Winter Festival JEYC Jadi Ruang Belajar Holistik bagi Tumbuh Kembang Anak

Hayuning Ratri Hapsari | Mira Fitdyati
Winter Festival JEYC Jadi Ruang Belajar Holistik bagi Tumbuh Kembang Anak
Potret Winter Festival 2025 (Istimewa)

Jogja Early Years Centre (JEYC) hadir sebagai ruang belajar yang tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik anak.

Sejak awal, JEYC memposisikan diri sebagai pusat tumbuh kembang anak yang memperhatikan setiap aspek perkembangan, mulai dari fisik, emosi, hingga karakter.

Principal JEYC, Hanifah Putri atau akrab disapa Hani, menjelaskan bahwa penggunaan kata centre mencerminkan visi tersebut.

JEYC tidak ingin hanya dikenal sebagai sekolah, tetapi sebagai tempat di mana seluruh kebutuhan perkembangan anak dapat difasilitasi secara menyeluruh, dengan melibatkan orang tua sebagai bagian penting dari prosesnya.

Pendidikan Holistik: Bertumbuh Sesuai Tahapan Anak

Potret seorang anak sedang bermain lego (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)
Potret seorang anak sedang bermain lego (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)

Hani menjelaskan, JEYC tidak menjadikan kemampuan membaca cepat atau berhitung sebagai target utama sejak dini.

“Di sini kita tidak hanya fokus anak harus bisa baca cepat. Memang ada sekolah yang menjanjikan hal itu. Tapi di JEYC, kami benar-benar melihat anak secara holistik,” ujarnya.

JEYC mengusung holistic education sebagai nilai utama. Anak dipandang sebagai individu yang utuh, bukan hanya dari sisi kognitif.

Menurut Hani, kemampuan kognitif justru berada di tahap atas dalam proses pendidikan dan tidak bisa dipaksakan tanpa fondasi yang kuat.

Fondasi tersebut berada pada perkembangan fisik, sensorik, dan pancaindra. Ia mencontohkan, ada anak yang keseimbangan tubuhnya belum matang, tetapi sudah dituntut untuk bisa membaca.

Secara teori mungkin memungkinkan, tetapi jika tidak sesuai tahap perkembangan, hal itu berisiko menimbulkan masalah di kemudian hari.

Karena itu, JEYC mengajak orang tua untuk menjadi partner in every milestone, mendampingi anak naik ke setiap tahap perkembangan secara bertahap dan matang.

Nilai kedua yang dipegang JEYC adalah self-concept, yakni membantu anak mengenal dirinya sendiri. Anak dipahami sebagai anak-anak, sehingga tidak dituntut untuk bersikap layaknya orang dewasa.

“Kami selalu menyampaikan ke orang tua, mama tolong jangan memberi terlalu banyak tekanan dan ekspektasi yang terlalu tinggi,” kata Hani.

Menariknya, meskipun menggunakan kurikulum berstandar internasional, JEYC tetap menjaga nilai lokal. Dalam keseharian, panggilan bapak dan ibu tetap digunakan.

“Mungkin terlihat sederhana, tapi itu bentuk bahwa kita masih di Jogja, masih di Indonesia,” tuturnya.

Pendekatan tersebut kemudian diterapkan dalam program pembelajaran, dengan tetap menghadirkan Bahasa Indonesia serta mengintegrasikan Cambridge Curriculum dan Kurikulum Merdeka.

Nilai ketiga adalah Champion Spirit, yakni membangun semangat anak untuk terus berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

“Saya selalu mengajak orang tua untuk tidak membandingkan anak satu dengan yang lain. Bandingkan mereka dengan versi mereka sebelumnya,” ujar Hani.

Sementara itu, nilai keempat adalah global knowledge. JEYC ingin anak memahami bahwa dunia tidak hanya sebatas lingkungan tempat mereka tinggal.

Melalui kurikulum Cambridge, anak dikenalkan pada keberagaman dunia, termasuk perbedaan alam dan budaya.

“Kita ingin anak tahu bahwa dunia tidak hanya tentang hujan dan panas, tapi juga ada salju, musim dingin, dan banyak hal lain di luar sana,” kata Hani.

Winter Festival: A Warm Family in Winter

Potret face painting (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)
Potret face painting (Dokumen Pribadi/Mira Fitdyati)

Pendekatan ini sejalan dengan kegiatan Winter Festival 2025 bertema “A Warm Family in Winter” yang digelar pada Jumat (19/12/2025) di JEYC.

Dengan dresscode bernuansa biru dan putih, acara ini dimeriahkan dengan berbagai aktivitas, termasuk nuansa Christmas dan Santa Claus.

Hani menegaskan bahwa Christmas hanya menjadi bagian dari rangkaian acara, bukan fokus utama. Mengingat keberagaman latar belakang kepercayaan, JEYC merancang kegiatan secara umum dan inklusif melalui konsep Winter Festival.

Acara ini diisi dengan berbagai penampilan anak, seperti bernyanyi dan menari, sekaligus menjadi ruang membangun kedekatan antara sekolah dan orang tua.

“Kami ingin membangun hubungan yang baik dengan para orang tua. Yang hadir bukan hanya mama atau papa, tapi juga anggota keluarga lainnya, sehingga mereka bisa saling mengenal dan berinteraksi,” tutur Hani.

Setelah penampilan, anak-anak diajak mengikuti berbagai aktivitas bermain, mulai dari lego, face painting, hingga permainan lainnya.

Tak hanya hiburan, Winter Festival juga menghadirkan kegiatan charity. Melalui kegiatan ini, anak-anak diajak memahami bahwa tidak semua teman memiliki kondisi hidup yang sama.

“Kita ingin anak tahu bahwa ada teman yang tidak tinggal bersama mama papa dan masih membutuhkan bantuan. Dari situ kita menumbuhkan jiwa sosial dan empati mereka,” tutur Hani.

Meski JEYC menerima anak sejak usia dua bulan dan belum semuanya memahami konsep empati, Hani menilai hal tersebut bukan masalah. Nilai empati akan terus tumbuh jika dipupuk sejak dini.

Ia pun menyinggung keresahan banyak orang tua terhadap anak-anak yang tumbuh tanpa kepedulian terhadap sesama, yang dapat berujung pada perilaku seperti perundungan.

JEYC berupaya menyiapkan anak sejak usia dini agar tumbuh menjadi pribadi yang peduli, berwawasan global, dan mampu hidup bermasyarakat.

Harapannya, anak-anak JEYC kelak dapat tumbuh sebagai warga yang baik, tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak