Gen Z urban tumbuh dalam lanskap digital yang menjanjikan kecepatan, akses, dan ilusi partisipasi. Dengan satu gawai, opini bisa diproduksi, petisi bisa ditandatangani, dan kemarahan bisa diviralkan.
Namun, di balik semua itu, ada jarak sosial yang kian menganga antara pusat kota dan wilayah pinggiran, terutama masyarakat pesisir yang hidup di bawah bayang-bayang kebijakan dan praktik industri ekstraktif.
Di sinilah persoalan mendasar itu muncul: apakah kepekaan digital cukup untuk memahami perjuangan nyata yang berlangsung di ruang hidup orang lain?
Masyarakat pesisir hidup dengan risiko yang konkret. Abrasi, pencemaran laut, hilangnya ruang tangkap ikan, dan kriminalisasi atas nama investasi bukanlah wacana, melainkan keseharian. Ketika izin tambang pasir laut dikeluarkan atau kawasan pesisir ditetapkan sebagai proyek strategis eksploitasi, dampaknya tidak berhenti pada laporan kajian; ia menjelma menjadi perahu yang rusak, hasil tangkapan yang menurun, dan masa depan yang kabur.
Gen Z urban, yang terbiasa dengan bahasa kebijakan dan infografik digital, kerap melihat semua itu sebagai data. Padahal, bagi masyarakat pesisir, data itu adalah kehidupan.
Digitalisasi menciptakan paradoks. Di satu sisi, ia membuka ruang solidaritas lintas wilayah. Di sisi lain, ia meninabobokan kesadaran kritis dengan rasa cukup setelah berkomentar atau membagikan unggahan.
Gaya hidup digital yang serba cepat berpotensi mengikis kesabaran untuk memahami proses panjang perlawanan masyarakat pesisir yang sering kali berlangsung bertahun-tahun.
Perlawanan Pesisir sebagai Sekolah Etika Publik
Masyarakat pesisir telah lama menjadi sekolah etika publik yang sering diabaikan. Di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, warga melawan penguasaan lahan oleh korporasi pariwisata yang membatasi akses mereka ke pantai. Perlawanan itu bukan sekadar soal tanah, tetapi tentang hak konstitusional atas ruang hidup. Mereka belajar hukum bukan dari bangku kuliah, melainkan dari pengalaman berhadapan dengan aparat, pengadilan, dan birokrasi yang kerap memihak modal.
Di Wawonii, Sulawesi Tenggara, masyarakat pesisir menghadapi ekspansi tambang nikel yang mengancam laut dan kebun mereka. Air menjadi keruh, ikan menjauh, dan tanah longsor mengintai. Alih-alih menyerah, warga membangun pengetahuan kolektif. Mereka mendokumentasikan pencemaran, menggugat izin, dan menyuarakan hak atas lingkungan yang sehat.
Contoh lain dapat dilihat di Rempang, Kepulauan Riau. Proyek pengembangan kawasan industri dan pariwisata berhadapan dengan komunitas Melayu pesisir yang telah turun-temurun tinggal di sana. Penolakan warga tidak lahir dari sikap antipembangunan, tetapi dari kesadaran bahwa pembangunan yang mengorbankan manusia dan lingkungan adalah pengkhianatan terhadap tujuan negara.
Bagi Gen Z urban, perlawanan ini adalah sebuah cermin. Ia menunjukkan bahwa demokrasi tidak berhenti pada pemilu atau ruang digital. Demokrasi hidup ketika warga berani mempertanyakan kebijakan, menuntut akuntabilitas, dan menjaga ruang hidupnya.
Belajar Melampaui Layar, Merawat Masa Depan Bersama
Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana Gen Z urban dapat benar-benar belajar dari masyarakat pesisir. Jawabannya bukan dengan meromantisasi penderitaan, melainkan dengan kesediaan untuk melampaui layar. Digitalisasi seharusnya menjadi alat, bukan pengganti keterlibatan. Mengunjungi wilayah terdampak dan mendengarkan cerita warga tanpa pretensi menggurui adalah langkah awal untuk membangun solidaritas yang bermakna.
Gen Z urban memiliki modal penting: literasi digital, akses informasi, dan jejaring yang luas. Modal ini dapat digunakan untuk memperkuat perjuangan masyarakat pesisir, bukan mengambil alih narasi mereka. Ketika kasus pencemaran laut terjadi, dukungan digital harus disertai dengan tekanan kebijakan yang konsisten.
Lebih jauh, Gen Z urban perlu belajar tentang kesabaran politik. Masyarakat pesisir memahami bahwa perubahan tidak datang dalam semalam. Mereka bertahan meskipun kalah di pengadilan dan terus bersuara meskipun dianggap mengganggu investasi. Ketahanan ini lahir dari ikatan komunal yang kuat, sebuah pelajaran penting bagi generasi yang sering terfragmentasi oleh algoritma.
Pada akhirnya, kerusakan lingkungan akibat kebijakan dan praktik industri ekstraktif bukan hanya masalah pesisir; ia adalah ancaman bagi seluruh warga negara. Gen Z urban yang cakap secara digital memiliki pilihan: tetap nyaman dalam ruang virtual atau turun tangan merawat masa depan bersama.
Refleksi ini mengajak kita untuk melihat masyarakat pesisir bukan sebagai objek peristiwa, melainkan sebagai subjek pengetahuan dan perlawanan. Mereka mengajarkan keberanian menghadapi kekuasaan, kesetiaan pada ruang hidup, dan makna keadilan yang konkret. Jika Gen Z urban mau belajar dengan rendah hati, maka digitalisasi tidak akan menjauhkan kita dari realitas, melainkan menjadi jembatan menuju solidaritas yang lebih adil dan berkelanjutan.
