Hari Bumi 2020: Aksi Iklim dan Introspeksi Diri di Tengah Pandemi

Tri Apriyani | Nofi Yendri Sudiar
Hari Bumi 2020: Aksi Iklim dan Introspeksi Diri di Tengah Pandemi
Ilustrasi bumi. [shutterstock]

Peringatan hari Bumi (22 April) tahun ini adalah yang ke 50. Hari Bumi adalah semacam gerakan meningkatkan kesadaran untuk memelihara lingkungan yang pertama kali digagas oleh senator Amerika Gaylord Nelson.

Nelson yang merupakan pengajar ilmu lingkungan hidup memilih tanggal 22 April sebagai hari Bumi karena bertepatan dengan masuknya musim semi di belahan bumi utara dan musim gugur di belahan bumi selatan.

Hari Bumi pertama kali dirayakan pada tahun 1970 diikuti oleh sekitar 20 juta orang demonstran melakukan demonstrasi terkait perlindungan bumi terhadap polusi dan perusakan satwa liar.

Tahun ini, Hari Bumi mengangkat topik aksi iklim, karena perhatian utama kita saat ini  adalah krisis perubahan iklim, yang merupakan salah satu ancaman eksistensial terbesar bagi manusia.

Dengan mencanangkan topik ini, penyelenggara Hari Bumi berharap untuk memberi tekanan pada pejabat publik untuk membuat perubahan kebijakan yang serius menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, di mana dampak perubahan iklim dapat dikurangi.

Aksi Iklim di Indonesia

Indonesia yang merupakan negara dengan populasi keempat terpadat di dunia dan masuk ke dalam sepuluh besar penghasil emisi karbon di dunia mempunyai peran penting dalam aksi iklim ini. Emisi karbon terbesar di Indonesia berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan.

Negara kita telah menetapkan target iklim nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 hingga 41 persen di tahun 2030. Apakah target tersebut bisa tercapai?

Tahun 2019 kebakaran hutan dan lahan menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Indonesia mencapai lebih kurang 1,6 juta Ha. Asap beracun yang dihasilkan oleh kebakaran hutan akan berdampak sangat buruk bagi kesehatan masyarakat. Dampaknya bukan hanya dirasa saat ini saja namun juga memperparah krisis iklim di Indonesia kedepannya.

Selanjutnya kita lihat program pemerintah dalam membangun pembangkit listrik 35.000 MW. Sebagian besar pembangkit listrik tersebut menggunakan bahan bakar batu bara. Sebagaimana kita tahu bahwa salah satu penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca adalah pemakaian bahan bakar fosil seperti batu bara.

Belum lagi masalah polusi udara di kota-kota besar yang tiap tahun semakin meningkat dan malahan sudah melewati ambang batas yang dibolehkan. Permasalahan ini memperlihatkan bahwa pemerintah belum begitu serius dalam mencapai target pengurangan emisi sampai tahun 2030. Kebijakan-kebijakan yang diambil belum sejalan dengan target aksi iklim.

Introspeksi Diri ditengah Pandemi

Sudah saatnya kita menekurkan kepala kita sejenak. Kita renungkan apa saja yang telah kita buat selama ini. Kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat memang memudahkan kita dalam segala bidang, namun di sisi lain lingkungan kita juga semakin rusak.

Masyarakat dunia semakin kencang menyorakkan pelestarian lingkungan hidup namun faktanya peningkatan suhu global semakin kencang pula. Tahun 2019 menjadi tahun kedua terpanas sepanjang sejarah yang pernah tercatat, yakni meningkat sebesar 0,95ºC. Peningkatan suhu terpanas tercatat pada tahun 2016 yakni 0,99ºC. Kita semakin rakus “memakan” isi bumi. Berlomba-lomba membuat bumi “menangis”.

Wabah COVID-19 yang melanda dunia saat ini barangkali adalah cara bumi untuk mengingatkan kita. Lewat wabah ini bumi menyentil dan mengingatkan kita bahwa yang kita lakukan selama ini hanyalah membuat kerusakan dimuka bumi.

Di masa pandemi ini kita dipaksa untuk berdiam diri di rumah. Pemerintah setiap saat menganjurkan untuk tetap dirumah. Bekerja dari rumah dan lain sebagainya. Momentum ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk kembali membuat bumi tersenyum.

Sebagaimana Hamka pernah berujar bahwa orang berakal hidupnya adalah untuk masyarakat bukan untuk dirinya. Mulai saat ini kita jangan lagi mementingkan diri sendiri. Mulailah membuat hidup bermanfaat bagi orang lain. Sebagai contoh yang mudah adalah membuang sampah pada tempatnya. Sekilas terlihat begitu sepele, namun dampaknya sangat besar.

Membuang sampah sembarangan dapat berakibat kerusakan lingkungan dan banjir yang merugikan banyak orang. Tindakan lain yang bisa kita lakukan adalah mengurangi konsumsi daging merah, membeli barang-barang yang hemat energi, selalu menghabiskan makanan dan jangan pernah bersisa serta masih banyak lagi.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdampak bagi mereka yang berpengahasilan harian seperti pedagang kaki lima, buruh lepas, ojol dan lain sebagainya. Dengan berdiam diri di rumah membuat mereka lumpuh.

Tidak bisa lagi mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Ke luar rumah wabah mengancam, berdiam diri di rumah kelaparan mencekam. Ibarat makan buah simalakama, apapun keputusan yang diambil tidak ada yang bagus.

Mengandalkan bantuan dari pemerintah tidak bakal memadai. Di sini lah diimbau bagi masyarakat yang mampu untuk membantu sesama. Tidak perlu jauh-jauh cukup lihat lingkungan sekitar. Bantu sekitar 2 sampai 4 kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangannya.

Albert Einstein berkata, berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.

Penulis: Dr. Nofi Yendri Sudiar/Doktor pada prodi Klimatologi Terapan IPB dan dosen Fisika Universitas Negeri Padang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak