Discovering Uzbekistan merupakan buku travel kedua Rahma Ahmad, mantan jurnalis yang jatuh cinta pada negara dengan budaya dan arsitektur nan menakjubkan. Karya ini lahir setelah ia menerbitkan Rp 3 Juta Keliling China Utara pada 2013 silam.
Uzbekistan merupakan negeri yang sudah begitu lama ingin dikunjungi oleh penulis. Negeri ini pernah disebut-sebut sangat indah oleh Ibnu Batutah dalam Rihlah, buku memoarnya yang terkenal. Tanah yang selama ini dikenal sebagai negeri 1001 malam ini didambakan banyak orang, sebagai tempat wisata. Ada empat kota terkenal di Uzbekistan yang dikunjungi penulis dan akan dikisahkan lebih lanjut dalam buku ini, yakni Tashkent, Samarkand, Bukhara, dan Khiva.
Bila dirunut, Uzbekistan ternyata memiliki sejarah masa lalu yang kelam. Negeri ini pernah dikuasai oleh Rusia (saat itu namanya Uni Soviet) selama seratus tahun lebih. Sehingga, tak heran jika tata kota Tashkent serupa dengan kota-kota di Rusia.
Jalannya lebar dan ada taman-taman dengan air mancur di setiap sudut. Bangunan bergaya Eropa —termasuk teater balet— pun terhampar di mana-mana. Jejak Rusia juga masih terasa pada nama penduduk Uzbekistan. Kebanyakan mereka memiliki perpaduan nama unik. Nama depan berbau Islam. Sementara nama belakangnya khas Uni Soviet. Berakhiran —ev atau —ov.
Berdasarkan penelitian Rahma Ahmad, Tashkent dan Uzbekistan yang sekarang sudah berbeda dengan sebelumnya, ketika berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Agama Islam mulai dibangkitkan kembali, masjid mulai penuh dengan jemaah. Paling tidak, itu yang penulis saksikan ketika sedang menunggu di depan Juma Mosque dekat Chorsu Bazaar. Jemaah shalat Jumat tampak membludak hingga ke pelataran masjid. Sejarah Uzbekistan pun sudah diajarkan kembali, termasuk mengenalkan kembali huruf Arab, huruf asli negeri tersebut.
Berpetualang ke Uzbekistan rasanya tak lengkap bila belum mengunjungi makam Imam Bukhari di kota Samarkand. Di kalangan umat Islam, nama Imam Bukhari tentu sudah tak asing lagi.
Imam Bukhari merupakan perawi hadits yang luar biasa dan telah merawikan ribuan hadits shahih bagi umat Islam. Imam Bukhari sebenarnya bernama asli Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Jufi. Namun, karena lahir dan besar di Bukhara, ia lebih dikenal dengan nama al-Bukhari.
Ternyata, makam Imam Bukhari cukup jauh dari Samarkand, belum lagi ongkos perjalanan yang lumayan mahal (sekitar 100.000-150.000 som atau setara dengan 170 ribu-250 ribu rupiah). Namun, hal tersebut tak menyurutkan niat Rahma untuk tetap mengunjunginya meski saat itu sedang musim panas, suhunya berkisar 40 derajat.
Sesampainya di sana, ternyata makam Imam Bukhari begitu megah dengan detail arsitekturnya yang menarik. Dinding dan langit-langitnya dipenuhi ukiran berwarna biru dan putih. Menariknya, orang Indonesia termasuk mendapat pelayanan yang spesial, karena diperkenankan masuk ke makam asli yang berada di lantai bawah. Hal ini karena balas budi terhadap jasa Soekarno yang konon telah “menemukan” makam Imam Bukhari.
Jadi, ada sebuah kisah menarik di balik pembangunan makam ulama terkenal tersebut. Alkisah, pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, mengundang Presiden Soekarno berkunjung ke negaranya tahun 1961.
Namun, ia tak langsung menyetujuinya. Ia mengajukan syarat kepada Khrushchev, hanya akan memenuhi undangan jika pemimpin Soviet itu bisa “menemukan” kembali makam Imam Bukhari. Khrushchev enggan, tapi Soekarno bersikeras bahkan mengancam akan memboyong jenazah Imam Bukhari ke Indonesia. Akhirnya, atas desakan Soekarno dan ulama Bukhara, Khrushchev pun mencari makam Imam Bukhari. Kemudian ia membangun sebuah makam yang megah untuknya.
Begitulah cerita yang beredar soal Soekarno dan Imam Bukhari. Cerita yang walau oleh sebagian orang masih disangsikan kebenarannya, karena tak ada catatan sejarah resmi. Akan tetapi, cerita tersebut dipercaya oleh para pemuka agama di Samarkand. Buktinya, hanya orang Indonesia yang diperkenankan masuk ke dalam makam Imam Bukhari di sana (halaman 50).
Khiva menjadi kota berikutnya yang dikunjungi Rahma Ahmad selama menetap di Uzbekistan. Di sana dikenal istilah New Khiva dan Old Khiva. Menurut penulis, New Khiva layaknya sebuah kota biasa dengan rumah-rumah permanen dan dinding berwarna putih.
Berbeda dengan Old Khiva atau Itchan Kala, saat memasuki kota tersebut, pemandangan langsung berubah. Semua bangunan berwarna cokelat dengan beberapa hiasan berwarna indigo dan turqoiuse. Tampilannya bak kota kuno yang pernah ada di dongeng-dongeng negeri 1001 malam.
Menurut legenda, kota Tua Khiva sudah ada sejak 2.500 tahun silam. Kala itu, Sam-anak Nabi Nuh, menggali sebuah sumur. Air yang keluar di sumur itu rasanya sangat manis, sehingga masyarakat sangat gembira dan meneriakkan ungkapan syukur, “Khey Vakh” yang artinya “what a pleasure”. Lokasi sekitar sumur itu akhirnya diberi nama Kheyvakh.
Di balik keindahan kota Khiva, ternyata tersimpan sejarah kelam di masa silam. Khiva di zaman dulu ditakuti oleh banyak orang, karena di sinilah pusat penjualan budak. Budak-budak dari Persia ditangkap, diangkut, dan diseret melalui jalan-jalan gelap di dalam tembok Itchan Kala, sebelum akhirnya dijual di pasar budak di tengah kota Khiva. Berbeda di masa Khiva sekarang yang telah menjelma kota museum terbuka dengan bangunan indah di mana-mana.
Kisah Rahma Ahmad bertualang ke Uzbekistan selama sepuluh hari menarik dibaca. Rahma mengisahkan dengan cukup apik dan tak bertele-tele, tentang suka-duka yang dialaminya selama mengunjungi negeri 1001 malam.
Menariknya lagi, buku ini dilengkapi dengan pemaparan kisah-kisah sejarah masa silam negeri tersebut yang penting diketahui pembaca sebagai bahan referensi dan renungan.
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.