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa lembaga negara tidak memiliki kedudukan hukum untuk melaporkan pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan pencemaran nama baik adalah delik aduan pribadi, yang hanya bisa diajukan oleh individu sebagai korban langsung.

Dalam putusan tersebut, MK juga menekankan pentingnya membedakan antara kritik terhadap lembaga negara dengan penghinaan terhadap individu. Kritik yang ditujukan kepada institusi seharusnya dilindungi oleh prinsip kebebasan berpendapat, bukan dikriminalisasi.

Kekhawatiran Ruang Demokrasi Terbatas

DPR menilai bahwa bila TNI tetap memaksakan laporan terhadap Ferry, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia. Sejumlah legislator memperingatkan agar aparat negara tidak mempersempit ruang demokrasi.

Kritik, menurut mereka, adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi. TNI, sebagai institusi publik, seharusnya siap menerima kritik keras sekalipun. Bila kritik dianggap sebagai pencemaran nama baik dan ditindak dengan hukum, maka masyarakat akan merasa takut untuk menyampaikan pendapat.

Anggota DPR menyatakan bahwa laporan TNI terhadap Ferry sebenarnya tidak perlu dilanjutkan. Selain tidak sesuai dengan aturan hukum, langkah tersebut bisa mencoreng citra TNI sebagai institusi yang seharusnya fokus pada tugas utama menjaga pertahanan negara.

DPR Hargai Hak TNI, Tapi Ingatkan Aturan

Meski banyak pihak menolak, ada juga anggota DPR yang mencoba bersikap lebih moderat. Komisi III menyebut bahwa mereka menghormati hak TNI jika ingin menempuh jalur hukum. Namun, mereka tetap mengingatkan agar langkah tersebut benar-benar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Artinya, TNI tetap harus mempertimbangkan kembali dasar hukum yang digunakan. Jika laporan tidak memiliki legal standing, maka kasus tersebut bisa saja ditolak oleh aparat penegak hukum sejak awal.

Desakan Agar TNI Fokus Pada Tugas Pokok

Legislator dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendesak agar TNI tidak melanjutkan laporan hukum terhadap Ferry. Menurut mereka, TNI memiliki tugas pokok untuk menjaga kedaulatan negara, sehingga sebaiknya tidak terseret dalam polemik hukum yang berpotensi menggerus kepercayaan publik.

Para legislator meminta TNI menaruh perhatian lebih besar pada tugas utama ketimbang merespons kritik dengan cara hukum.

Analisis Hukum dan Demokrasi

Pakar hukum menilai bahwa putusan MK terkait legal standing lembaga negara dalam kasus pencemaran nama baik adalah bentuk perlindungan terhadap demokrasi.

Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai sumber, pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang bersifat pribadi. Jika institusi negara diperbolehkan melaporkan, maka ruang kritik akan terancam sempit.

Di sisi lain, pengamat politik menilai bahwa langkah TNI ini menunjukkan adanya kepekaan berlebihan terhadap kritik publik. Padahal, dalam negara demokratis, kritik seharusnya dijadikan masukan, bukan ancaman.

Kesimpulan

Kontroversi rencana laporan TNI terhadap Ferry Irwandi menegaskan adanya perdebatan besar antara kewenangan hukum lembaga negara dan kebebasan berpendapat warga negara. Sepakat bahwa TNI tidak memiliki legal standing untuk melanjutkan laporan tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi dasar hukum juga telah jelas menyatakan bahwa lembaga negara tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik, karena kasus ini hanya berlaku bagi individu yang merasa dirugikan secara langsung.

Jika dipaksakan, langkah TNI berpotensi mencederai demokrasi dan mempersempit ruang kebebasan berekspresi masyarakat. Karena itu, DPR mendorong agar TNI lebih baik menghentikan rencana tersebut dan fokus pada tugas utama menjaga pertahanan serta keamanan negara.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak