Gender Integrity Pact, Wujud Nyata Pemberdayaan Perempuan di Desa Tretep

Sekar Anindyah Lamase
Gender Integrity Pact, Wujud Nyata Pemberdayaan Perempuan di Desa Tretep
Gender Integrity Pact di Desa Tretep, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. (Dok. Istimewa)

Perempuan berhak berada di semua tempat di mana keputusan dibuat. Tidak seharusnya perempuan menjadi pengecualian.” Kutipan dari Ruth Bader Ginsburg, seorang hakim di Amerika Serikat, menjadi pemantik bahwa perempuan memiliki hak untuk membuat keputusan.

Hak tersebut kini diraih oleh perempuan di Desa Tretep, Kecamatan Tretep, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Lewat pakta integritas yang difasilitasi GEF SGP Indonesian dan Perkumpulan Arupa, perempuan di sana diberikan ruang untuk lebih berdaya. Mereka bisa memimpin, mengambil keputusan hingga mengelola organisasi.

Pakta integritas tersebut diteken pada Selasa (11/2/2025) oleh Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Tretep dan Sedulur Taruna Tani Tretep (ST3). Tujuannya adalah untuk menghapus diskriminasi gender dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan.

Kepala KTNA Tretep, Kristiyadi, mengaku vitalnya peran perempuan. Peran perempuan dinilai sangat penting dalam peningkatan ekonomi dan kemakmuran keluarga. Karena itu, dia meyakini perempuan, selain mengelola pertanian, tapi juga mempertimbangkan dampaknya ke keluarga.

“Saya meyakini bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan pertanian para Ibu tidak hanya memikirkan bagaimana menyelesaikan tugasnya. Tapi, peran Ibu juga memperhatikan bagaimana dampaknya untuk keluarga terlebih untuk memakmurkan keluarganya sehingga mendapatkan nutrisi yang layak,” jelas Kristiyadi.

Melalui pakta integritas, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan organisasi tak akan melihat gender, tapi berfokus pada kapasitas dan kemampuan individu. Ilmu pengetahuan dan keterampilan akan menjadi dasar pengambilan keputusan, tanpa memandang gender.

KTNA dan ST3 berkomitmen mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan desa, serta memastikan setiap suara didengar dan dihargai. Diharapkan, hal ini menjadi langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil dan setara bahwa setiap individu memiliki kesempatan sama untuk berkontribusi dan berkembang.

Seperti diketahui, wlayah kerja KTNA dan ST3 berada di 3 Desa yakni Desa Nglarangan, Desa Tretep dan Desa Simpar dengan bertotalkan 11 kelompok dampingan yang berjumlah lebih dari 200 anggota. Sebanyak 30 persen di antaranya perempuan yang keseharian memiliki mata pencaharian bertani dan beternak.

Belenggu Patriarki

Ada belenggu patriarki yang sempat dirasakan Eti, perwakilan Kelompok Wanita Tani Cempaka binaan KTNA. Eti sempat dicegah untuk mengajar. Alasannya, perempuan harusnya di dapur dan mengurus rumah tangga. Sementara, laki-laki mencari nafkah di luar.

Eti sempat gerah. Ketika itu, dia sempat mendapatkan kesempatan untuk mengajar di taman kanak-kanak (TK) yang berlokasi di desa sebelah. Tapi harapan itu pupus. Dia kerap diberondong usulan untuk tidak mengambil kesempatan itu. Alasannya norma sosial.

“Dahulu saya pernah mendapatkan kesempatan untuk mengajar TK di Desa sebelah, akan tetapi saya kerap mendapatkan usulan untuk tidak mengambilnya dikarenakan seharusnya perempuan hanya perlu di dapur saja dan mengurus rumah tangga. Seharusnya yang bertanggung jawab mencari nafkah sepenuhnya merupakan peran bapak,” jelas Eti.

Eti memang tidak sendiri. Banyak perempuan di sana mengalami perlakuan serupa. Mereka kerap mendapatkan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan. Penyebabnya, kebiasaan dan normal sosial yang berlaku di desa. Ya, batasan berkedok norma sosial ini sering membatasi partisipasi perempuan dalam mengambil keputusan di keluarga maupun masyarakat.

Sejak 2005, perempuan di Desa Tretep mulai berani mengambil langkah merantau, berbisnis, dan bertani mandiri, meskipun sempat dianggap tidak wajar oleh masyarakat. Seiring berjalannya waktu, forum-forum yang melibatkan perempuan, seperti program Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga Desa (PKK Desa), telah diterima dan dijalankan dengan baik sehingga meningkatkan perlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada stigma negatif di kalangan masyarakat apabila perempuan terlibat dalam peningkatan ekonomi keluarga dan pengambil keputusan. Hal itu dinilai mencerminkan bahwa perempuan yang berdaya akan merendahkan posisi laki-laki.

Berdasarkan data ‘Women’s Empowerment in Agriculture Index (WEAI)’ pada 2012, signifikansi peran perempuan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan akses hidup mereka terhadap sumber daya dan peluang yang bertujuan langsung dalam kontribusi masyarakat.

Selain itu, pelibatan aktif perempuan dalam pengambilan keputusan dinilai juga memiliki dampak positif terhadap keluarga mereka melalui pendidikan dan pemberian nutrisi yang baik.

Harapan besar dilontarkan Sri Sudarsih. Perwakilan dari Taruna Tani Mudha Jaya itu berharap pakta integritas bisa meningkatkan partisipasi wanita dalam berbagai aktivitas, terutama dalam pengambilan keputusan tanpa memerhatikan stigma dan norma sosial.

“Melalui adanya poin-poin yang mengedepankan kesetaraan gender seperti kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang tidak melihat gender, kami para wanita bisa lebih aktif dan tidak merasa dipinggirkan dalam berbagai keputusan yang diambil,” pungkas Sri.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak