Jadi, saya dulu bersekolah di SMPN 1 Labuan. Suatu daerah pesisir pantai di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Mungkin belum banyak orang yang mengenal daerah ini, karena ia biasanya dijadikan jalan perlintasan para wisatawan yang ingin berwisata ke Pantai Anyer, Pantai Carita, Tanjung Lesung, atau Ujung Kulon.
Memang tidak banyak tempat wisata, cerita sejarah dan bangunan kuno yang saya tahu dari daerah ini. Namun, di daerah inilah saya belajar tentang bagaimana saling menghormati dan menghargai antar sesama suku bangsa. Tentang bagaimana saya belajar, bermain, dan bergaul dengan berbagai macam suku bangsa dan etnis. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, sejauh ini hanya di daerah pesisir inilah yang keberagaman dan kebersamaannya terlihat cukup jelas.
Suku Bangsa di Kecamatan Labuan
Seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, mungkin banyak juga suku bangsa atau etnis pendatang yang tinggal di suatu daerah. Oh ya, pengertian suku bangsa atau etnis itu sendiri terdapat dalam Encyclopaedia Britannica (2015), yaitu suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasi dirinya dengan sesama. Biasanya, kesamaan tersebut didasarkan pada garis keturunanan.
Sama juga seperti di Kecamatan Labuan ini, selain suku asli daerah ini, yaitu suku Sunda Banten, seingat saya, ada juga beberapa suku lainnya, seperti suku Jawa, Sunda Priangan, Padang, Batak, dan Jawa Serang. Sedangkan saya sendiri termasuk ke dalam suku bangsa campuran, antara Melayu Riau dan Sunda Banten. Untuk suku bangsa pendatang, etnis Tionghoa jumlahnya terlihat cukup signifikan di daerah ini.
Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa, di Banten sendiri, kemungkinan orang-orang Tiongkok sudah hadir sekitar abad ke-10. Sebagian dari mereka mengembangkan pertanian. Nah, dari proses ini mereka mulai menyebar hingga ke pelosok-pelosok Banten, ke daerah pegunungan, seperti ke Pegunungan Cimuncang, Mandalawangi, Kaki Gungung Karang, Jiput, dan Carita. Semua daerah ini memang bertetangga dengan Kecamatan Labuan.
Keberagaman Bahasa Ibu di dalam Kelas
Dengan keberagaman suku bangsa inilah, kalau diperhatikan, ketika berbicara, selain menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan. Saya dan teman-teman yang berbeda suku bangsa seringnya menggunakan bahasa ibu masing-masing di dalam kelas.
Nah, bahasa ibu ini adalah bahasa yang pertama kali dipelajari oleh seseorang sejak kecil secara alamiah dan menjadi dasar sarana komunikasi serta pemahaman terhadap lingkungannya. Dalam konteks di Indonesia, dikutip dari Kemdikbud, bahasa ibu diidentikkan dengan bahasa daerah atau bahasa lokal.
Jadi, saya dan teman-teman terkadang menggunakan bahasa yang memang sudah biasa kami gunakan semenjak kecil. Bahasa itu tentunya kami gunakan kepada teman yang mempunyai suku yang sama, atau yang sekiranya mengerti bahasa yang kami gunakan.
Seperti saya yang akan menggunakan bahasa Sunda Banten kepada teman yang berasal dari daerah setempat. Sama juga dengan teman saya Kasnadi, ia akan menggunakan bahasa Jawa kepada temannya yang berasal dari daerah yang sama. Sedangkan, Rohim akan menggunakan bahasa Jawa Serang dan Asep akan menggunakan Bahasa Sunda Priangan. Lain halnya dengan Erlina, Veronika, dan Firnandes yang akan saling berbicara dengan menggunakan bahasa Mandarin.
Bermain dan Bekerja Kelompok
Keberagaman bahasa ini juga sering kami gunakan di luar kelas. Seperti, ketika bermain ke pantai, sungai, ke rumah teman, dan mengerjakan tugas sekolah yang dikerjakan di rumah secara berkelompok.
Ketika bermain, kami mungkin akan mengunakan bahasa sesuka kami sendiri. Terkadang menggunakan bahasa Indonesia, bahasa ibu, atau ikut-ikutan bahasa yang teman lain gunakan sebisanya. Tapi, ketika bekerja kelompok, ketika kami harus berdikusi tentang suatu hal dan harus saling mengungkapkan pendapat dan saran, seringnya kami menggunakan bahasa Indonesia agar semua teman saling mengerti dan agar komunikasi berjalan dengan lancar.
Suatu hari, ketika saya dan teman-teman bekerja kelompok di rumah saya, sambil menyajikan minuman dan cemilan Ibu saya terkadang melihat bagaimana kami bergaul, berkomunikasi, dan mengerjakan tugas. Ibu sesekali ikut duduk dan bertanya tentang apa yang kami kerjakan dan bertanya dari mana asal daerah dan rumah teman-teman saya. Mungkin ibu teringat ketika masa kecil dulu, masa di mana beliau bersekolah dan bermain bersama teman-temannya.
Cerita Ibu Dulu, Pengalaman Saya Sekarang
Dan memang benar, kenapa Ibu saya suka ikut bergabung dan melihat apa yang saya dan teman-teman kerjakan ketika sedang bekerja kelompok. Karena, Ibu teringat ketika masa sekolah dulu, ketika duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Ibu mempunyai teman-teman yang beragam suku bangsa. Katanya, banyak teman ibu yang berasal dari suku lain yang berbicara dengan bahasa ibunya masing-masing. Ada juga etnis Tionghoa yang memang menggunakan bahasanya sendiri. Dan, beliau bercerita kalau ibu dan teman-teman di kelasnya sangat dekat dan setia kawan, tidak ada yang saling mengejek atau merendahkan. Bahkan, ibu mempunyai beberapa orang sahabat yang berasal dari etnis Tionghoa.
Semuanya bermain bersama dan bekerja kelompok bersama-sama juga, baik laki-laki ataupun perempuan, di sekolah ataupun di lingkungan rumah. Beberapa foto ibu dan teman-temannya masih disimpan dengan baik. Dan, akhirnya bisa diceritakan kepada saya sampai sekarang.
Itulah pengalaman keberagaman bahasa yang saya alami ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, yaitu ketika saya dulu bersekolah di SMPN 1 Labuan. Pengalaman yang sangat berharga tentang bagaimana saya belajar bagaimana saling menghormati dan saling menghargai antar sesama suku bangsa dan etnis. Dan, pengalaman tentang keberagaman suku bangsa yang saya alami ternyata menjadi pengalaman ibu saya ketika bersekolah dulu.