Rumah Presiden Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, mendadak menjadi pusat perhatian publik pada Selasa (21/10/2025).
Bukan karena perayaan atau ucapan selamat atas satu tahun pemerintahannya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, melainkan karena dipenuhi deretan karangan bunga berisi sindiran pedas terhadap kebijakan pemerintah.
Puluhan karangan bunga berjejer di depan kediaman Presiden, menghiasi kawasan Selong, Kebayoran Baru, dengan warna mencolok dan pesan-pesan bernada kritik.
Namun, bukan ucapan “Selamat atas 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran” yang tertulis di sana, melainkan kalimat protes seperti “Sembako makin mahal, rokok makin murah,” “Rakyat butuh gizi, bukan rokok,” hingga “Mahalkan rokok, murahkan sembako.”
Aksi simbolik ini digagas oleh Komunitas Save Our Surrounding (SOS), sebuah kelompok masyarakat yang aktif menyuarakan isu lingkungan dan kesehatan publik.
Mereka mendesak pemerintah agar segera menegakkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan mempercepat implementasi pengendalian konsumsi tembakau yang berpihak pada kesehatan masyarakat.
Menurut komunitas tersebut, harga rokok yang masih tergolong murah di Indonesia, baik legal maupun ilegal, membuat masyarakat sulit mengendalikan diri untuk berhenti merokok.
Akibatnya, banyak keluarga berpenghasilan rendah kehilangan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli rokok, sementara kebutuhan dasar seperti makanan bergizi dan pendidikan anak terabaikan.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menilai bahwa permasalahan utama bukan sekadar soal harga rokok yang murah, melainkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menegakkan regulasi yang sudah ada.
Jika situasi ini terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga terhadap kesejahteraan sosial secara keseluruhan.
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang diharapkan menjadi tonggak baru dalam upaya pengendalian konsumsi tembakau.
Aturan tersebut mencakup larangan iklan, promosi, dan sponsor produk rokok, serta pembatasan penjualan rokok eceran. Namun, lebih dari setahun setelah disahkan, penerapannya masih jauh dari harapan.
Promosi dan iklan rokok masih marak terlihat di konser musik, acara olahraga, hingga media sosial. Figur publik dan influencer pun masih kerap terlibat dalam kampanye terselubung industri tembakau. Di lapangan, penjualan rokok batangan tetap mudah ditemukan, bahkan di sekitar sekolah.