Artikel ini sesungguhnya terinspirasi atas upaya peningkatan mutu pendidikan di NTT, yang pernah digagas mantan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, yakni “Gong Belajar”. Program yang dicanangkan sejak tahun 2011 itu sebenarnya merupakan seruan moral yang bertujuan menyadarkan masyarakat luas khususnya kepada para pelajar di NTT agar dapat memiliki keinginan tulus untuk belajar, dapat meningkatkan intensitas dan efektifitas waktu untuk belajar.
Sehingga pada akhirnya aktivitas belajar akan menjadi sebuah budaya, dan bukan sebatas rutinitas atau seremonial di kalangan para pelajar kita. Namun, hingga kini, semakin gong tersebut ditabuh, tetapi gaungnya tidak terdengar oleh para pelajar kita. Hingga kini gong belajar hanya tinggal nama dan redup di tengah bergulirnya era kepemimpinan sang mantan gubernur dan wakilnya.
Hari ini, di era kepemimpinan Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat dan Wakilnya Josef Nae Soi, kita kembali menyaksikan seruan serupa (di bidang pendidikan), tetapi lebih spesifik soal berbahasa (literasi). Hal ini diperkuat dengan adanya Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2018 tentang Penetapan Hari Berbahasa Inggris (English Day).
Tujuannya: Pertama, menjadikan Bahasa Inggris sebagai salah satu media komunikasi dalam aktivitas perkantoran, maupun kehidupan sehari-hari di seluruh wilayah NTT. Kedua, meningkatkan komptensi Bahasa Inggris bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN), karyawan swasta dan seluruh komponen masyarakat NTT. Ketiga, menyiapkan sumber daya manusia NTT yang cakap dan mampu dalam menggunakan Bahasa Inggris.
Terlepas dari beragam pro dan kontra di kalangan masyarakat, hemat saya, kebijakan ini merupakan terobosan luar biasa dari gubernur untuk menyelamatkan generasi NTT dari kubangan kemiskinan literasi, terutama soal berbahasa Inggris. Sebab, memasuki era industri 4.0 ini, warga global diharapkan semakin baik dalam berbahasa Inggris. Hal inilah yang kemudian diharapkan oleh pemimpin NTT saat ini agar para pelajar maupun masyarakat NTT juga bisa berbahasa Inggris.
Yang saya baca dari keberanian Gubernur VBL mengeluarkan Pergub ini adalah agar masyarakat NTT, paling tidak, bisa pasif berbahasa. Jika tidak mampu berbicara (speaking), maka paling tidak bisa memahami (listening), agar masyarakat tidak mudah tertipu ketika orang asing atau para wisatawan datang ke NTT. Sebab, NTT saat ini telah menjadi destinasi wisata unggulan di Indonesia.
Kendala English Day
Namun demikian, banyak kalangan menilai English Day (ED) akan sulit terwujud. Setidaknya ada dua kendala utama yang coba dirangkum penulis adalah: Pertama, belum jelas dari mana ED dimulai, apakah di kantor, sekolah, kampus atau di lembaga-lembaga internasional dan lainnya. Sebab, tempat-tempat tersebut kini masih sepi dari komunikasi berbahasa Inggris.
Kedua, subjek atau orang yang menggunakan Bahasa Inggris, salah satunya ASN pun masih terlihat jarang bahkan tidak ada yang menggunakan Bahasa Inggris setiap hari rabu/dan atau sekali dalam seminggu. Dua masalah ini, hemat saya, masih pada tataran kemauan berbahasa. Namun, masalah yang paling rumit adalah soal kebiasaan atau kebudayaan kita. Sebab, bagaimana pun penerapan ED tidak terlepas dari konsep bahasa, kebiasaan, tradisi, kebudayaan, dan unsur terkait lainnya.
Ini sejalan dengan apa yang disampaikan Koentjaraningrat (1992) bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.
Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1) malah menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana.
Meski demikian, dalam tulisan ini saya tidak membahas lebih jauh kontroversi apakah bahasa atau budaya yang paling utama atau tinggi kedudukannya. Paling tidak, kita memahami bahwa bahasa tidak bisa terlepas dari kebudayaan, begitupun dengan budaya, jika tanpa bahasa, maka separuh dari nilainya menjadi berkurang.
Bahasa Inggris dan Budaya
Pertanyaan ikutan yang kemudian muncul adalah; apakah Bahasa Inggris merupakan budaya orang Indonesia, terutama NTT? Dan apakah kebudayaan Indonesia, terutama NTT telah dipengaruhi oleh Bahasa Inggris?
Pertama, secara umum, memang bahasa telah dianggap sebagai bagaian dari kebudayaan, tetapi saya kira, masih prematur jika kita menyimpulkan bahwa Bahasa Inggris merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Sebab, hingga kini bangsa Indonesia hanya menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Sementara, Bahasa Inggris hanya digunakan dalam situasi tertentu, misalnya, dalam kerjasama dan hubungan internasional atau digunakan di sejumlah tempat misalnya, tempat wisata, lembaga-lembaga internasional, maupun di lembaga pendikan saat jam pelajaran dan lain sebagainya.
Kedua, sejak diakui sebagai bahasa internasional, Bahasa Inggris memiliki peran dan kedudukan yang penting dalam setiap aktivitas manusia, termasuk di Indonesia. Meskipun tidak intens dituturkan, tetapi dalam beberapa praktik seperti di tempat wisata, sekolah maupun di lembaga-lembaga internasional. Selain itu, seiring perkembangan teknologi, kini kita bisa temui teks-teks Bahasa Inggris di berbagai produk, terutama handpohe maupun smartphone, tersedia berbagai fitur atau aplikasi, yang memuat Bahasa Inggris.
Selain itu, penggunaan Bahasa Inggris juga dapat kita saksikan di produk-pruduk makanan, minuman maupun di bidang medis dan teknologi. Ada beberapa kosa kata dalam KBBI yang berasal dari bahasa Inggris. Belum lagi adanya peminjamaan dan percampuran Bahasa Inggris ke Indonesia yang telah lama berlangsung. Dari berbagai fenomena ini, tidak berlebihan jika saya menyebut bahwa Bahasa Inggris telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia, meski belum sepenuhnya dianggap sebagai sebuah budaya – budaya berbahasa.
Skill Berbahasa
Pada titik ini, saya menilai Pergub ED ini justru langsung menekankan pada aspek speaking skill. Padahal, secara umum ada 4 (empat) keterampilan berbahasa yakni listening (menyimak), reading (membaca), speaking (berbicara) dan writing (menulis), Dari 4 jenis skill tersebut dapat digolongkan menjadi dua sifat yaitu keterampilan produktif dan reseptif (Ayudia, Suryanto dan Waluyo, 2016). Masih menurut keduanya, keterampilan produktif berarti ada suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memproduksi suatu bahasa.
Skill tersebut yakni meliputi keterampilan berbicara dan menulis. Keterampilan produktif cenderung lebih sulit karena seseorang dituntut untuk mengutarakan bahasa, baik dalam bentuk ujaran maupun tulisan. Bahkan tidak sedikit orang yang tidak bisa menulis dengan baik dan tidak bisa berbicara dengan baik. Karena itu, untuk berbicara, maka seseorang harus bisa menjadi pendengar yang baik, terutama mendengar Bahasa Inggris. Kemudian, untuk menjadi penulis yang baik, maka seseorang harus bisa menjadi seorang pembaca, terutama membaca literatur-literatur berbahasa Inggris yang baik.
Hal ini dimaksudkan agar ketika berbicara, maka seseorang penutur tidak saja asal bicara tetapi pronunciation (pengucapan), grammatical (susunan kalimat) atau struktur kalimatnya bisa jelas. Masih soal Pergub, hemat saya, terimplisit makna bahwa kita nyaris menghilangkan 3 skill lainnya, dan harus langsung berbicara atau mengutarakan kualitas speaking skill. Sementara, 4 skill tersebut saling keterkaitan, satu dengan yang lain. Meski demikian, kita patut bersyukur, karena orang-orang barat, terutama native speaker biasanya sangat menghargai dan mengapresiasi komunikasi orang-orang yang bukan native speaker, meskipun dalam speaking, ternyata kita membuat sejumlah kesalahan.
Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa itu kemudian ditolerir karena kita dianggap sedang belajar, sebab Bahasa Inggris bukan bahasa ibu atau bahasa pertama kita. Alasan inilah yang barangkali membuat kita masih bernafas lega untuk terus mempelajari dan mempraktikkan Bahasa Inggris. Meski demikian, toleransi atas kesalahan-kesalahan berbahasa Inggris mestinya menjadi trigger (pemicu) untuk memperbaiki skill berbahasa kita dari waktu ke waktu, terutama speaking skill.
Mengapresiasi Skill Berbahasa
Hal yang tidak kalah penting adalah soal mental dan kebiasaan kita. Sebagian orang Indonesia, hingga kini masih menghakimi dan menertawakan kesalahan orang lain. Tak jarang, dalam berbicara pun, kerap kesalahan berbicara seseorang, langsung ditertawakan atau dihakimi, termasuk dalam berbahasa Inggris. Mental dan kebiasaan tidak terpuji ini, hemat saya, harus dihilangkan dan diganti dengan apresiasi di tengah upaya belajar seseorang. Sebab, orang akan enggan berbahasa Inggris, jika tidak ada apresiasi. Apresiasi, tidak selamanya berkaitan dengan hadiah, tetapi minimal ada penerimaan dan motivasi kita terhadap orang lain yang sedang menggunakan Bahasa Inggris.
Dengan demikian, orang tidak lagi malu atau enggan mengutarakan kemampuan Bahasa Inggrisnya. Sebab, jika salah pun si penutur Bahasa Inggris tidak mendapat penilaian buruk, candaan, olokan atau tertawaan orang lain. Justru kesalahan itu harus diperbaiki bersama-sama. Tentu apa yang penulis sampaikan ini tidak mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, segala sesuatu butuh proses, apalagi ini soal kebiasaan yang harus diulang-ulang dan butuh waktu lama. Susan Powter, seorang motivator asal Amerika mengatakan, “kebiasaan yang butuh waktu bertahun-tahun untuk dibangun, tidak hanya membutuhkan satu hari untuk mengubahnya.”
Jadi, untuk mendukung ED setiap hari Rabu, saya kira, bukan perkara yang sulit, juga bukan perkara yang terlalu mudah. Sebab, ihwal berbicara dalam Bahasa Inggris rasanya perlu dilakukan berulang-ulang dan terus menerus, agar pada waktunya akan menjadi sebuah kebiasaan di tengah masyarakat kita. Semoga masa depan English Day era Gubernur VBL tidak sama dengan Gong Belajar era pemimpin sebelumnya. Merdeka!