Objektifikasi Perempuan: Sebuah Kekeliruan Personal atau Industri Budaya?

Candra Kartiko | Lugina Nurul
Objektifikasi Perempuan: Sebuah Kekeliruan Personal atau Industri Budaya?
ilustrasi perempuan muda (Pexels.com/Andrea Musto)

Beberapa bulan yang lalu, sebuah akun Youtube ramai diperbincangkan karena telah menyebarkan konten yang dinilai mengobjektifikasi perempuan.

Judul clickbait, thumbnail yang “menjual” tubuh perempuan, pun esensi konten yang salah direpresentasikan, ialah beberapa hal yang menjadi catatan dari video-video yang Zavilda TV tayangkan. 

Sebut saja, konten yang ia terakhir kali ia rilis berjudul “VIRAL ! DUA CEWE S3XY TATOAN INSYAF KARENA TAKUT MATI & MEMILIH HIJRAH!” yang menampilkan thumbnail dengan gambar lekuk tubuh korban yang kurang etis dan bernada seksual.

Dalam video tersebut, seperti biasa Zavilda memaksa korban-korbannya untuk memakai hijab, sesuatu yang mestinya tidak pantas untuk dipaksakan, entah korban muslim ataupun tidak.

Baca Juga: Saatnya Memaknai Pengabdian Guru Honorer dengan Tidak Memberi Gaji Minim

Penggunaan judul serta thumbnail semacam itu jelas mengojektifikasi korban. Perempuan, yang menjadi korban dalam video yang Zavilda buat bahkan ada yang sampai malu dan trauma akibat beredarnya video yang menyematkan dirinya tersebut.

Praktik konten yang dilakukan Zavilda TV tersebut mengandung objektivitas terhadap perempuan. Objektifikasi perempuan berkaitan dengan perlakuan yang menempatkan perempuan sebagai objek.

Alih-alih dipandang sebagai subjek bebas yang memiliki otoritas dan kehendak, objektifikasi yang dilakukan membuat perempuan dianggap sebagai objek semata: hiasan, pemuas kebutuhan, dan bisa diperlakukan bagaimana saja.

Objektifikasi perempuan seperti halnya yang Zavilda TV lakukan bukanlah yang pertama atau keseratus kalinya. Sebelum media sosial seperti Youtube berkembang, hal semacam ini telah ada dan tak pernah menghilang sampai saat ini, khususnya di ranah media massa.

Saya kemudian bertanya, akankah fenomena kasus yang terjadi pada Zavilda ini tidak hanya memperhitungkan kesalahan personal saja, tapi juga mempersoalkan kultur media dan masyarakat. 

Apalagi, sebelum blunder kontennya naik ke permukaan, banyak warganet Indonesia yang menanggapi dan mengomentari video-video yang dibuat Zavilda dengan nada positif. 

Zavilda TV, yang dijalankan oleh perempuan bercadar yang sudah mendapat silver dari Youtube ini tentulah bersalah karena perbuatannya tersebut. Tak heran, banyak influencer dan media yang juga ikut mengecam konten-kontennya.

Ajakan report terus bergulir, meski sampai saat ini akun Youtube-nya belum lagi terblokir. Selain karena mengobjektifikasi perempuan, kontennya telah melanggar HAM, juga melenceng dari arti dakwah yang ceritanya ingin Zavilda sampaikan. 

Isu seksualitas dan agama memang sering kali dibungkus dengan cerita dramatis serta fakta yang minim dalam sejarah media massa di Indonesia, apalagi yang berhubungan dengan perempuan. Kasus-kasus berlangsung bergantian dari masa ke masa, sampai-sampai penelitian terkait objektivitas terhadap perempuan mudah ditemukan.

Baca Juga: Wajah Indonesia hingga Kini: Disabilitas dan Akses Pendidikan yang Terbatas

Yang paling dekat, saat ini kita bisa melihat judul-judul clickbait yang mengarah secara langsung pada objektifikasi perempuan acap kali muncul, mulai dari homepage Google atau dalam notifikasi berita di handphone. Tak lupa, dengan thumbnail yang juga menampilkan sosok perempuan.

Pun dahulu praktik yang sama terjadi dan dijuluki sebagai jurnalisme kuning. Jurnalisme kuning merupakan sebutan untuk pemberitaan yang sensasional dan dramatis (Mulyadi & Musmam, 2017).  

Di era kontemporer saat ini, pola clickbait serupa masih diadopsi media massa guna menarik khalayak untuk meng-klik pemberitaannya. Ini yang mungkin juga menjadi motivasi pembuatan konten Zavilda TV, guna menarik khalayak: mengadopsi clickbait dan cerita yang diminati masyarakat. 

Adorno menyebut fenomena semacam ini sebagai industri budaya. Di mana menurut Strinati (2007) industri budaya tersebut melahirkan fetisisme komoditas, yakni usaha kapitalisme untuk mengubah pemikiran masyarakat pada konsumsi jenis produk tertentu.

Dalam konteks ini, baik Zavilda TV maupun media massa yang gemar menjadikan perempuan sebagai objek, dengan sengaja memformulasikan pemberitaan yang seperti itu. Sehingga, budaya industri yang dihasilkan pun sama: masyarakat menganggap perempuan hanyalah sebagai objek. Belum lagi jika memperhitungkan budaya bangsa kita yang patriarkis.

Meski itu beda lagi cerita dan saya pikir akan menjadi pembahasan yang panjang lebar lagi, tapi budaya patriarkis dan budaya mengobjektifikasi perempuan merupakan hasil dari industri budaya itu sendiri. 

Industri budaya pertama kali dikenalkan dalam buku bertajuk Dialectic of Enlightenment (1947) yang mengartikan kelahiran budaya dapat saja tercipta akibat dari spontanitas massa.

Dalam industri budaya, konsep produk yang dihasilkan merupakan bagian dari agenda setting. Pola konsumsi konsumen sudah diperkirakan, bahkan sebelum produk tersebut rilis. Media sebagai penyalur informasi turut mengambil profit dengan membentuk tren ataupun tingkat konsumsi baru di masyarakat.

Baca Juga: Ketimpangan Infrastruktur di Jawa Barat Selatan dari Kacamata Arsitektur

Kebutuhan publik dimanipulasi dengan massifikasi pesan, sehingga muncul anggapan bahwa media membentuk standarisasi pada produk budaya. Jadi jika banyak pihak yang melakukan objektifikasi perempuan, bukankah itu memang sudah standarnya?

Maka, tak heran, masih banyak khalayak yang mengamini konten yang dimuat dalam Youtube Zavilda TV. Pun tak heran pula, Zavilda TV memproduksi konten yang mengobjektifikasi perempuan, karena ia juga berpikir bahwa demand yang bisa ia penuhi, khalayaknya ada.

Pun lagi beberapa media massa yang tak pernah bisa putus dari jeratan ini, clickbait dan objektifikasi perempuan, duan unsur pas untuk menghasilkan profit. 

Media massa, sebagai cerminan dan salah satu sumber edukasi khalayak semestinya dapat menciptakan lingkungan yang lebih ramah gender lagi. Misalnya, saat ini tengah bermunculan beberapa media yang mulai melek gender dan memperjuangkan hal itu, seperti Konde dan Magdalene yang basis pemberitaannya berkenaan dengan perempuan.

Hasil analisis saya dan teman saya dua bulan terakhir menemukan Magdalene berhasil menciptakan industri budaya yang bernada positif di masyarakat di mana khalayak mulai memahami esensi dari gender dan kesetaraan gender.

Industri budaya itu nyata. Entah baik atau buruk, influencer dan media massa bisa mengendalikannya. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak