Adaptasi Iklim Masih Lemah, Wilayah Lokal Semakin Rentan

Hayuning Ratri Hapsari | Nofi Sudiar
Adaptasi Iklim Masih Lemah, Wilayah Lokal Semakin Rentan
Ilustrasi daerah pesisir di Indonesia yang terkena dampak perubahan iklim. (unsplash.com/@auliamisbahul)

Di tengah derasnya wacana transisi energi dan ambisi nol emisi karbon, ada satu kenyataan yang kerap luput dari perhatian: kemampuan adaptasi masyarakat lokal terhadap dampak perubahan iklim masih sangat terbatas.

Padahal, mereka berada di garis depan krisis ini. Dari petani yang gagal panen akibat musim yang tak menentu, hingga masyarakat pesisir yang sumur air tawarnya terintrusi air laut, semua menghadapi kenyataan pahit yang tidak bisa ditunda penyelesaiannya.

Adaptasi: Tameng Pertama Krisis Iklim

Selama ini, pembahasan perubahan iklim lebih sering terfokus pada mitigasi: bagaimana menurunkan emisi karbon, memperluas energi terbarukan, atau menekan jejak karbon industri.

Mitigasi memang penting, namun adaptasi adalah kebutuhan yang mendesak karena dampak krisis iklim sudah terjadi di hadapan kita. Tanpa adaptasi yang kuat, kelompok paling rentan akan menanggung beban yang tak seimbang.

Dalam laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2024, disebutkan bahwa hanya sekitar 30 persen negara berkembang yang memiliki program adaptasi iklim yang efektif hingga ke tingkat komunitas.

Di Indonesia, sejumlah program seperti pembangunan embung desa, sistem peringatan dini, dan pelatihan pertanian adaptif telah digulirkan. Namun, sebarannya belum merata dan ketahanannya masih dipertanyakan, karena sebagian besar berbasis proyek jangka pendek yang tidak berkelanjutan.

“Adaptasi iklim bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi soal keadilan sosial. Masyarakat lokal harus menjadi subjek, bukan sekadar objek dalam proses adaptasi,” ujar Prof. Emil Salim, ekonom lingkungan dan tokoh senior pembangunan berkelanjutan, dalam sebuah diskusi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret lalu.

Ketimpangan Akses dan Kesenjangan Kapasitas

Salah satu tantangan utama dalam adaptasi iklim adalah ketimpangan akses terhadap informasi dan teknologi. Masyarakat adat, petani kecil, nelayan, dan warga pesisir sering kali tidak mendapatkan informasi akurat tentang ancaman iklim. Bahkan jika mereka tahu, kapasitas untuk meresponsnya sangat terbatas.

“Banyak kepala desa bahkan tidak tahu bahwa dokumen Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD API) itu ada, apalagi mengintegrasikannya ke dalam RPJMDes,” ungkap Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi, dalam sebuah forum masyarakat sipil.

Persoalan lainnya adalah lemahnya komitmen politik dan rendahnya anggaran untuk adaptasi. Sebagian besar dana perubahan iklim yang masuk ke Indonesia lebih banyak dialokasikan untuk proyek mitigasi, sementara adaptasi hanya menerima sebagian kecil.

Padahal, dampak krisis iklim seperti kekeringan, banjir, dan kenaikan permukaan laut terjadi di tingkat lokal, dan membutuhkan solusi berbasis lokal pula.

Adaptasi sebagai Investasi Jangka Panjang

Adaptasi bukan beban anggaran, melainkan investasi jangka panjang. Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) mencatat bahwa setiap satu dolar yang diinvestasikan untuk pengurangan risiko bencana dapat menghemat hingga tujuh dolar kerugian di masa depan.

Artinya, memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat desa, pesisir, dan kelompok rentan lainnya, adalah langkah cerdas secara ekonomi dan moral.

Lebih jauh lagi, adaptasi menyentuh banyak aspek SDGs, bukan hanya Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), tetapi juga Tujuan 1 (Pengentasan Kemiskinan), Tujuan 2 (Ketahanan Pangan), dan Tujuan 6 (Akses Air Bersih).

Jika kita gagal mengembangkan ketahanan iklim di tingkat lokal, maka kita juga akan gagal mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya.

Peran Pemerintah dan Komunitas

Langkah awal yang bisa dilakukan pemerintah adalah memastikan bahwa setiap rencana pembangunan daerah dan desa mengintegrasikan pendekatan adaptasi berbasis risiko iklim. Pemerintah daerah perlu didorong untuk memiliki climate risk profile yang diperbaharui secara berkala.

Selain itu, akses terhadap pendanaan iklim harus diperluas hingga ke level komunitas, termasuk melalui skema pembiayaan inovatif seperti dana desa berbasis iklim.

Namun, adaptasi iklim tak bisa hanya bergantung pada negara. Peran masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan sektor swasta sangat penting dalam memperkuat ekosistem adaptasi.

Salah satu contoh baik datang dari Desa Pana, Sulawesi Barat, yang membangun sistem pertanian terintegrasi berbasis agroekologi dengan dukungan komunitas lokal dan universitas setempat.

Jangan Tinggalkan yang di Garis Depan

Krisis iklim adalah ancaman global, tetapi dampaknya bersifat lokal. Oleh karena itu, respons kita juga harus dimulai dari lokal. Adaptasi iklim bukan pilihan, tetapi keniscayaan. Dan dalam upaya ini, kita tak boleh meninggalkan mereka yang paling terdampak.

Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Saleemul Huq, pakar adaptasi iklim dunia yang wafat tahun lalu, “Adaptasi sejati adalah ketika yang paling rentan menjadi yang paling kuat.”

Mari menjadikan adaptasi iklim sebagai agenda utama pembangunan, bukan hanya demi lingkungan, tetapi demi keadilan, kemanusiaan, dan masa depan kita bersama.

Penulis: Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si. Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak