Pesut Mahakam: Nyawa Sungai yang Perlahan Menghilang

Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Pesut Mahakam: Nyawa Sungai yang Perlahan Menghilang
Ilustrasi Tongkang batu bara mengambang di Sungai Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur (Unsplash/Vidiawan)

Bayangkan Anda berada di tepi Sungai Mahakam yang luas, tenang, dan bersahabat. Di kejauhan, terdengar kecipak air dan suara lembut dari makhluk cerdas yang biasa disebut pesut Mahakam—sosok lumba-lumba air tawar unik dengan wajah datar tanpa moncong, berkulit abu-abu elegan, dan pandangan yang tajam tapi penuh kedamaian. Namun, itu dulu.

Hari ini, suasana itu tinggal kenangan. Sungai Mahakam kini lebih mirip jalur tol air yang disesaki kapal tongkang batubara dan dihiasi busa limbah, bukan pelangi pesut yang menari. Di tahun 2025 ini, jumlah pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) diperkirakan hanya tinggal 62 ekor. Ya, tidak salah ketik: enam puluh dua.

Angka ini bukan statistik semata. Ia adalah tanda seru ekologis, pertanda bahwa Sungai Mahakam sedang sekarat, dan bahwa kita—manusia, makhluk paling cerewet soal "kemajuan"—sedang mengukir epitaf untuk salah satu keajaiban biologis Indonesia.

Pesut Mahakam—Lebih dari Satwa Semata, Ia Simbol Jiwa

Pesut Mahakam bukan lumba-lumba biasa. Ia adalah subpopulasi langka dari lumba-lumba Irrawaddy, dan satu-satunya yang hidup menetap di perairan Indonesia bagian timur laut. Jika Sunda memiliki badak bercula satu, maka Kalimantan punya pesut Mahakam—unik, endemik, dan (sayangnya) sangat terancam.

Secara biologis, pesut Mahakam punya struktur sosial yang kompleks. Mereka berinteraksi dengan suara, menjaga kelompoknya, bahkan "menyapa" nelayan lokal yang ramah. Dalam budaya Dayak, pesut bahkan dianggap sebagai titisan roh leluhur penjaga sungai.

Namun, dalam sistem ekonomi ekstraktif modern, pesut hanya dilihat sebagai "penghalang tongkang" atau "kebisingan minor dalam skema investasi". Padahal, jika kita mau sedikit lebih arif, keberadaan pesut adalah indikator hidup-matinya Sungai Mahakam.

Ketika pesut punah, bukan hanya satu spesies yang hilang—tapi satu sistem ekologis yang runtuh, satu warisan budaya yang lenyap, dan satu tamparan keras bagi logika pembangunan kita.

Tiga Serangkai Penyebab Kepunahan—Limbah, Tongkang, dan Setrum

Populasi pesut Mahakam tidak menurun karena "alami". Tidak ada predator alami yang memburu mereka seperti singa memburu rusa. Yang memburu mereka adalah ketamakan manusia.

Pertama, limbah tambang dan domestik telah mencemari Sungai Mahakam dengan racun logam berat, dari merkuri hingga arsenik. Ikan-ikan kecil sebagai sumber makanan pesut mengandung zat beracun, menyebabkan penurunan kualitas nutrisi, hingga memicu kegagalan reproduksi.

Studi oleh Indar et al. (2023) menunjukkan bahwa peningkatan toksisitas air menyebabkan penurunan jumlah mangsa pesut dan akhirnya mengganggu model populasi predator-mangsa. Hasilnya? Lingkaran setan kepunahan.

Kedua, lalu lintas kapal tongkang. Dalam sehari, puluhan hingga ratusan tongkang batubara menyusuri Mahakam, menciptakan kebisingan akustik bawah air yang mengganggu navigasi sonar pesut. Tak jarang, pesut tertabrak kapal, seperti pengendara sepeda di jalan tol.

Penelitian Yuen et al. (2025) menggarisbawahi bahwa kebisingan dan lalu lintas kapal adalah faktor stres utama bagi lumba-lumba air tawar di Asia Tenggara, menyebabkan penurunan populasi lebih dari 80% dalam 20 tahun.

Ketiga, praktik perikanan ilegal seperti setrum dan bom ikan bukan hanya menghancurkan populasi ikan—mereka membunuh ekosistem. Setrum listrik mematikan ikan dan melumpuhkan sensor tubuh pesut. Bom ikan? Ya, seperti perang lokal di dalam air, tapi tanpa deklarasi.

Singkatnya, jika ada versi air dari “neraka buatan manusia”, Sungai Mahakam mulai mendekati kualifikasi.

Konservasi Serius atau Sebatas Dekorasi?

Tentu, pemerintah tak tinggal diam. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, sudah menyatakan bahwa konservasi pesut Mahakam adalah prioritas nasional. Bahkan, empat tokoh lokal telah diangkat menjadi tenaga ahli lapangan: Alimin dari Desa Pela, Budiono dan Danielle Kreb dari Yayasan RASI, serta Mislan dari Universitas Mulawarman.

Namun, mari kita jujur. Apa artinya konservasi kalau di sisi lain izin tambang terus mengalir seperti aliran air bah? Apa artinya deklarasi prioritas nasional jika kapal tongkang masih mondar-mandir seperti parade keangkuhan?

Konservasi yang tidak menyentuh akar masalah ibarat memakai pelembap di kulit terbakar—kosmetik, bukan penyembuh. Koordinasi lintas sektor memang digaungkan, tapi kadang seperti orkestra tanpa konduktor.

Kementerian A bicara soal perlindungan spesies, Kementerian B sibuk menghitung royalti tambang, dan Kementerian C entah sibuk mengatur wisata halal di tepi sungai yang tercemar.

Sudah saatnya konservasi tidak hanya jadi PR mingguan para pejabat, tapi strategi besar berbasis data, budaya lokal, dan partisipasi warga.

Jalan Keluar: Ekologi, Budaya, dan Generasi Muda

Kalau kita ingin menyelamatkan pesut Mahakam, kita harus berhenti berpikir bahwa ini cuma soal “menjaga satwa langka”. Ini soal keseimbangan ekosistem, keadilan lingkungan, dan martabat peradaban.

Sungai Mahakam menopang bukan hanya ikan semata. Ia menopang ekonomi nelayan, identitas budaya, dan sumber air minum bagi ribuan warga. Pelestarian pesut = penyelamatan Mahakam = penyelamatan manusia Kalimantan Timur.

Kita juga harus melibatkan generasi muda. Bukan dalam bentuk lomba mewarnai pesut atau vlog konservasi 30 detik. Tapi pendidikan lingkungan hidup yang serius, berbasis pengalaman lapangan, dan dialog dengan komunitas adat.

Bayangkan jika tiap sekolah di Kalimantan punya program adopsi sungai, di mana siswa memantau kualitas air, mendata keanekaragaman hayati, dan membuat kampanye lokal. Pesut tak hanya jadi simbol, tapi alat pedagogi.

Dan jangan lupakan budaya. Kolaborasi dengan seniman lokal, pertunjukan musik bertema sungai, hingga teater rakyat tentang legenda pesut bisa membumikan nilai konservasi tanpa ceramah kering. Biarkan pesut hadir di lirik lagu dan mural jalanan, bukan hanya di dokumen PDF kementerian.

Pesut, Kita, dan Masa Depan yang (Masih) Mungkin

Mungkin ada yang sinis: “Ah, pesut doang. Toh manusia lebih penting.” Tapi bukankah itu akar dari semua bencana ekologis kita—merasa paling penting, paling cerdas, paling berhak merusak?

Pesut Mahakam bukan hanya hewan lucu nan terancam. Ia adalah simbol kehancuran dan harapan. Jika kita bisa menyelamatkan pesut, berarti kita bisa menyelamatkan diri kita sendiri. Jika tidak, kita akan tercatat dalam sejarah bukan sebagai penyelamat spesies, tapi sebagai spesies yang gagal menyelamatkan apa pun selain ego.

Kita masih punya waktu. Tidak banyak, tapi cukup. Asal kita mau berhenti membicarakan "pembangunan" tanpa mempertimbangkan ekosistem. Asal kita bersedia mendengar suara sungai, bukan hanya suara tambang.

Di tengah bisingnya kapal, pesut masih berenang, entah sampai kapan. Mari pastikan anak-anak kita masih bisa melihatnya, bukan hanya membacanya di ensiklopedia.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak