Biji kakao menjadi saksi bisu perjuangan para petani perempuan di Desa Saritani, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Mereka menjadi roda penggerak ekonomi lokal melalui budidaya kakao yang lebih bernilai dan berkelanjutan. Dari jagung yang dinilai merusak lahan, mereka menuju kakao yang memberi manfaat jangka panjang.
Catur Madira Harjoh, 56 tahun, pendamping masyarakat Desa Saritani, mengatakan inisiatif ini merupakan bagian dari program kemitraan dengan Global Environmental Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia. Awalnya, imbuh Catur, ada keresahan terhadap lahan pertanian yang rusak akibat pola tanam jagung yang nir berkelanjutan.
“Sistem pertanian jagung di wilayah itu cenderung mengabaikan konservasi tanah dan terlalu bergantung pada pupuk kimia. Kalau berkunjung ke sana, pemandangannya ekstrem,” ujar Catur ketika diwawancarai, Selasa (7/10/2025).
Catur mengisahkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Saritani di masa silam. Kendati pemerintah menyediakan bibit, benih, dan pupuk untuk komoditas jagung, praktik bertani di daerah ini malah acapkali merugikan petani kecil. Banyak lahan yang tidak cocok tetap ditanami jagung, bahkan di lereng-lereng ekstrem.
“Nggak cuma itu, kondisi tersebut juga membuat petani terjerat tengkulak dan hasil panennya tak mampu meningkatkan kesejahteraan. Alhasil, hanya yang tuan tanah yang menikmati ekonomi dari jagung tersebut,” tegas Catur.

Ia menambahkan bahwa tak heran bila Gorontalo termasuk salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Menurut Catur, pengolahan tanah pada masa itu dilakukan secara ugal-ugalan demi mengejar hasil panen cepat. Tapi faktanya, terang Catur, hasil dari pertanian tersebut bukannya malah meroket, melainkan terus melorot.
Melihat kondisi tersebut, Catur bersama tim mulai mengenalkan alternatif tanaman yang lebih ramah lingkungan. Nggak cuma itu, nilai ekonomi tanaman alternatif pun cukup tinggi. Tanaman tersebut yakni kakao. Inisiatif ini memantik sambutan positif dari kelompok perempuan di Saritani.
Ya, selama ini, kelompok perempuan di Saritani berperan sebagai pendamping suami di ladang. Namun, melalui serangkaian pelatihan dan pendampingan, mereka belajar mengelola kebun kakao secara mandiri, dari penanaman hingga pengolahan pascapanen. Program ini juga mengajarkan praktik pertanian yang ramah lingkungan sekaligus berorientasi ekonomi.
Menurut Catur, sebagian besar petani perempuan di Saritani hadir sebagai tulang punggung keluarga. Biasanya, kondisi tersebut gara-gara sang suami sudah tidak produktif atau telah bekerja di tempat lain. Nah, menurut Catur, tanaman kakao cocok berada di tangan para perempuan tersebut yang dinilai cenderung lebih tekun serta telaten,
“Kita memahami bahwa tanaman kakao memang membutuhkan perawatan rutin dan ketelatenan. Hal ini berbeda jauh dengan jagung yang monokultur dan cepat panen. Kakao mendorong kehadiran gaya hidup perempuan yang cenderung lebih tekun dan telaten,” ujar Catur.
Titik terang pun terlihat. Nadi perekonomian mulai berdenyut setelah panen pertama tiba. Dengan luas lahan rerata 1 hingga 1,5 hektare, pendapatan mereka mulai meningkat signifikan. Apalagi, kondisi tersebut semakin menjadi-jadi ketika harga kakao di pasar internasional meroket.
Menurut Catur, masyarakat yang dulunya terjerat belenggu ekonomi, kiwari bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, membeli kendaraan, bahkan menyekolahkan anak-anaknya. Ia berharap program ini terus berlanjut agar manfaat ekonomi dari kakao dapat dinikmati secara berkelanjutan. “Kami ingin masyarakat menikmati hasil pertanian mereka sendiri.”
Perubahan Suratinah
Suratinah, 63 tahun, merasakan perubahan besar dalam hidupnya usai berkenalan dengan kakao. Dulu, hidup salah seorang petani perempuan di Desa Saritani tersebut, mengalami kesulitan ekonomi. Namun, titik balik terjadi ketika dia dan beberapa perempuan di Desa Saritani diperkenalkan dan mulai menanam kakao.
“Saya dulu hanyalah buruh. Saat itu, saya belum bisa bertani, bahkan nggak punya modal. Hidup saya dulu sengsara, hingga akhirnya saya diperkenalkan dengan tanaman kakao,” ujar Suratinah saat diwawancarai, Sabtu (11/10/2025).
Dia pun menerawang. Suratinah mengingat ketika itu Catur dan rekannya menyarankan warga untuk beralih dari jagung lalu menanam kakao. Sejak saat itu, denyut perekonomian mulai berdetak. Panen dilakukan dua pekan sekali. Hasilnya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga serta biaya sekolah anak-anak.
“Setiap dua minggu, saya bisa memanen sekitar 10 hingga 15 kilogram kakao. Dulu harganya bisa mencapai Rp 100 ribu per kilogram. Tapi sekarang (harganya) turun menjadi Rp 45 ribu hingga Rp 50 ribu per kilogram. Meski harga turun naik, kakao tetap jadi sumber penghasilan keluarga,” ujar Suratinah.
Hebatnya. dari hasil kebun itu, Suratinah kini mampu menyekolahkan anaknya hingga ke Pulau Jawa. Ia juga menekankan keberhasilan ini tidak hanya berdampak pada dirinya, melainkan perempuan lain di desa. Pendapatan dari kakao memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus bergantung pada orang lain.
“Sekarang sudah agak mendingan. Kalau dulu, harus pinjam-pinjam uang sama orang,” jelas Suratinah.
Kekinian, budidaya kakao telah mengubah wajah ekonomi perempuan di Desa Saritani. Dari buruh tani yang hidup pas-pasan, mereka menjelma menjadi pelaku utama ekonomi desa. Kakao bukan lagi sekadar tanaman. Kakao menjadi jalan menuju kemandirian, stabilitas, dan kesejahteraan.(Ancilla Vinta Nugraha)