Program andalan Presiden Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG), yang seharusnya jadi kabar baik buat anak-anak sekolah, justru berubah jadi mimpi buruk di Yogyakarta. Total sudah nyaris 1.000 anak sekolah di sana jadi korban keracunan massal setelah menyantap makanan dari program ini.
Setelah beberapa lama diam, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X, akhirnya buka suara. Dan komentarnya? Bukan basa-basi diplomatis. Raja Keraton Yogyakarta ini langsung memberikan analisis "pedas" yang menunjuk akar masalah dari tragedi ini.
'Masak Jam Setengah Dua Pagi, Dimakan Jam 10, Ya Mesti Basi!'
Sultan tidak menyalahkan higienitas atau bahan makanan. Analisisnya jauh lebih logis dan menusuk: masalah kapasitas dan waktu.
Menurutnya, biang kerok dari semua ini adalah karena para penyedia katering dipaksa bekerja di luar kapasitas normal mereka. Misalnya, dari yang biasanya cuma masak 50 porsi, tiba-tiba harus menyediakan 100 porsi untuk program MBG, tapi jumlah juru masaknya tidak ditambah.
Akibatnya? Mereka terpaksa mulai memasak sejak dini hari buta demi mengejar waktu.
"Mungkin masaknya jam setengah dua pagi. Kalau sayur (dimasak) jam setengah dua pagi, baru dimakan jam delapan atau jam 10 ya mesti layu (basi)," ujar Sultan dengan logatnya yang khas, Jumat (19/9).
Bagi Sultan, ini adalah logika sederhana yang seharusnya bisa dipikirkan oleh para penyelenggara.
"Biarpun (MBG) masih percobaan tapi dibebani jadi 100 porsi. Berarti kan dua kali lipat. Berarti apa? Mungkin masaknya jam setengah dua pagi," ucapnya lagi.
Solusi Simpel dari Sultan: "Tukang Masaknya Aja Diperbanyak!"
Bagi Sultan, solusinya pun sebenarnya sangat simpel dan tidak perlu kajian yang rumit.
"Gimana menghindari seperti itu, tukang masaknya aja diperbanyak. Jadi tidak masak jam dua atau jam tiga pagi, lalu dimakan di jam delapan atau jam 10 ya mesti keracunan," tegasnya.
Sebuah sindiran halus yang seolah ingin bilang, "Ini bukan masalah rumit, ini cuma soal logika dasar yang terlewatkan."
Rentetan Tragedi di Tanah Pelajar
Komentar pedas Sultan ini bukan tanpa alasan. Rentetan kasus keracunan MBG di Yogyakarta memang sudah sangat mengkhawatirkan:
Akhir Juli di Kulon Progo: Sebanyak 497 siswa dari empat sekolah (SD & SMP) menjadi korban. Satu siswa bahkan harus dirawat inap.
Agustus di Sleman: Total 379 siswa dari lima SMP di dua kapanewon (kecamatan) berbeda mengalami gejala keracunan. Sebanyak 18 siswa di antaranya harus dirawat inap.
Total, sudah ada 876 anak yang tercatat resmi menjadi korban, dan jumlah ini bisa jadi lebih banyak. Dinas Kesehatan DIY bahkan sudah mulai mengkaji kemungkinan untuk menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
"Sentilan" dari Sri Sultan ini menjadi pengingat keras bagi pemerintah pusat. Niat baik dari sebuah program andalan bisa berubah jadi bencana jika eksekusi di lapangannya tidak dipikirkan secara matang, logis, dan manusiawi.