Pentingnya Edukasi Anti Kekerasan Seksual di Lingkungan Organisasi

Tri Apriyani | affan syafiq
Pentingnya Edukasi Anti Kekerasan Seksual di Lingkungan Organisasi
Ilustrasi pelecehan terhadap anak (Shutterstock)

Kekerasan seksual adalah perbuatan menyerang, merendahkan, atau melecehkan seksualitas seseorang dan dilakukan secara paksa. Bentuknya tidak harus selalu kekerasan fisik maupun nonfisik, tetapi yang tidak sesuai dengan kehendak dan tidak ada persetujuan dari korban.


Dalam penanganannya, kasus kekerasan seksual harus ditangani dengan perspektif korban. Artinya, melihat kasus dari kedudukan dan juga dampak yang terjadi kepada korban.

Pengada layanan juga harus melihat kemungkinan trauma yang dialami korban sehingga tidak perlu menuntut korban untuk melaporkan kejadian yang ia alami. Hal yang diperlukan adalah mendengarkan dan bertanya apa yang dapat dibantu, yang terpenting adalah jangan berbuat suatu hal yang mendahului kehendak korban.


Hal tersebut terangkum pada acara Leadlive Session by AIESEC in UI bertajuk “The Importance of Anti-Sexual Violence Education in Organization”. Acara yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa UI tersebut berkolaborasi dengan HopeHelps UI, lembaga pengada layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di Kampus UI, diselenggarakan secara virtual melalui live Instagram @aiesec_ui pada Kamis, (29/7).


Leadlive Session by AIESEC in UI merupakan acara diskusi publik yang diselenggarakan oleh AIESEC in UI secara rutin tiap bulannya. Acara yang diselenggarakan secara virtual ini mengundang para tokoh-tokoh penting dari rekan komunitas AIESEC in UI untuk membahas topik dan isu yang relevan dan penting demi pengembangan kepemimpinan pemuda.

Pada kesempatan kali ini, AIESEC in UI semakin mengukuhkan komitmennya untuk peduli terhadap pentingnya edukasi antikekerasan seksual di lingkungan organisasi.


Menurut Lintang Mutiara Savana, Wakil Direktur HopeHelps UI, bentuk kekerasan seksual dapat dirujuk dari komnas perempuan dan RUU PKS. Di RUU PKS, ada 9 bentuk kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, dan penyiksaan seksual.


Lintang, sapaan akrabnya, mengatakan saat ini kasus kekerasan seksual yang terungkap di Indonesia ibarat ‘gunung es’. Puncak gunung es adalah kasus yang terlaporkan lebih sedikit dibanding kasus yang belum terungkap, yakni dasar gunung es.

Menurut hematnya, penyebab korban enggan melapor kasus kekerasan seksual yang ia alami karena kurangnya dukungan, lemahnya payung hukum, kurang pengetahuan ke mana harus melapor, serta potensi mendapatkan victim blaming dari lingkungan.


Dampak yang dialami penyintas kekerasan seksual sangat berbahaya dan bahkan mengancam masa depan. “Biasanya berupa dampak fisik dalam bentuk luka, disfungsi alat reproduksi, dan juga dampak psikologis yang jangka panjang. Sebagian besar korban mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder—red) yang membuatnya sulit menjalani keseharian selanjutnya.

Ada juga dampak sosial budaya, misalnya dikucilkan, dia juga mungkin menjadi sulit bersosialisasi, dan juga terjadi dampak ekonomi, misalnya kinerja menurun dan bahkan dipecat,” tambah Lintang pada diskusi tersebut.

Lintang turut menyampaikan langkah-langkah penanganan jika seseorang melihat ada sebuah kekerasan seksual. Dalam dunia penanganan kekerasan seksual dikenal sebagai Bystander Intervention, yang meliputi direct, distract, documentate, dan delegate.

Direct adalah mengintervensi tindakan kekerasan seksual yang sedang terjadi secara langsung. Distract adalah melakukan distraksi kepada pelaku ketika ia melakukan tindakan tidak terpujinya. Documentate adalah mendokumentasikan kejadian yang sedang terjadi dalam bentuk foto, video, ataupun kronologi sebagai barang bukti untuk dilimpahkan lembaga yang berwenang. Terakhir, delegate, mendelegasikan penanganan kekerasan seksual kepada pihak yang lebih kapabel dan aman.


Hal terpenting dalam melakukan Bystander Interventionadalah memastikan memiliki keamanan yang cukup dan kemampuan ketika mengalami serangan dari pelaku maupun orang disekitar kejadian tersebut. Selain itu, penting untuk tidak menyebarkan identitas korban ke publik karena berpotensi menjadi backfire terhadap keamanan korban.


Di sisi korban, jika mengalami kekerasan seksual, hal yang terpenting dilakukan adalah tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Korban dapat meminta bantuan saksi yang berada disekitar kejadian untuk mengumpulkan bukti, sertakan lampiran dampak fisik yang dialami. Kemudian cari lembaga pendampingan antikekerasan seksual atau juga bisa ke lembaga bantuan hukum terdekat untuk melaporkan kejadian.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak