Pada Hari Ketika Kau Bunuh Diri

Hernawan | Moe
Pada Hari Ketika Kau Bunuh Diri
Ilustrasi patah semangat (Pixabay/Counseling).

Kepala orang-orang ini tegak tengadah memandangiku. Mata hitam mereka tak beralih sejengkal pun. Seakan tak puas mencibir, bibir mereka naik turun membentuk mata rantai cibiran.

Beragam sindiran sedemikian rupa aku rasakan. Beberapa polisi menyibak kerumunan, memberi jalan. Sempat termangu di taman kecil depan pekarangan, petugas itu lekas-lekas menarik lengan.

Aku masih merasakan sisa rintik hujan serta kecipak kaki di rerumputan, sampai akhirnya tiba di kamar belakang.

Kamar ini memiliki sebuah jendela besar di sisi utara. Ketika langit resah, kau kerap membukanya lebar-lebar disusul menepikan gorden biru itu.

Aroma petrikor menenangkan pikiran, katamu. Aku mengangguk setuju sebab bau tanah gersang yang disirami hujan memang berhasil mengusir segala penat dalam benak.

Aku menduga kalau kau menyukai alam, nyatanya aku keliru. Alam memang lebih setia daripada manusia, tetapi lelaki yang membersihkan bekas luka dengan napas yang mencuat ke permukaan jauh lebih aku sukai. Aku tertawa mendengar selorohmu sebelum akhirnya kita melesat ke dalam selimut.

Tapi kini aku tak bisa tertawa mengenang pertemuan terakhir itu. Di depan kamar ini, aku justru menerka-nerka runtutan kejadian dengan bimbang.

Petugas yang memasang tampang galak —padahal bibirku begitu gemetar ketika melangkah ke dalam kamar lalu mendapatimu terbujur di tepi jendela— malah menyuruhku mengamatimu yang mengeluarkan busa.

Tentu aku tak kuasa memandangmu yang tampak muram seakan menanggung banyak beban. Orang-orang di luar merengsek masuk ketika mendengar tangisku yang memekik di samping tubuhmu.

Aku betul-betul tak kuasa sekaligus bertanya-tanya, seperti apakah kesedihan yang begitu mendalam itu sampai-sampai kau memutuskan mengakhiri kehidupan?

Petugas yang mendapati keadaan kian runyam, menyeret tubuhku menuju mobil polisi. Orang-orang mengeluarkan amuk serapah, bahkan ada yang meludah ketika aku berjalan di ruang tengah. Mereka kian jadi mencaci-maki sementara aku tak percaya kalau kau pergi tanpa meninggalkan pesan meski sebatas ucapan selamat tinggal.

***

 “Kau percaya ramalan, Ram?” kata Bahir usai membaca cerpen yang aku selesaikan semalam suntuk. “Penulis itu mirip-mirip Tuhan. Ia berhak menentukan takdir pada tokoh yang ia ciptakan.”

“Kau menuduhku bunuh diri usai menulis cerita ini?”

“Kadang sebuah fiksi menjadi fakta pada masa depan.”

Sesaat aku termangu. Bibir ini mengatup rapat. Sudut pandang Bahir berhenti pada satu titik tatapan di mana ia terpejam sebentar, lantas mengutarakan alasan yang membuatku sedikit terjengkang.

“Hati-hatilah dalam membuat cerita. Sebab dalam kisah ada doa. Dan di dalam doa ada malaikat dan iblis yang berebut ilmu surga.”

Napas terasa sesak mengingat ucapan Bahir tadi. Uap lalu lintas kota yang terbawa sampai balkon kian menambah penat.

Pohon kasturi yang sengaja aku tanam di taman depan seakan tak mampu mengusir kecamuk pikiran. Ada sedih tak terkatakan yang terus terbayang kendati kau tiba-tiba datang lantas memeluk dari belakang.

Sembari memandang lazuardi di tepi barat, aku mendengar desah napasmu yang berat. Ketika membalikkan badan, aku lihat gerimis resah tumpah ruah dari sudut kedua matamu. Aku mendekapmu erat-erat. Sangat erat.

“Mereka tengkar lagi, Ram.”

“Mau makan di luar?” alihku.

Kau tak menggeleng juga tak mengangguk.

“Kau belum mandi dari kemarin petang, bukan? Aromanya menguar sampai halaman.”

Kau merenggangkan pelukan. Mengecup keningku sebentar lalu beralih ke kamar mandi. Begitulah.

Tujuh tahun bersama, rasa-rasanya pertumpahan air mata selalu menjadi pemandangan sehari-hari. Bukan sebab pernikahan kita tanpa restu orangtuamu, melainkan mereka kerap bertengkar jauh sebelum kau mengenalku.

Sering aku tersenyum serupa patung ketika aku melentangkan badan lalu kau bercerita tentang mereka sembari mendekap. Pernah aku utarakan tanya, mengapa ibumu tak minta cerai saja kalau pada akhirnya tiap hari mengandung perih tak terperi.

“Perempuan tercipta sebagai lambang pengorbanan, Ram. Bayangkan kalau mereka cerai, bagaimana nasibku dan kedua adikku?”

“Kalian memuja Tuhan begitu terampil, tapi tak percaya akan nasib rezeki. Tentu lebih nyaman menyandang gelar janda daripada dimadu.”

Hsstt. Telunjukmu mengatupkan kedua bibirku yang hendak mengutarakan sebuah alasan.

“Cinta ibuku kepada anaknya jauh lebih besar daripada menanggung beban kehidupan.”

Pada akhirnya aku menyetujui ucapanmu, tetapi jauh dalam hati aku selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa ibumu bertahan padahal amuk amarah pekat lebih tajam dari sebilah belati?

***

Gang ini tak lagi lengang. Kerumunan orang betul-betul menyeruak sampai jalan besar. Aku betul-betul tak menyangka kalau Bahir yang aku temui kemarin petang itu bunuh diri. Kabar ini amat mengguncang.

Rasa sesal yang membuncah, nyatanya diam-diam menyelinap dalam benak pikiran. Aku putuskan pergi ke kontrakan Bahir. Semua tampak penasaran ketika polisi menggandeng sang istri. Matanya memerah. Tampak sekali ia kehilangan. Aku tak tega.

Orang-orang berkata Bahir tak meninggalkan pesan apa-apa. Aku begitu gemetar ketika menyibak kerumunan lalu mendekati polisi berbadan tegap yang membawa istri Bahir menuju mobil petugas.

“Bahir pergi, Ram. Bahir mati.”

“Kalian tengkar?”

Ningsih menggeleng. Masih sesegukan. Aku ingin mengajukan tanya apakah Bahir memiliki keluhan selama ini, tapi polisi menyeret lengan Ningsih.

Aku masih sempat menatap perempuan yang terus menunduk itu. Pandangannya betul-betul hampa, sampai akhirnya hilang ditelan sirine mobil polisi.

Di sepanjang jalan yang ramai kendaraan, aku masih terbayang ucapan Bahir kemarin. Barangkali ia betul-betul tertekan. Mungkin ia memikul masalah besar. Mungkin ia punya utang. Urusan keluarga acapkali menjadi penyebab seseorang mengakhiri hidup.

Aku juga menyayangkan, mengapa tak ia bercerita padaku kemarin petang. Seandainya soal uang, aku masih bisa membantu. Tentu bukan dari hasil menulis. Sebab menjadi penulis di negeri ini sama saja mendaftarkan diri menjadi rakyat non sejahtera.

Aku masih bertanya-tanya, mengapa ia tidak berani cerita atau aku yang kurang peka? Bukankah selama ini, aku kerap memberinya pinjaman dan jarang aku menginginkan pelunasan.

Mungkinkah kemarin dia ingin mengutarakan niatnya, namun terkecoh akan cerita yang aku karang? Astaga, Bahir. Seperti apakah kesedihan yang begitu mendalam itu sampai-sampai kau memutuskan mengakhiri kehidupan?

Tapi, aku tak mau terus menerka-nerka. Bisa saja ia memiliki masalah pribadi yang tak berhubungan dengan utang.

Pada detik ini, aku hanya menyesalkan mengapa Bahir tak meninggalkan pesan walau dalam secarik kertas yang berisi beberapa kalimat. Setidaknya, itu memudahkan polisi untuk investigasi, dan itu tak terlampau menguras pikiran istrinya.

Bukankah, dengan meninggalkan tulisan yang  berisi permintaan agar istrinya bersabar, misalnya, secara tidak langsung akan memberi petunjuk kalau ekonomi adalah musabab bunuh diri?

Ah, sudahlah. Kian aku mencari-cari alasan, kian penat kepala ini. Pendingin mobil seperti tak mempan mendinginkan kepala. Apalagi jalanan mulai diterpa macet.

Deretan mobil berjalan lebih lambat ketika hendak melewati jembatan layang. Padahal ini bukan jam petang, di mana orang-orang gelisah hendak pulang. Ini hari masih belum tengah hari. Namun, mobil-mobil berjalan lambat seperti kura-kura.

Hingga akhirnya semua kendaraan berhenti total. Aku heran mendapati para pengemudi keluar dari kemudi lantas menatap jembatang layang. Kepala mereka mendongak sedang mata mereka menyala tak percaya.

Aku yang penasaran ikut keluar. Mula-mula sebatas penasaran. Tiba-tiba aku terperanjat ketika mendapatimu berdiri di atas besi jembatan. Kedua tanganmu merentang. Orang-orang berteriak jangan dan jangan.

Aku gelagapan memacu kaki berlari ke arah jembatan. Sial, kau keburu meluncur bebas ke atas aspal. Terjerembab di atas jalan tepat di depanku yang berlari kencang.

Ratri, seperti apakah kesedihan yang begitu mendalam itu, sampai-sampai kau memutuskan mengakhiri kehidupan tanpa sempat mengucap selamat tinggal?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak